Saturday, June 28, 2008

Pengusaha Ikut Tentukan Calon Sekdaprov

Sabtu, 28 Juni 2008
Belajar Jadi Kepala Daerah (1) 
Pengusaha Ikut Tentukan Calon Sekdaprov
Oleh: Dahlan Iskan

Hubungan macam apakah yang terjadi selama ini antara gubernur dan wakil gubernur atau bupati/wali kota dengan wakil bupati/wakil wali kota? Meski di mana-mana terdengar terjadinya “permusuhan dalam selimut” di antara keduanya, baru di Riau permusuhan itu terlihat terbuka di atas ranjang, bahkan sampai di lapangan terbuka.

Ketika saya tiba di Pekanbaru (ibu kota Provinsi Riau) pada 8 Juni lalu (dalam satu rangkaian perjalanan dari Surabaya-Jogja-Jakarta-Riau-Medan-Jakarta-Cirebon-Tegal-Pekalongan-Semarang-Surabaya), halaman depan koran-koran Riau memberitakan terbitnya sebuah buku baru yang “panas”. Judulnya Meminta Maaf kepada Rakyat. Penulisnya Drs Wan Abubakar MS MSi yang tak lain adalah wakil gubernur Riau.

Di buku itulah Wan Abubakar menuangkan segala macam ketidakharmonisannya dengan pasangannya selama hampir lima tahun ini, Gubernur Rusli Zainal.

Caci-maki, hujatan, dan tuduhan dikemukakan oleh Wan Abubakar dengan nada bertutur dan dengan bahasa yang keras, tajam, dan provokatif. Buku itu juga menggambarkan betapa hubungan kepala daerah dan wakilnya begitu serem-nya. Maka, meski belum tentu 100 persen berisi kebenaran, tetap saja buku itu baik juga dibaca. Terutama oleh mereka yang sedang tergila-gila menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Ternyata, “bulan madu” antara kepala daerah dan wakilnya seperti yang digambarkan buku itu amat singkat. Mula-mula, sebelum pilkada, keduanya memang berjanji untuk bersama-sama memegang kepemimpinan dengan mengutamakan pembangunan untuk rakyat. Mereka juga berjanji untuk saling menghargai. Berbagai bentuk kemesraan ditampilkan dan diucapkan di depan publik. Namun, begitu pesta kemenangan selesai dan pelantikan dilangsungkan, ternyata “bulan madu” itu cepat sekali berlalu.

Dalam kasus Riau tersebut, seperti ditulis Wan Abubakar (wallahu a’lam kebenarannya), gejala “jalan sendiri-sendiri” sudah mulai terjadi begitu menginjak masa pengisian jabatan di bawah mereka. Terutama saat pengisian jabatan seperti Sekdaprov dan kemudian kepala-kepala dinas.

Suatu hari, tulis Wan Abubakar, dia ditelepon oleh seseorang yang dia kenal sebagai pengusaha yang dekat dengan gubernur baru. Pengusaha itu minta pendapat sang wakil gubernur mengenai siapa yang sebaiknya diangkat menjadi Sekdaprov. Sang Wagub lantas menyebut dua nama yang dianggapnya memenuhi syarat administrasi dan syarat kapabilitas (kemampuan). Tapi, setelah mendengar dua nama tersebut, si pengusaha terasa kurang berkenan. Sang pengusaha menolak dengan alasan dua nama tersebut terlalu dekat dengan gubernur lama. “Kita harus mencari orang yang bisa bekerja sama dengan kita,” ujar pengusaha tadi seperti dikutip dalam buku.

Wagub yang mengaku tidak mempersoalkan ketika mendapatkan ruang kerja yang plafonnya sudah bopeng-bopeng itu lantas mulai bertanya-tanya di dalam hati: bagaimana bisa soal jabatan Sekdaprov seperti itu diurus oleh seorang pengusaha.

Wan Abubakar tahu pengusaha tersebut memang menjadi tim sukses gubernur, tapi dia tidak menyangka bahwa peran si pengusaha terus berlanjut sampai setelah pilkada. Bahkan, sampai ikut menentukan pengangkatan pejabat teras. Belum sampai keheranannya habis, beberapa hari kemudian kepala biro umum masuk ke kamar kerjanya. Si kepala biro umum minta tanda tangan sang Wagub sambil menyodorkan berkas. Ternyata, itulah berkas konsep pengangkatan Sekdaprov yang baru. “Dengan iktikad baik dan hati lurus, konsep tersebut langsung saya paraf,” tulisnya. Sang Wagub lantas menulis cukup panjang latar belakang hubungan Sekdaprov itu dengan gubernur baru.

Hari-hari berikutnya pembicaraan berkembang ke soal penentuan kepala-kepala dinas. Sang Wagub juga diundang untuk membicarakannya. Tapi, tulis buku itu, ternyata konsep yang diajukan dalam rapat itu sudah mendekati final. Nama-nama kepala dinas sudah ditentukan semua oleh Sekdaprov sebagai Tim Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan).

Wagub pun mengaku masih memberikan kesepakatannya karena nama-nama calon kepala dinas memang masih bisa diterima. Namun, sang Wagub sangat kaget ketika menghadiri pelantikan beberapa hari kemudian. Ternyata, beberapa nama yang dilantik hari itu tidak sama dengan yang telah disepakati. Beberapa nama itu diganti dengan yang lain yang sama sekali tidak pernah disebut dalam rapat. Wagub lantas mendengar bahwa perubahan itu terjadi karena campur tangan orang di luar kantor gubernur.

Sang Wagub juga menulis bahwa dia pernah berinisiatif menghadap gubernur untuk curhat. Tapi, yang kemudian terjadi, tulis sang Wagub, ternyata gubernur menanggapi curhat Wagub itu dengan curhatnya sendiri kepada Wagub. Sang gubernur saat itu juga berkeluh kesah mengenai problem yang dia hadapi dan karena itu minta agar sang Wagub maklum. Keadaanlah yang membuat dirinya berbuat seperti itu. Misalnya gubernur curhat soal banyaknya desakan dari teman-temannya yang dulu membantu membiayai mereka jadi gubenur-wakil gubernur.

“Cukup besar juga, Pak Wan,” ujar gubernur seperti dikutip Wagub dalam buku itu, “hampir tujuh puluh…”
“Tujuh puluh M?” tanya Wagub.

“Ya, tujuh puluh M (Rp 70 miliar, Red). Teman-teman yang membantu kita sudah meminta agar pengembalian dana mereka segera direalisasi. Saya minta Pak Wan bisa mengerti.”

Sambil menyatakan “oke”, Wan Abubakar kemudian membayangkan betapa akan banyak proyek yang jatuh pada orang-orang itu. Tapi, Wagub juga berkaca pada dirinya sendiri. Dia menyadari bahwa posisinya selama ini ternyata hanya sebagai “perahu” untuk mendapatkan pencalonan. Maklum, Wan Abubakar adalah ketua umum PPP (Partai Persatuan Pembangunan) Riau. Lewat PPP-lah, pencalonan itu dilakukan. Bahkan, ketika jadi bupati dulu, sang gubernur juga nyalon lewat PPP. “Saya memang tidak mengeluarkan uang satu peser pun,” tulisnya.

Tidak dijelaskan dalam buku apakah sang Calon Gubernur dulu harus “membeli” atau tidak untuk dapat “perahu PPP” itu. Kalau saja dulu membeli, barangkali memang wajar kalau setelah dibeli terserah kepada pembeli akan diapakan saja perahu yang sudah dibelinya itu. Termasuk kalau, misalnya, harus dibuang sekalipun. (bersambung)

No comments:

Post a Comment