Belajar Jadi Kepala Daerah (1)
Pengusaha Ikut Tentukan Calon Sekdaprov
Oleh: Dahlan Iskan
Hubungan macam apakah yang terjadi selama ini antara gubernur dan
wakil gubernur atau bupati/wali kota dengan wakil bupati/wakil wali
kota? Meski di mana-mana terdengar terjadinya “permusuhan dalam selimut”
di antara keduanya, baru di Riau permusuhan itu terlihat terbuka di
atas ranjang, bahkan sampai di lapangan terbuka.
Ketika saya tiba di Pekanbaru (ibu kota Provinsi Riau) pada 8 Juni lalu
(dalam satu rangkaian perjalanan dari
Surabaya-Jogja-Jakarta-Riau-Medan-Jakarta-Cirebon-Tegal-Pekalongan-Semarang-Surabaya),
halaman depan koran-koran Riau memberitakan terbitnya sebuah buku baru
yang “panas”. Judulnya Meminta Maaf kepada Rakyat. Penulisnya Drs Wan
Abubakar MS MSi yang tak lain adalah wakil gubernur Riau.
Di buku itulah Wan Abubakar menuangkan segala macam
ketidakharmonisannya dengan pasangannya selama hampir lima tahun ini,
Gubernur Rusli Zainal.
Caci-maki, hujatan, dan tuduhan dikemukakan oleh Wan Abubakar dengan
nada bertutur dan dengan bahasa yang keras, tajam, dan provokatif. Buku
itu juga menggambarkan betapa hubungan kepala daerah dan wakilnya begitu
serem-nya. Maka, meski belum tentu 100 persen berisi kebenaran, tetap
saja buku itu baik juga dibaca. Terutama oleh mereka yang sedang
tergila-gila menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Ternyata, “bulan madu” antara kepala daerah dan wakilnya seperti yang
digambarkan buku itu amat singkat. Mula-mula, sebelum pilkada, keduanya
memang berjanji untuk bersama-sama memegang kepemimpinan dengan
mengutamakan pembangunan untuk rakyat. Mereka juga berjanji untuk saling
menghargai. Berbagai bentuk kemesraan ditampilkan dan diucapkan di
depan publik. Namun, begitu pesta kemenangan selesai dan pelantikan
dilangsungkan, ternyata “bulan madu” itu cepat sekali berlalu.
Dalam kasus Riau tersebut, seperti ditulis Wan Abubakar (wallahu
a’lam kebenarannya), gejala “jalan sendiri-sendiri” sudah mulai terjadi
begitu menginjak masa pengisian jabatan di bawah mereka. Terutama saat
pengisian jabatan seperti Sekdaprov dan kemudian kepala-kepala dinas.
Suatu hari, tulis Wan Abubakar, dia ditelepon oleh seseorang yang dia
kenal sebagai pengusaha yang dekat dengan gubernur baru. Pengusaha itu
minta pendapat sang wakil gubernur mengenai siapa yang sebaiknya
diangkat menjadi Sekdaprov. Sang Wagub lantas menyebut dua nama yang
dianggapnya memenuhi syarat administrasi dan syarat kapabilitas
(kemampuan). Tapi, setelah mendengar dua nama tersebut, si pengusaha
terasa kurang berkenan. Sang pengusaha menolak dengan alasan dua nama
tersebut terlalu dekat dengan gubernur lama. “Kita harus mencari orang
yang bisa bekerja sama dengan kita,” ujar pengusaha tadi seperti dikutip
dalam buku.
Wagub yang mengaku tidak mempersoalkan ketika mendapatkan ruang kerja
yang plafonnya sudah bopeng-bopeng itu lantas mulai bertanya-tanya di
dalam hati: bagaimana bisa soal jabatan Sekdaprov seperti itu diurus
oleh seorang pengusaha.
