Selasa, 27 Januari 2009
Tionghoa Bersambut, Bagaimana Yin Ni Hua Ren?
Tionghoa, Dulu dan Sekarang (2-Habis)
Zaman berubah. Bahkan, setelah kejatuhan Orde Baru, perubahan itu
begitu drastisnya, sehingga terasa terlalu tiba-tiba. Belum pernah orang
Tionghoa mendapat posisi sosial-politik sehebat sekarang. Sampai akhir
Orde Baru pun, kita tidak akan menyangka bahwa kita bisa berubah
sedemikian hebat.
Memang terlalu banyak orang Tionghoa yang jadi ”tumbal” untuk perubahan itu. Yakni, mereka yang menjadi korban peristiwa Mei 1998 di Jakarta yang jadi awal ”zaman baru” bagi Tionghoa Indonesia itu.
Tapi, juga terlalu banyak untuk disebutkan jasa pejuang demokrasi
seperti Amien Rais, Gus Dur, dan seterusnya, yang meski secara khusus
perjuangan dan pengorbanan mereka tidak dimaksudkan untuk membela
golongan Tionghoa, tapi hasil perjuangan itu secara otomatis ikut
mengangkat posisi sosial-politik masyarakat Tionghoa menjadi sejajar
dengan suku apa pun di Indonesia.
Kini, pada zaman baru ini, penggolongan lama ”totok, peranakan, dan Hollands spreken”
sama sekali tidak relevan lagi. Bukan saja tidak relevan, bahkan memang
sudah hilang dengan sendirinya. Kawin-mawin antartiga golongan itu
sudah tidak ada masalah sama sekali. Status sosial tiga golongan
tersebut juga sudah tidak bisa dibedakan. Jenis pekerjaan dan profesi di
antara mereka juga sudah campur-baur. Membedakan berdasar di mana
sekolah anak-anak mereka juga sudah tidak berlaku.
Berkat demokrasi, pembedaan berdasar apa pun tidak relevan lagi. Bahkan, pembedaan model lama antara hua ren dan penti ren
tidak boleh lagi. Tapi, bukan berarti tidak ada masalah. Misalnya,
dalam zaman baru ini, bagaimana harus mengidentifikasikan dan menyebut hua ren?
Saya pernah menghadiri satu seminar yang diadakan INTI di Jakarta.
Dalam forum itu, antara lain, disinggung soal bagaimana harus menyebut
orang Tionghoa di Indonesia dalam bahasa Mandarin. Kalau panggilan
nonpribumi sudah tidak relevan dan seperti kelihatan antidemokrasi,
lantas kata apa yang bisa dipakai untuk menyebutnya dalam bahasa
Mandarin?
Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan
Tionghoa adalah yang paling menyenangkan. Tionghoa sudah berarti ”orang
dari ras cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia”.
Kata Tionghoa sudah sangat enak bagi suku cina tanpa terasa ada nada,
persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Kata Tionghoa sudah sangat pas
untuk pengganti sebutan ”nonpri” atau ”cina”.
Saya sebagai ”juawa ren” (meski xian zai wo de xin shi hua ren de xin)
semula agak sulit memberi penjelasan kepada pembaca mengapa menyebut
”cina” tidak baik? Apa salahnya? Luar biasa banyaknya pertanyaan seperti
itu. Terutama sejak Jawa Pos Group selalu menulis Tionghoa untuk mengganti kata nonpri atau cina.
Jawa Pos memang menjadi koran pertama di Indonesia yang
secara sadar mengambil kebijaksanaan tersebut. Memang ada yang mencela
dan mencibir bahwa Jawa Pos tidak ilmiah. Juga tidak
mendasarkan kebijakan itu pada kenyataan yang hidup di masyarakat, yakni
bahwa semua orang sudah terbiasa menyebut kata ”cina”. Mengapa harus
diubah-ubah?
Saya tidak bisa menjawab dengan alasan bahwa kata cina itu terasa
”menyudutkan” dan ”menghinakan”. Mereka akan selalu bilang bahwa ”kami
tidak merasa seperti itu”. Atau, mereka akan mengatakan ”Ah, itu
mengada-ada”. Bahkan, ada yang bilang, ”Kok kita tidak ada yang tahu ya bahwa sebutan cina itu melecehkan”.
Memang, kenyataannya sebenarnya seperti itu. Tapi, juga tidak
mengada-ada bahwa golongan Tionghoa merasa seperti itu. Setidaknya
sebagian di antara mereka yang lama-lama menjadi mayoritas di antara
mereka. Yakni, sejak awal Orde Baru, sejak ada desain dari penguasa
waktu itu bahwa penyebutan kata ”cina” bukan lagi untuk identifikasi ras
saja, tapi juga untuk ”menyudutkan” ras tersebut. Yakni, untuk
”mencina-cinakan” mereka dalam konotasi yang semuanya jelek.
Tentu, tidak semua orang Tionghoa tahu itu. Bahkan, banyak orang
Tionghoa yang mengatakan ketika dipanggil ”cina” juga tidak merasa
apa-apa. Lebih dari itu, kata Tionghoa berasal dari bahasa daerah di
Provinsi Fujian-Guangdong dan sekitarnya.
Lalu, bagaimana dengan orang ”cina” yang dulunya berasal dari luar
wilayah itu? Tapi, adanya latar belakang pencina-cinaan itulah akhirnya
yang membuat umumnya orang Tionghoa dari mana pun asal-usulnya dulu ikut
tahu dan merasakan penyudutan tersebut.
Lalu, bagaimana saya bisa menjelaskan kepada pembaca koran Jawa Pos Group
agar bisa menerima istilah Tionghoa sebagai pengganti ”cina”? Terutama
bagaimana saya bisa meyakinkan para redaktur dan wartawan di semua koran
Jawa Pos Group (tentu tidak mudah karena kami memiliki sekitar 100 koran di seluruh Indonesia) yang semula juga sulit diajak mengerti?
Untuk ini, saya harus mengucapkan terima kasih kepada pemimpin INTI,
khususnya Eddy Lembong yang sangat cerdas itu. Entah bagaimana, Eddy
Lembong bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam ajaran Islam yang
kalau diterjemahkan artinya begini: ”Panggillah seseorang itu dengan
panggilan yang mereka sendiri senang mendengarnya”.
Ini dia. Saya dapat kuncinya. Saya dapat magasin berikut pelurunya.
Maka, saya pun menjelaskan bahwa tidak ada orang ”cina” yang tidak suka
kalau dipanggil Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak
senang kalau dipanggil ”cina”. Dengan logika itu, apa salahnya kita
menuruti ayat dalam ajaran Islam tersebut dengan memberikan panggilan
yang menyenangkan bagi yang dipanggil?
Mengapa kita harus memanggil ”si gendut” untuk orang gemuk atau ”si
botak” terhadap orang yang tidak berambut, meski kenyataannya demikian?
Atau, kita memanggil dengan ”si kerbau” meski dia memang terbukti bodoh?
Kini, setelah lebih dari delapan tahun Jawa Pos Group menggunakan istilah Tionghoa, rasanya sudah lebih biasa. Juga lebih diterima.
Yang masih sulit adalah justru bagaimana orang Tionghoa Indonesia sendiri menyebut dirinya dalam bahasa Mandarin? Apakah masih ”women zhong guo ren”? Atau ”hua ren”? Atau ”Yin Ni Hua Ren”? Lalu, bagaimana orang Tionghoa menyebut Tiongkok dalam pengertian RRC? Masihkah harus menyebutnya dengan ”guo nei”? (*)
No comments:
Post a Comment