Monday, March 2, 2009

Rumah Gadai dan Rentenir Topang Usaha Kecil

Senin, 02 Maret 2009
Rumah Gadai dan Rentenir Topang Usaha Kecil
Sistem Keuangan Bawah Tanah yang Khas Wenzhou (1)

Bersama beberapa manajernya, Dahlan Iskan kini berada di Tiongkok dan melakukan perjalanan darat dari Shanghai-Qingdao-Qufu-Jinan-Tianjin. Berikut ini catatannya mengenai sistem keuangan bawah tanah di Wenzhou:

Di antara banyak cara mengatasi krisis yang sedang dilakukan, Tiongkok tahun ini menambah izin baru untuk mendirikan 240 rumah pegadaian swasta. Padahal, selama ini sudah ada 2.800 usaha sejenis. Di Tiongkok, swasta boleh mendirikan rumah pegadaian untuk mengatasi kebutuhan dana usaha kecil yang biasanya jarang bisa ditangani oleh sistem perbankan formal.

Dikeluarkannya izin baru tersebut juga untuk menambah persaingan di antara rumah gadai agar suku bunga yang berlaku tidak semakin tinggi. Sekarang ini rumah gadai di Tiongkok menetapkan bunga 3,2 persen sebulan atau sama dengan 38,4 persen setahun. Padahal, suku bunga pinjaman bank hanya sekitar 9 persen setahun. Meski bunga tinggi, rumah gadai tetap kian populer di masa seperti ini.

Di Kabupaten Wenzhou dan sekitarnya (Wenzhou, Shaoxing, Yiwu, Ningbo, Qinhua) lembaga keuangan seperti itu luar biasa vitalnya. Di wilayah inilah usaha kecil dan menengah sudah seperti agama. Praktis semua penduduknya meninggalkan status sebagai petani, pindah ke industri kecil. Dari wilayah inilah segala macam dasi, pakaian dalam, mainan anak-anak, alat-lat listrik, kancing baju, dan apa pun yang diperlukan manusia mulai lahirnya sampai matinya diproduksi. Lalu diekspor secara besar-besaran ke seluruh dunia. Maka di saat krisis sekarang ini, wilayah Wenzhou dan sekitarnya -di samping wilayah timur Provinsi Guangdong- paling terpukul.

Untuk wilayah ini, pemerintah pusat baru saja memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyatnya yang miskin, pensiunan, atau anak sekolah. Bedanya dengan di Indonesia, BLT itu diberikan dalam bentuk kupon. Kupon tersebut ukurannya sebesar uang kertas, namun didominasi warna coklat-kuning. Di bagian yang lebar di sebelah kiri, gambarnya pemandangan pusat kota Hanzhou (ibu kota Zhejiang, tempat Wenzhou berada) dengan ilustrasi bingkisan kado. Di bagian kanan yang kecil, ada nomor kupon. Bagian kanan ini akan dirobek sebagai tanda bukti bahwa kupon tersebut sudah digunakan.

BLT itu bernilai 200 yuan (Rp 300.000 seperti di Indonesia) dalam kupon pecahan 20 yuan. Kupon itu harus dibelanjakan. Boleh belanja apa saja. Tujuannya memang untuk menghidupkan industri dalam negeri, agar pabrik-pabrik yang tidak bisa ekspor lagi itu tetap bisa hidup. Pola kupon seperti ini memang cocok untuk Tiongkok karena semua barang diproduksi di dalam negeri.

Masih ada kebijakan lain: elektronik masuk desa. Dalam bahasa Mandarin, program ini diberi nama yang amat puitis: dian zhi xia xiang. Peralatan listrik turun ke desa. Orang desa yang membeli alat-alat elektronik seperti TV, radio, kulkas, rice cooker, dan seterusnya mendapat subsidi dari negara sebesar 50 persen. Kalau Anda membeli peralatan senilai Rp 1 juta, Anda mendapat uang Rp 500.000. Tidak ada batasnya. Berapa pun Anda mampu membeli alat-alat itu. Administrasi untuk membedakan orang desa dengan orang kota tidak sulit. Setiap keluarga di Tiongkok memiliki buku rumah tangga: ju min ho ko bu atau lebih lazim disebut hu ko ben. Bentuknya mirip paspor yang berisi 24 halaman. Semacam KSK di Indonesia. Warna hu ko ben untuk orang desa tidak sama dengan orang kota. Untuk orang desa warnanya merah. Sedangkan untuk orang kota berwarna cokelat. Administrasi ini memang memudahkan bagi pemerintah setiap kali ingin membantu orang desa.

