Jeritan Listrik dari Kota di Sudut Negeri
Saya ke Tarakan minggu lalu dan juga ke Nunukan. Yang tidak saya duga
adalah ini: masyarakat lagi ribut (lagi) soal listrik yang mati terus.
Di Tarakan ada pertanyaan besar, besar sekali, mengapa tidak mampu
mengatasi krisis listrik. Pertanyaan itu besar sekali karena PLN di
Tarakan sudah dibuat berbeda dengan PLN di daerah-daerah lain di
Indonesia.
Status PLN di Tarakan (juga Batam) bukan lagi wilayah, atau cabang,
atau pembantu cabang. PLN di Tarakan adalah PLN yang statusnya sudah
mandiri. PLN-nya sudah berbentuk perusahaan sendiri: PT PLN Tarakan. Di
Tarakan PLN-nya sudah punya direktur sendiri, komisaris sendiri, dan
organisasi sendiri.
Pertanyaan besarnya: mengapa direksinya tidak bisa membuat keputusan?
Mengapa komisarisnya tidak menegur direksi yang tidak membuat
keputusan? Atau, kalau direksinya sudah membuat keputusan, mengapa
komisarisnya diam?
PLN di Tarakan bukanlah cabang atau wilayah, yang untuk memutuskan
masih memerlukan petunjuk, atau arahan, atau sinyal, atau kerdipan, atau
bisik-bisik, atau suara-suara gaib, atau apa pun dari atasannya. PLN di
Tarakan tidak punya atasan. PLN Tarakan adalah atasan itu sendiri.
Kalau PLN Tarakan tidak bisa dan tidak mampu membuat keputusan, untuk
apa PT PLN Tarakan diadakan? Bubarkan saja! Kembalikan saja statusnya
sebagai cabang. Atau bahkan tidak perlu ada PLN agar masyarakat atau
pemda punya inisiatif sendiri untuk mengatasi kebutuhan listriknya.
Tarakan bukan kota besar yang masyarakatnya tidak mampu mendirikan
pembangkit listrik sendiri: asal diberi kesempatan untuk itu. PLN, kalau
merasa tidak mampu, sebaiknya menyerah: lempar handuk. Jangan mengira
hanya PLN yang bisa memproduksi listrik.
Masalahnya adalah hanya PLN yang diberi wewenang untuk mengatur
listrik. Coba pemerintah beri satu contoh wilayah kecil seperti Tarakan
untuk mengatasi listrik sendiri. Pasti bisa lebih baik. Apa pun
jalannya.
Saya seperti menangis ketika berada di Tarakan minggu lalu. Saya
membayangkan pemdanya yang sangat bergairah membangun sampai-sampai
ingin membuat Tarakan sebagai Singapura mini. Saya membayangkan
pengusahanya yang demikian antusias untuk berinvestasi di Tarakan,
padahal banyak tempat lain yang bisa ditanami modal dengan hasil yang
lebih baik. Saya membayangkan betapa bangganya orang Tarakan akan
kotanya yang berkembang pesat belakangan ini. Semua itu seperti disiram
air keras oleh PLN: ludes.
Memang, PLN rugi besar dengan tarif listrik semurah sekarang. Saya
tahu itu. Tapi, persoalan pokoknya bukan karena tarifnya murah.
Persoalan pokoknya adalah ongkos produksi PLN yang mahal!
Bahwa mengapa PLN memilih pembangkit yang ongkos produksinya mahal,
itu bukanlah urusan rakyat. Rakyat tidak tahu itu! Itu urusan PLN
sendiri. Rakyat Tarakan pernah membuktikan (8 tahun lalu) mau membayar
tarif listrik termahal di Indonesia. Tidak apa-apa. Sampai-sampai waktu
itu Tarakan dijadikan contoh nasional bahwa tarif listrik tinggi bisa
diterima masyarakat asal pelayanan listriknya baik.
Tapi, ternyata kenaikan itu tidak digunakan sebagai kesempatan untuk
mengatasi persoalan PLN secara mendasar. Kenaikan itu hanya bertujuan
untuk mengatasi persoalan sementara. Hanya untuk menerima investor hit
and run. Karena itu, kali ini, meski walikota minta-minta ada lagi
kenaikan tarif seperti dulu, sebaiknya jangan diterima dulu. Tolak dulu.
Harus ada bukti bahwa kenaikan itu nanti untuk mengatasi persoalan yang
lebih permanen.
Mengapa dengan kenaikan yang hebat dulu itu PLN tidak mampu
mengadakan pembangkit yang ongkosnya murah? Mengapa kesempatan saat itu
tidak digunakan untuk menarik investor yang mau membangun pembangkit
yang ongkos operasionalnya murah? Mengapa kenaikan tarif saat itu justru
hanya untuk menarik investor yang mendatangkan mesin jenis aneh – yang
hanya cocok untuk situasi darurat? Bahkan, mengapa kalau ada orang yang
mau membangun pembangkit dengan ongkos operasional murah -seperti yang
saya lakukan di PLTU Embalut dekat Samarinda- tidak mendapat respons
yang memadai?
Karena itu, kalau PLN Tarakan yang sudah berbentuk PT (perseroan
terbatas) tidak mampu mengambil keputusan, benar-benar harus dibahas:
untuk apa ada PT? Apakah PT PLN Tarakan sebenarnya hanya boneka dari
monster PLN saja? (*)
No comments:
Post a Comment