Belajar Jadi Kepala Daerah (2)
Cara Irit Calon Bupati
Oleh: Dahlan Iskan
Wakil Gubernur Riau Drs Wan Abubakar MS MSi mengakui tugasnya sebagai
orang kedua hanyalah membantu gubernur sesuai UU 32/2004, khususnya
pasal 26. “Namun, dalam kenyataan yang saya hadapi, ada ketidakjelasan
dan ketidaktegasan dalam mekanisme kerja dan pembagian wewenang.
Termasuk dalam tugas-tugas khusus,” tulisnya.
Sang Wagub memang punya tugas khusus di bidang pemberantasan narkoba,
satkorlak bencana alam, dan illegal logging. “Tapi, wewenang saya ini
pun menjadi mengambang karena sering diintervensi gubernur,” tulisnya.
Sang Wagub merasa intervensi itu bukan karena dia gagal menyelesaikan
tugas-tugasnya, melainkan karena tugas-tugas itu bisa membuat diri sang
Wagub populer. Menurut perasaan sang Wagub, kepopuleran Wagub itulah
yang ditakutkan karena bisa jadi ancaman dalam pilkada berikutnya.
Wagub lantas menceritakan bentuk-bentuk intervensi yang terjadi.
Termasuk munculnya satu statemen gubernur yang mengambil alih posisi
ketua satkorlak. Meski hanya statemen (tidak formal tertulis), ternyata
statemen itulah yang kemudian dilaksanakan staf. Maka, sang Wagub pun
menuliskan penilaiannya yang amat keras di buku itu. “Di sini tampak
sebagaimana kebiasaan raja-raja zalim di muka bumi ini, ucapannya adalah
undang-undang”.
Banyak sekali kata dan kalimat menuduh yang sangat tajam seperti itu.
Apalagi, kalau sudah mengulas bagaimana gubernur lebih memilih
mewakilkan tugas-tugas yang tidak bisa dia lakukan (karena sedang pergi)
kepada para kepala dinas seperti di Riau tidak ada wakil gubernur saja.
Tentu semua itu sangat sepihak. Jangan dipercaya begitu saja. Banyak
juga orang Riau, sebagaimana saya dengar sendiri, yang menilai Wagub itu
sebagai orang yang kaku. Dan, kalaupun jadi gubernur kelak, belum tentu
dia bisa lebih baik daripada gubernur yang dia dampingi sekarang. Baik
sang gubernur maupun sang Wagub kini memang sama-sama bersiap maju
pilkada dengan perahu berbeda.
Meski begitu, buku itu tetap buku langka yang baik sekali
direnungkan. Terutama karena kita sebenarnya sudah mendengar banyaknya
hubungan tidak harmonis antara kepala daerah dan wakil di mana-mana.
Siapa tahu pimpinan nasional tergerak untuk menata kembali hubungan
kepala daerah dan wakilnya agar rakyat, dan terutama birokrasi di
bawahnya, tidak jadi korbannya.
Meski di mana-mana saya mendengar hubungan kepala daerah dan wakilnya
sangat bernuansa “makan hati”, rupanya, tidak banyak pengaruhnya pada
pengendalian emosi untuk nyalon. Rupanya, banyak juga orang yang lebih
senang makan hati, bahkan mungkin sampai makan rempela (ampela). Maka,
jangan khawatir kalau akan kehabisan stok calon kepala daerah atau calon
wakil kepala daerah. Hati itu enak kalau bisa menikmati makannya.
***
Orang Riau yang lain juga menemukan cara baru untuk menjadi calon
bupati dengan biaya ngirit. Ini setelah dia menyimpulkan bahwa semakin
terlambat seseorang berniat jadi bupati, semakin mahal biayanya. Semakin
dini niat itu dibulatkan, semakin murah biayanya. Kok bisa?
Menurut doktrin yang diyakininya, niat menjadi calon bupati harus
dideklarasikan dalam hatinya sendiri sejak dua tahun sebelum masa
pencalonan. Begitu niat dicanangkan, kegiatan yang terencana harus
langsung dilakukan. Yakni, membuat jadwal mengunjungi seluruh desa
-sekali lagi: seluruh desa- yang ada di kabupaten itu.
