Tuesday, June 20, 2006

Tak Mau Kalah, Beri Harga Rendah

Selasa, 20 Juni 2006,
Email dari Tiongkok
Tak Mau Kalah, Beri Harga Rendah

Meninggalnya seorang buruh di pabrik tekstil di Guangdong, Tiongkok Selatan, tampaknya, tidak akan membawa masalah apa-apa. Tapi, karena diagnosis menyatakan dia meninggal karena kelelahan akibat panjangnya jam kerja, bisa jadi peta perekonomian berubah. Mengapa?

Wang Zhenghua, sebagaimana dia kemukakan dalam China Daily pekan lalu, mencatat hal itu sebagai dilema industri di Tiongkok. Jadi, jangan dikira anggapan kitab selama ini benar. Tampaknya, tidak ada masalah sama sekali dalam industri di Tiongkok. Bahkan, terlihat serbamudah dan serbamurah, sehingga bisa membanjiri dunia dengan produk-produknya.

Mungkin, itu dulu. Kini, tekanan dari pembeli (terutama di Jepang, Amerika, dan Eropa) begitu kuat. "Pembeli (tepatnya importer) menekan industri di Tiongkok dari dua jurusan," kata Wang. Pertama dari harga. Kedua dari waktu pengiriman.

Importer terus-menerus menekan harga. Itu dilakukan karena importer tahu bahwa kapasitas industri di Tiongkok amat besar. Kalau tidak ada pembeli tetap dalam jumlah yang besar, industri tersebut bisa langsung bangkrut. Sebab, biaya operasionalnya dan stok bahan bakunya akan terus disedot secara besar-besaran oleh kemampuan industrinya.

Kalau tidak segera terjual, stok bahan jadinya akan seperti Gunung Merapi yang siap meledak. Karena itu, dengan tawaran harga yang sangat murah pun, produk industri itu akan dilepas.

Karena importer semakin mengetahui hal tersebut, semakin ditekan pula harganya. Kini, industri di Tiongkok juga mengeluh karena tipisnya margin. Namun, tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada mati, lebih baik terus berjalan, meski hanya pas-pasan penghasilannya.

Tekanan kedua adalah penyerahan barang. Importer kini selalu memesan barangnya sangat mendadak, dalam jumlah besar, dan dalam kontrak yang keras. Barang tidak sempurna atau penyerahan yang telat akan dikenai klaim yang bisa membuat mereka bangkrut. Dulu, kata Wang, pemesanan besar begitu bisa tiga bulan di depan. Kini kadang hanya 1,5 bulan. Dan, barang sudah harus bisa dikirim.

Mengapa begitu? Pihak importer ingin keuntungan lebih besar. Yakni, dengan cara mengurangi inventory di gudang mereka. Kalau barang dikirim dari Tiongkok dan bisa langsung dikirim ke agen-agen di negara importer, tentu biaya yang dikeluarkan importer lebih rendah. Keuntungan lebih besar.

Bagi industri di Tiongkok, hal itu juga membuat dilema. Industri di Tiongkok harus mengerjakan buruh dengan jam kerja yang panjang. Artinya, harus ada lembur yang sangat panjang untuk mengejar target jadwal pengiriman barang. Padahal, untuk jam kerja yang panjang itu, juga tidak mungkin memberikan upah yang tinggi karena harganya sudah ditekan habis-habisan.

Industri di Tiongkok harus menyerah kepada dua tekanan tersebut. Memang menjengkelkan. Sebab, mereka juga tahu, barang yang sama dijual di Jepang dengan harga 10 kali lipat. Tapi, itulah mekanisme pasar. Industri di Tiongkok terus-menerus harus berpikir untuk lebih efisien lagi dan efisien lagi. Lebih murah lagi dan lebih murah lagi. Kompetisi dalam negerinya juga hebat. Sehingga, harga rendah pun harus diterima daripada kalah dan menyerah.

Akankah suasana itu membuat industri di Tiongkok sampai pada batas harus menyerah? Atau, justru mereka kerja lebih keras dan lebih cerdas, sehingga industri di luar Tiongkok yang tidak efisien yang justru harus menyerah? (*)

No comments:

Post a Comment