Pelajaran dari Tiongkok: Bukan Dongeng dari Tiongkok
Berbicara Tiongkok, bagi kita yang awam, mungkin akan teringat pada
film. Lumrah saja karena salah satu ”suguhan asing” di kancah perfilman
negeri ini adalah film Tiongkok. Atau bisa jadi, pikiran kita akan
melayang pada Tragedi 1965 yang terjadi di Indonesia. Nama Republik
Rakyat China (RRC) sering dikaitkan dengan peristiwa itu. Namun,
siapkanlah diri dengan pikiran terbuka saat membaca 76 catatan Dahlan
Iskan mengenai Tiongkok dalam buku ini.
Dahlan Iskan, harus diakui, bukanlah sosok ”pemerhati” Tiongkok
karena keberhasilan negara tersebut akhir-akhir ini. Hal itu terlihat
pada sikap dia dalam menyikapi perjanjian normalisasi hubungan
Indonesia-Tiongkok yang ditandatangani pada 1989. Peristiwa itu
berlangsung di salah satu ruang Hotel Imperial di Tokyo, di sela-sela
acara pemakaman Kaisar Hirohito.
”Sejak saat itu, saya merasa terdorong untuk ikut mengisi dan memberi
warna agar perjanjian tersebut tidak menjadi sekadar perjanjian
kosong,” tulis Dahlan.
Benar saja, bersama harian Jawa Pos yang dipimpinnya, Dahlan mulai
menggelar acara kesenian dari Tiongkok. Aral yang menghadang bukan
kepalang. Maklumlah, menggelar kesenian bernuansa Tionghoa pada era Orde
Baru bisa menimbulkan persoalan pelik bagi penyelenggara.
Tapi, keberanian Jawa Pos Group meng-umum-kan kesenian masyarakat
Tionghoa -yang sebelumnya hanya boleh digelar khusus di dalam kelenteng-
merupakan langkah untuk mewujudkan normalisasi hubungan dalam skala
lebih luas, yaitu antarmasyarakat, bukan sekadar antarnegara.
”Kisah cinta” Dahlan Iskan dengan Tiongkok tidak berhenti begitu saja
ketika roh reformasi mulai menyelubungi negeri ini. Saat barongsai
sudah sangat umum di tengah masyarakat (bahkan lazim dipertontonkan oleh
stasiun televisi), Dahlan Iskan tak lagi sekadar menjadi ”pemerhati”.
Namun, dia pelan-pelan ”menjalankan laku” untuk menjadi -yang saya sebut
sebagai- ”ahli Tiongkok”. Dia, tampaknya, tahu betul bahwa
rekonsialiasi dengan Tiongkok seharusnya tidak hanya di bidang
kebudayaan, tapi menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Pada 8 catatan yang mengawali buku ini, Dahlan Iskan menceritakan
pengalaman belajar Putonghua di Jiang Xi Shi Fan Da Xue (Jiang Xi Normal
University), Nanchang. Walau telah berusia setengah abad saat memulai
belajar Putonghua (”bahasa nasional” Tiongkok), dia tidak menyerah.
Rumitnya belajar bahasa Mandarin -orang Tiongkok sendiri kesulitan-
membuat Dahlan Iskan memaknai agak berbeda hadis nabi: ”Tuntutlah ilmu
sampai ke negeri China”.
Dia menafsirkan bukan saja terkait dengan jarak; ilmu harus direngkuh
meskipun jauh. Namun, ”Tuntutlah ilmu meski sulitnya amat sangat
-seperti belajar bahasa Mandarin itu!” (hlm 27). Bagi saya, tafsiran itu
menujukkan totalitas Dahlan untuk menjadi ”ahli Tiongkok”.
Membaca buku ini, kita akan diperlihatkan sebuah pemandangan Tiongkok
yang berhias pertumbuhan dan perkembangan. Dan itu bukan dongeng.
Dahlan sudah bolak-balik ke Tiongkok dalam sepuluh tahun terakhir.
Mekarnya ekonomi Tiongkok dia amati dari sangat dekat. Dia sampai paham
betul suasana jalan tol yang kian tahun makin bertambah panjang menjulur
hingga ke desa-desa.