Wan Abubakar tahu pengusaha tersebut memang menjadi tim sukses
gubernur, tapi dia tidak menyangka bahwa peran si pengusaha terus
berlanjut sampai setelah pilkada. Bahkan, sampai ikut menentukan
pengangkatan pejabat teras. Belum sampai keheranannya habis, beberapa
hari kemudian kepala biro umum masuk ke kamar kerjanya. Si kepala biro
umum minta tanda tangan sang Wagub sambil menyodorkan berkas. Ternyata,
itulah berkas konsep pengangkatan Sekdaprov yang baru. “Dengan iktikad
baik dan hati lurus, konsep tersebut langsung saya paraf,” tulisnya.
Sang Wagub lantas menulis cukup panjang latar belakang hubungan
Sekdaprov itu dengan gubernur baru.
Hari-hari berikutnya pembicaraan berkembang ke soal penentuan
kepala-kepala dinas. Sang Wagub juga diundang untuk membicarakannya.
Tapi, tulis buku itu, ternyata konsep yang diajukan dalam rapat itu
sudah mendekati final. Nama-nama kepala dinas sudah ditentukan semua
oleh Sekdaprov sebagai Tim Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan).
Wagub pun mengaku masih memberikan kesepakatannya karena nama-nama
calon kepala dinas memang masih bisa diterima. Namun, sang Wagub sangat
kaget ketika menghadiri pelantikan beberapa hari kemudian. Ternyata,
beberapa nama yang dilantik hari itu tidak sama dengan yang telah
disepakati. Beberapa nama itu diganti dengan yang lain yang sama sekali
tidak pernah disebut dalam rapat. Wagub lantas mendengar bahwa perubahan
itu terjadi karena campur tangan orang di luar kantor gubernur.
Sang Wagub juga menulis bahwa dia pernah berinisiatif menghadap
gubernur untuk curhat. Tapi, yang kemudian terjadi, tulis sang Wagub,
ternyata gubernur menanggapi curhat Wagub itu dengan curhatnya sendiri
kepada Wagub. Sang gubernur saat itu juga berkeluh kesah mengenai
problem yang dia hadapi dan karena itu minta agar sang Wagub maklum.
Keadaanlah yang membuat dirinya berbuat seperti itu. Misalnya gubernur
curhat soal banyaknya desakan dari teman-temannya yang dulu membantu
membiayai mereka jadi gubenur-wakil gubernur.
“Cukup besar juga, Pak Wan,” ujar gubernur seperti dikutip Wagub dalam buku itu, “hampir tujuh puluh…”
“Tujuh puluh M?” tanya Wagub.
“Ya, tujuh puluh M (Rp 70 miliar, Red). Teman-teman yang membantu
kita sudah meminta agar pengembalian dana mereka segera direalisasi.
Saya minta Pak Wan bisa mengerti.”
Sambil menyatakan “oke”, Wan Abubakar kemudian membayangkan betapa
akan banyak proyek yang jatuh pada orang-orang itu. Tapi, Wagub juga
berkaca pada dirinya sendiri. Dia menyadari bahwa posisinya selama ini
ternyata hanya sebagai “perahu” untuk mendapatkan pencalonan. Maklum,
Wan Abubakar adalah ketua umum PPP (Partai Persatuan Pembangunan) Riau.
Lewat PPP-lah, pencalonan itu dilakukan. Bahkan, ketika jadi bupati
dulu, sang gubernur juga nyalon lewat PPP. “Saya memang tidak
mengeluarkan uang satu peser pun,” tulisnya.
Tidak dijelaskan dalam buku apakah sang Calon Gubernur dulu harus
“membeli” atau tidak untuk dapat “perahu PPP” itu. Kalau saja dulu
membeli, barangkali memang wajar kalau setelah dibeli terserah kepada
pembeli akan diapakan saja perahu yang sudah dibelinya itu. Termasuk
kalau, misalnya, harus dibuang sekalipun. (bersambung)
No comments:
Post a Comment