Dia sudah menghitung jumlah desa di seluruh Kabupaten Indragiri
Hilir. Berdasarkan angka itu, dia menghitung berapa lama waktu
diperlukan kalau dalam satu minggu mengalokasikan 2 hari untuk
melaksanakan program turun ke seluruh desa itu. Misalnya, setiap Sabtu
dan Minggu saja.
Menurut perhitungan dia, pas dalam dua tahun seluruh desa
terkunjungi. Hari-hari lain dia pakai untuk bekerja sebagai anggota DPRD
Provinsi Riau. Setelah membuat kesimpulan itu dia langsung juga membuat
tim sukses. Unsur LSM, unsur partai, unsur wartawan, unsur birokrasi
dilibatkan.
Tim inilah yang melakukan pekerjaan persiapan kunjungan ke desa itu.
Sejak memilih lokasi, menghubungi kepala desa, menyiapkan acara sampai
mengatur pelaksanaannya. Acara yang dipersiapkan juga harus efektif.
Harus ada gemanya ke seluruh desa dan bisa dikenang untuk jangka waktu
paling tidak dua tahun.
Tim itulah yang memberikan uang kepada kepala desa untuk biaya acara
kunjungan tersebut. Setiap desa sekitar Rp 15 juta. Ini termasuk untuk
biaya panggung, pengeras suara, hiburan, dan hadiah-hadiah. Acaranya
disesuaikan situasi desa. Kalau desanya amat agamis, acaranya bisa
pengajian. Kalau desanya suka sepak bola akan diadakan pertandingan
sepak bola antar-RT di desa itu.
Yang mutlak dilakukan adalah sifat penyambutan kunjungan itu. Ketika
dia tiba di desa itu, suasananya harus meriah. Untuk itu tempat turun
dari mobil pun sudah diatur, kalau bisa agak jauh dari tempat acara.
Mengapa? Agar ada jarak yang cukup untuk melakukan arak-arakan
penyambutan.
Karena itu, sebelum dia turun dari mobil, rombongan besar penyambut
sudah harus siap di tempat. Lengkap dengan karangan bunga, payung
kebesaran, tim pencak silat, dan rombongan hadrah. Maka, seperti pejabat
tinggi yang berkunjung ke daerah, si tokoh diarak sampai ke tempat
acara dengan iringan lagu dan musik rebana dan tarian silat sepanjang
jalan. Kesan bahwa dia memang “tokoh penting” yang pantas menduduki
jabatan bupati harus tercipta dari acara ini.
Jalannya acara pokok juga tidak boleh asal-asalan. Si dia harus
benar-benar ditokohkan. Temu wicara antara warga desa dan si tokoh
adalah wajib. Dengan acara itu akan timbul kesan bahwa “pejabat tinggi”
yang satu ini seperti menjaring aspirasi rakyat paling bawah. Apa saja
persoalan desa mereka bisa diungkapkan dan si tokoh memperhatikannya
dengan baik.
Rakyat terasa puas karena aspirasinya kelihatan dicatat. Si tokoh
sendiri di samping mengetahui apa yang terjadi di desa, sebenarnya juga
berdwifungsi. Sebagai anggota DPRD, dia juga akan memperjuangkan
aspirasi itu lewat forum legislatif. Pokoknya, rakyat merasa sangat
dibela.
Seminggu sekali pula, kegiatan kunjungan ke desa itu dimuat di koran Riau Pos.
Dia memang membayar satu ruang khusus di harian terbesar di Riau itu
dengan tarif iklan paket. Lalu membeli sejumlah koran untuk dikirim ke
desa yang baru saja dikunjungi. Masyarakat desa pun gempar karena merasa
masuk koran.
Bagaimana kalau kelak tidak ada parpol yang melamarnya jadi calon? Si
tokoh tidak mempersoalkan itu. Dia yakin di masa depan partai akan
melihat juga tingkat kemungkinan terpilih atau tidaknya seorang calon.
Dengan cara itu, ketika tiba saatnya pencalonan, mau tidak mau parpol
akan meliriknya. Kalau posisinya sudah seperti itu, dia tidak perlu lagi
menyediakan uang miliaran rupiah untuk menyogok partai seperti yang
selalu terjadi selama ini.
Kalaupun semua parpol dibutakan matanya, toh masih ada jalur baru: calon independen. (*)
No comments:
Post a Comment