Pembangunan jalan tol dimulai pada 1988 untuk menghubungkan Kota
Senyang dengan Dalian sepanjang 400 km. Pada 2003, jalan tol di Tiongkok
mencapai 30.000 km (hlm 84-85). Pembangunan jalan tol yang
”gila-gilaan” itu dilakukan agar pemerataan ekonomi bisa tercapai.
Maka, benarlah, sejumlah ”kesaksian” dituturkan Dahlan terkait
ampuhnya jalan tol dalam menopang peningkatan ekonomi Tiongkok. Begitu
banyak daerah yang awalnya merupakan desa terpencil, kini telah menjadi
sentra rupa-rupa industri.
Selain itu, terowongan di bawah laut dan jembatan yang melintasi
birunya air laut dibuat pula untuk mempermudah hubungan dengan Hongkong,
Taiwan, dan Makau. Jalur transportasi yang mewujud itu bukan bermodal
”simsalabim”, tapi lewat matangnya rencana serta usaha yang perlahan
tapi pasti.
Ketika tuntas memereteli catatan jurnalistik Dahlan Iskan dalam buku ini, saya berkesimpulan bahwa mempelajari Tiongkok adalah bergumul dengan keunikan. Walau telah mempercantik diri dengan modernisasi di sana-sini, masyarakat Tiongkok tidak serta-merta menanggalkan baju leluhur mereka.
Ketika tuntas memereteli catatan jurnalistik Dahlan Iskan dalam buku ini, saya berkesimpulan bahwa mempelajari Tiongkok adalah bergumul dengan keunikan. Walau telah mempercantik diri dengan modernisasi di sana-sini, masyarakat Tiongkok tidak serta-merta menanggalkan baju leluhur mereka.
Perayaan Imlek tetap menjadi perhelatan yang luar biasa meriah di
negeri itu. Bahkan, pengobatan tradisional pun dikaji dan dikembangkan
sama seriusnya dengan teknik modern di fakultas kedokteran.
Kedua, menatap Tiongkok bagai melihat sesosok raksasa yang seolah
tidur, namun kini sedang bergeliat bangun. Kalau dulu Tiongkok menutupi
diri dengan bambu komunisme, kini bambu itu tetap ada, tapi sebatas
identitas saja.
Deng Xiaoping yang mulai membuka tirai bambu penutup Tiongkok.
Perekonomian perlahan bangkit setelah pusat memberi ”kekuasaan” kepada
pemerintah daerah untuk menata diri masing-masing. Deng Xiaoping
kabarnya sering memuji kota yang mampu mengembangkan perekonomian hingga
persaingan antarkota pun tak terelakkan.
Saat raksasa bernama Tiongkok itu mulai semakin tegak, pemerintah
pusat gencar melakukan pemerataan ekonomi ke daerah yang masih
tertinggal. Melihat pertumbuhan ekonomi yang terus naik selama 25 tahun
terakhir, pemerataan ekonomi kiranya bukan hal yang sulit untuk
ditangani.
Pada 2020, ada yang memprediksi bahwa raksasa Tiongkok itu tidak
hanya tegak berdiri, namun juga mengembangkan tangannya dengan gagah
(hlm 52). Maka, wajar jika Amerika Serikat mulai ketir-ketir. Hingga
mayoritas masyarakat Tiongkok percaya bahwa kerjaan AS di Timur Tengah
saat ini adalah usaha untuk menghambat kemajuan Tiongkok dari sisi
energi (hlm 55).
Akhirnya, buku ini bagai makanan yang bisa dikunyah semua orang.
Untuk penyuka jalan-jalan, Dahlan menuliskan cara sukses berwisata di
Tiongkok. Para pebisnis bisa melongok peluang membuka usaha di negeri
itu. Para penulis akan mendapatkan teknik menulis yang enak dibaca.
Aparat pemerintah pun rasanya rugi kalau tak memamah buku setebal 268
ini karena kesejahteran masyarakat Tiongkok masa kini, seperti ditulis
Dahlan Iskan, sekali lagi, bukan sebuah dongeng. (*)
Judul Buku: Pelajaran dari TiongkokPenulis: Dahlan Iskan
Penerbit: JP Books, Surabaya
Cetakan: I, April 2008
Tebal Buku: xx dan 268 halaman
Denny Ardiansyah, pengelola Rumah Baca Tanpa Titik (Macapat) Jember
No comments:
Post a Comment