Jangan Ada Lagi Nyawa Melayang
Helsinki di Kamar Tidur Kalla
ADA momentum, ada kemauan, dan ada kecerdikan. Itulah kunci mengapa
perdamaian dengan GAM berhasil dicapai dan ditandatangani di Helsinki
kemarin. Terjadinya tsunami, keberhasilan militer melemahkan kekuatan
GAM, menuanya tokoh-tokoh GAM di Stockholm, dan besarnya anggaran negara
untuk operasi militer di Aceh setiap tahun adalah kenyataan yang
terjadi di lapangan.
Kombinasi empat kenyataan itulah yang membentuk momentum emas. Lalu dengan kemauan dan kecerdikan pemerintah baru momentum itu dilihat sebagai peluang emas menyelesaikan konflik Aceh.
Presiden SBY tidak menyia-nyiakannya. Presiden lantas menugasi Wakil
Presiden Jusuf Kalla untuk memanfaatkan yang serbaemas itu. Dengan latar
belakangnya sebagai pengusaha besar, Wapres tentu juga sangat pandai
melihat peluang-emas itu. Bagi seorang pengusaha, begitu melihat
peluang-emas, pikirannya hanya satu: jangan sia-siakan. Siapa tahu tidak
akan bisa terulang.
Maka, dibukalah perundingan baru, setelah berkali-kali macet di masa
lalu. Kali ini tidak boleh lagi buntu. Kuncinya, kata Wapres kepada saya
dan juga di berbagai kesempatan, adalah membuat perundingan jangan
sampai berkepanjangan. Perundingan yang terlalu panjang akan menimbulkan
komplikasi, salah paham, dimanfaatkan pihak lain, dan terasa tidak
adanya ketulusan. Ketulusan adalah kunci diperolehnya kepercayaan.
Kepercayaan adalah kunci diperolehnya persetujuan.
Cepat, tulus, tepercaya. Itulah ciri perundingan terakhir ini. ”Saya
memang memperkirakan dalam lima kali putaran akan bisa selesai,” ujar
Wapres. ”Ini sama dengan perdamaian Poso,” katanya. ”Juga perdamaian
Ambon,” tambahnya.
Bagi orang bisnis, perundingan untuk kongsi biasanya juga berlangsung
tidak lebih dari lima kali. Kalau sudah lebih dari itu, sebaiknya
dibatalkan saja. Terlalu banyak ketidakcocokannya.
Tapi, Aceh kan tidak sesederhana perusahaan? Bagaimana bisa begitu cepat?
Kunci pertama, kata Wapres, harus bertemu langsung, baku sapa dan
saling menatap matanya. ”Dari tatapan mata bisa kita lihat
ketulusannya,” ujar Jusuf Kalla suatu saat. ”Kalau tidak pernah bertatap
mata, bagaimana bisa mengukur ketulusan kata-katanya?” tambahnya.
Dulu-dulunya, perundingan dengan GAM selalu menggunakan jasa pihak
ketiga. Delegasi pemerintah berada di satu ruangan. Delegasi GAM di
ruang lain. Lalu juru rundingnya mondar mandir. Pemerintah bilang begini
disampaikan ke delegasi GAM. GAM menjawab begitu disampaikan ke
pemerintah. Dan sebaliknya. ”Dengan cara itu kita tidak bisa merasakan
langsung nada dan nuansa di balik kalimat yang diucapkan. Akhirnya bisa
saja salah paham,” ujar Wapres. ”Padahal, kalimat yang sama didengar
langsung oleh kita dan diucapkan orang lain, bisa-bisa berbeda
maknanya,” tambahnya.
Maka, begitu delegasi pemerintah bertatap muka langsung dengan
delegasi GAM, Wapres menanyakan bagaimana matanya. Bagaimana mimiknya.
Bagaimana nada suaranya. Bagaimana rasa jabatan tangannya. Dari situ
bisa diperoleh modal harus bagaimana menghadapinya. ”Mereka ternyata
tulus. Berarti kita juga harus tulus,” kata Wapres.
Kunci kedua, pihak-pihak yang bisa mengambil keputusan harus terlibat
langsung. Dengan demikian, begitu ada peluang bilang ”ya”, kita harus
bisa segera bilang ”ya”. Kalau tidak, hilanglah momentum. Bahkan,
perundingan bisa molor, terjadi ketidakpercayaan dan berlarut-larut.
