Email dari Tiongkok
Tak Mau Kalah, Beri Harga Rendah
Meninggalnya
seorang buruh di pabrik tekstil di Guangdong, Tiongkok Selatan,
tampaknya, tidak akan membawa masalah apa-apa. Tapi, karena diagnosis
menyatakan dia meninggal karena kelelahan akibat panjangnya jam kerja,
bisa jadi peta perekonomian berubah. Mengapa?
Wang Zhenghua,
sebagaimana dia kemukakan dalam China Daily pekan lalu, mencatat hal itu
sebagai dilema industri di Tiongkok. Jadi, jangan dikira anggapan kitab
selama ini benar. Tampaknya, tidak ada masalah sama sekali dalam
industri di Tiongkok. Bahkan, terlihat serbamudah dan serbamurah,
sehingga bisa membanjiri dunia dengan produk-produknya.
Mungkin,
itu dulu. Kini, tekanan dari pembeli (terutama di Jepang, Amerika, dan
Eropa) begitu kuat. "Pembeli (tepatnya importer) menekan industri di
Tiongkok dari dua jurusan," kata Wang. Pertama dari harga. Kedua dari
waktu pengiriman.
Importer terus-menerus menekan harga. Itu
dilakukan karena importer tahu bahwa kapasitas industri di Tiongkok amat
besar. Kalau tidak ada pembeli tetap dalam jumlah yang besar, industri
tersebut bisa langsung bangkrut. Sebab, biaya operasionalnya dan stok
bahan bakunya akan terus disedot secara besar-besaran oleh kemampuan
industrinya.
Kalau tidak segera terjual, stok bahan jadinya akan
seperti Gunung Merapi yang siap meledak. Karena itu, dengan tawaran
harga yang sangat murah pun, produk industri itu akan dilepas.
Karena
importer semakin mengetahui hal tersebut, semakin ditekan pula
harganya. Kini, industri di Tiongkok juga mengeluh karena tipisnya
margin. Namun, tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada mati,
lebih baik terus berjalan, meski hanya pas-pasan penghasilannya.
Tekanan
kedua adalah penyerahan barang. Importer kini selalu memesan barangnya
sangat mendadak, dalam jumlah besar, dan dalam kontrak yang keras.
Barang tidak sempurna atau penyerahan yang telat akan dikenai klaim yang
bisa membuat mereka bangkrut. Dulu, kata Wang, pemesanan besar begitu
bisa tiga bulan di depan. Kini kadang hanya 1,5 bulan. Dan, barang sudah
harus bisa dikirim.
Mengapa begitu? Pihak importer ingin
keuntungan lebih besar. Yakni, dengan cara mengurangi inventory di
gudang mereka. Kalau barang dikirim dari Tiongkok dan bisa langsung
dikirim ke agen-agen di negara importer, tentu biaya yang dikeluarkan
importer lebih rendah. Keuntungan lebih besar.
Bagi industri di
Tiongkok, hal itu juga membuat dilema. Industri di Tiongkok harus
mengerjakan buruh dengan jam kerja yang panjang. Artinya, harus ada
lembur yang sangat panjang untuk mengejar target jadwal pengiriman
barang. Padahal, untuk jam kerja yang panjang itu, juga tidak mungkin
memberikan upah yang tinggi karena harganya sudah ditekan habis-habisan.
Industri
di Tiongkok harus menyerah kepada dua tekanan tersebut. Memang
menjengkelkan. Sebab, mereka juga tahu, barang yang sama dijual di
Jepang dengan harga 10 kali lipat. Tapi, itulah mekanisme pasar.
Industri di Tiongkok terus-menerus harus berpikir untuk lebih efisien
lagi dan efisien lagi. Lebih murah lagi dan lebih murah lagi. Kompetisi
dalam negerinya juga hebat. Sehingga, harga rendah pun harus diterima
daripada kalah dan menyerah.
Akankah suasana itu membuat industri
di Tiongkok sampai pada batas harus menyerah? Atau, justru mereka kerja
lebih keras dan lebih cerdas, sehingga industri di luar Tiongkok yang
tidak efisien yang justru harus menyerah? (*)
No comments:
Post a Comment