Monday, February 23, 2009

Jeritan Listrik dari Kota di Sudut Negeri

Senin, 23 Februari 2009
Jeritan Listrik dari Kota di Sudut Negeri

Saya ke Tarakan minggu lalu dan juga ke Nunukan. Yang tidak saya duga adalah ini: masyarakat lagi ribut (lagi) soal listrik yang mati terus. Di Tarakan ada pertanyaan besar, besar sekali, mengapa tidak mampu mengatasi krisis listrik. Pertanyaan itu besar sekali karena PLN di Tarakan sudah dibuat berbeda dengan PLN di daerah-daerah lain di Indonesia.

Status PLN di Tarakan (juga Batam) bukan lagi wilayah, atau cabang, atau pembantu cabang. PLN di Tarakan adalah PLN yang statusnya sudah mandiri. PLN-nya sudah berbentuk perusahaan sendiri: PT PLN Tarakan. Di Tarakan PLN-nya sudah punya direktur sendiri, komisaris sendiri, dan organisasi sendiri.

Pertanyaan besarnya: mengapa direksinya tidak bisa membuat keputusan? Mengapa komisarisnya tidak menegur direksi yang tidak membuat keputusan? Atau, kalau direksinya sudah membuat keputusan, mengapa komisarisnya diam?

PLN di Tarakan bukanlah cabang atau wilayah, yang untuk memutuskan masih memerlukan petunjuk, atau arahan, atau sinyal, atau kerdipan, atau bisik-bisik, atau suara-suara gaib, atau apa pun dari atasannya. PLN di Tarakan tidak punya atasan. PLN Tarakan adalah atasan itu sendiri.

Kalau PLN Tarakan tidak bisa dan tidak mampu membuat keputusan, untuk apa PT PLN Tarakan diadakan? Bubarkan saja! Kembalikan saja statusnya sebagai cabang. Atau bahkan tidak perlu ada PLN agar masyarakat atau pemda punya inisiatif sendiri untuk mengatasi kebutuhan listriknya.

Tarakan bukan kota besar yang masyarakatnya tidak mampu mendirikan pembangkit listrik sendiri: asal diberi kesempatan untuk itu. PLN, kalau merasa tidak mampu, sebaiknya menyerah: lempar handuk. Jangan mengira hanya PLN yang bisa memproduksi listrik.

Masalahnya adalah hanya PLN yang diberi wewenang untuk mengatur listrik. Coba pemerintah beri satu contoh wilayah kecil seperti Tarakan untuk mengatasi listrik sendiri. Pasti bisa lebih baik. Apa pun jalannya.

Saya seperti menangis ketika berada di Tarakan minggu lalu. Saya membayangkan pemdanya yang sangat bergairah membangun sampai-sampai ingin membuat Tarakan sebagai Singapura mini. Saya membayangkan pengusahanya yang demikian antusias untuk berinvestasi di Tarakan, padahal banyak tempat lain yang bisa ditanami modal dengan hasil yang lebih baik. Saya membayangkan betapa bangganya orang Tarakan akan kotanya yang berkembang pesat belakangan ini. Semua itu seperti disiram air keras oleh PLN: ludes.

Memang, PLN rugi besar dengan tarif listrik semurah sekarang. Saya tahu itu. Tapi, persoalan pokoknya bukan karena tarifnya murah. Persoalan pokoknya adalah ongkos produksi PLN yang mahal!

Bahwa mengapa PLN memilih pembangkit yang ongkos produksinya mahal, itu bukanlah urusan rakyat. Rakyat tidak tahu itu! Itu urusan PLN sendiri. Rakyat Tarakan pernah membuktikan (8 tahun lalu) mau membayar tarif listrik termahal di Indonesia. Tidak apa-apa. Sampai-sampai waktu itu Tarakan dijadikan contoh nasional bahwa tarif listrik tinggi bisa diterima masyarakat asal pelayanan listriknya baik.

Tapi, ternyata kenaikan itu tidak digunakan sebagai kesempatan untuk mengatasi persoalan PLN secara mendasar. Kenaikan itu hanya bertujuan untuk mengatasi persoalan sementara. Hanya untuk menerima investor hit and run. Karena itu, kali ini, meski walikota minta-minta ada lagi kenaikan tarif seperti dulu, sebaiknya jangan diterima dulu. Tolak dulu. Harus ada bukti bahwa kenaikan itu nanti untuk mengatasi persoalan yang lebih permanen.

Mengapa dengan kenaikan yang hebat dulu itu PLN tidak mampu mengadakan pembangkit yang ongkosnya murah? Mengapa kesempatan saat itu tidak digunakan untuk menarik investor yang mau membangun pembangkit yang ongkos operasionalnya murah? Mengapa kenaikan tarif saat itu justru hanya untuk menarik investor yang mendatangkan mesin jenis aneh – yang hanya cocok untuk situasi darurat? Bahkan, mengapa kalau ada orang yang mau membangun pembangkit dengan ongkos operasional murah -seperti yang saya lakukan di PLTU Embalut dekat Samarinda- tidak mendapat respons yang memadai?

Karena itu, kalau PLN Tarakan yang sudah berbentuk PT (perseroan terbatas) tidak mampu mengambil keputusan, benar-benar harus dibahas: untuk apa ada PT? Apakah PT PLN Tarakan sebenarnya hanya boneka dari monster PLN saja? (*)

No comments:

Post a Comment