Karena itu, selama perundingan Wapres minta juru runding pemerintah
(Menkum HAM Hamid Awaluddin, Menkominfo Sofyan Jalil, dan yang
lain-lain) selalu melaporkan setiap perkembangan baru. Wapres memang
ditunjuk Presiden SBY untuk mengendalikan jalannya perundingan.
Komunikasi tidak sulit karena di kamar tidur Wapres memang terpasang
mesin faksimile. Tengah-tengah tidur pun Wapres bisa dihubungi. Ini
lantaran perundingan berlangsung di Finlandia yang waktunya enam jam
lebih lambat dari Jakarta. Saat Finlandia sore hari, di Jakarta sudah
tengah malam. Tidak jarang Wapres harus menerima, membaca, meneliti, dan
memberikan disposisi pada pukul 02.00 dini hari. Wapres tidak mau
menunda sampai besoknya agar momentum tidak hilang.
Lalu, setiap akhir putaran, Wapres bersama tim juru runding menghadap
Presiden SBY untuk melaporkan hasilnya dan menerima arahan berikutnya.
Bahkan, Wapres pernah mengatakan kepada saya bahwa dia harus
membangunkan Presiden SBY karena ada hal-hal yang begitu penting
sehingga harus dibicarakan dengan presiden. Padahal, malam itu sudah
pukul 01.00 dini hari.
Itulah contoh konkret bahwa keberhasilan perundingan juga memerlukan
komitmen yang kuat, termasuk dari orang tertinggi dalam pemerintahan.
Bisa kita bayangkan bagaimana ruwetnya perundingan kalau setiap
perkembangan baru dilaporkan esok harinya dan yang dilapori juga tidak
bisa segera memberikan keputusan. Apalagi, setiap perkembangan juga
harus dilaporkan ke berbagai pihak, seperti DPR, untuk mendapat
persetujuan. Tentu akan banyak silang pendapat dan akhirnya pihak GAM
akan mengatakan, ”Ah, ternyata pemerintah tidak bisa mengambil
keputusan.”
Maka setiap pukul 02.00 Wapres dibangunkan mesin faksimile. Lalu
harus dengan kesadaran penuh (artinya: tidak bisa dengan setengah tidur)
mempertimbangkan banyak aspek sebelum membuat keputusan dalam beberapa
menit: aspek politik, aspek parlemen, aspek militer, dan seterusnya.
Begitu keputusan diambil, Wapres harus menuliskan disposisi atau paraf
dan mengefakskan kembali dokumen tersebut ke Finlandia. Tidak perlu
pembantu, ajudan, atau sekretaris. Wapres mengerjakannya sendiri. Latar
belakangnya sebagai pengusaha membuatnya tidak ada hambatan untuk
menjadi Wapres sekaligus ajudan sekaligus operator mesin faks.
Ketika draf terakhir sudah disepakati, sekali lagi pada pukul 02.00
dini hari, mesin faks di samping tempat tidurnya menyala. Ini tanda ada
dokumen yang masuk. Setelah menimbang banyak hal tadi, akhirnya Wapres
mengontak Presiden SBY dan memberi paraf. Selesai. Tepat di akhir
pertemuan kelima, kesepakatan dicapai.
Proses itu rupanya tidak diketahui delegasi GAM. Buktinya, di akhir
perundingan sore itu pimpinan GAM masih bertanya, apakah pemerintah
pusat setuju dengan kesimpulan yang telah dirundingkan? Bagaimana kalau
masih ada bagian yang tidak disetujui? Juru runding pemerintah langsung
menunjukkan bahwa wakil presiden sudah memberikan parafnya. Lalu
ditunjukkanlah paraf yang baru diterima dari kamar tidur Wapres. GAM pun
secepat itu pula memberikan parafnya. Benar-benar selesai. Jangan ada
lagi nyawa yang melayang. Tidak perlu lagi dana Rp 1,5 triliun tiap
tahun hanya untuk saling bunuh di Aceh. Lebih baik dana itu untuk
membangun. Tidak perlu lagi air mata. Jangan lagi bertambah anak yatim
karena perang. Juga jangan lagi muncul banyak janda karena suaminya
tewas di tengah hutan. Damailah di Aceh. (*)
No comments:
Post a Comment