Hasilnya juga mulai kelihatan. Teman saya yang bergerak di industri elektronik yang tiga bulan lalu mem-PHK 20.000 karyawannya, mulai merekrut kembali buruh-buruhnya itu. Demikian juga banyaknya buruh bangunan yang menganggur akan diselesaikan dengan pembangunan proyek pembuatan jalan kereta api yang baru senilai Rp 700 triliun. Dana ini, dalam keadaan normal baru terserap 10 tahun. Namun, kali ini semua dana itu harus terserap dalam waktu empat tahun.

Sedangkan bagi para pengusaha cukuplah kalau semua itu dilihat sebagai peluang mendapatkan sumber dana dari konsumen. Rebutan uang kontan lantas memang terjadi. Toko-toko di Wenzhou dan sekitarnya berlomba memberi diskon khusus kepada para pemegang kupon. Ini untuk merangsang agar para pemegang kupon cepat-cepat menggunakan kuponnya, agar cepat-cepat juga bisa diuangkan.

Uang kontan memang persoalan berat bagi para pengusaha -terutama pengusaha kecil dan menengah. Untuk mengatasi seretnya uang kontan jangka pendek (umumnya satu sampai tiga bulan) para pengusaha kecil tersebut, tetaplah rumah gadai jadi pilihan terbaik karena bunganya tidak setinggi rentenir. Apalagi proses di rumah gadai amat cepat. Penilaian terhadap barang jaminan, biasanya sudah selesai ditentukan dalam dua hari. Bahkan, untuk jaminan emas bisa ditentukan hanya beberapa jam. Uangnya pun bisa diambil dalam waktu satu minggu. Jaminan itu akan ditebus kembali ketika pengusaha kecil dan menengah tersebut sudah menerima pembayaran dari hasil penjualan produksinya.

Kini apa saja dijaminkan untuk mendapat uang kontan itu agar usaha mereka yang lagi sulit tetap bisa berjalan. Rumah, perusahaan, hasil produksi, perhiasan ,dan apartemen. Hanya, rumah gadai di Tiongkok kini tidak mau lagi menerima gadai saham.

“Dengan harga saham yang jatuh seperti sekarang ini, kami sulit menilai harga saham,” ujar seorang pengusaha rumah gadai seperti dikutip China Daily pekan lalu.

Saya sudah beberapa kali keliling di kabupaten-kabupaten tersebut. Khususnya untuk melihat perkembangan usaha kecil dan menengah yang luar biasa di sana. Lebih khusus lagi untuk melihat dari mana usaha-usaha kecil itu bisa mendapat modal untuk usaha mereka. Bukankah di mana-mana di dunia ini usaha kecil selalu kesulitan modal? Mengapa di Wenzhou dan sekitarnya bisa mengatasinya?

Rumah gadai ternyata salah satu pilar yang penting. Bedanya, rumah gadai di sana lebih dimanfaatkan sebagai sumber dana perusahaan. Bukan dana perorangan yang dipergunakan untuk konsumtif. Karena itu, pemerintah juga mendorong sekalian tumbuhnya rumah gadai swasta -sebuah fenomena yang aneh di sebuah negara komunis.

Di samping rumah gadai, masih ada lembaga pendanaan yang lebih populer dan sangat khas Wenzhou: rentenir. Mestinya, komunisme juga mengharamkan rentenir. Tapi ,fenomena rentenir di Wenzhou dan sekitarnya luar biasa besar. Bahkan, kenyataannya telah membuat ekonomi wilayah itu berkembang pesat. Kalau pemerintah melarang rentenir, tentu harus ada konsekuensinya. Yakni, harus menggalakkan sistem perbankan khusus yang bisa mengakomodasikan kepentingan “lautan” pengusaha kecil di sana. Padahal, akan sulit sistem perbankan bisa menggantikan sistem rentenir di Wenzhou.

Maka, komunisme, -bukan hanya agama- juga menghadapi tantangan dari realitas hidup yang kompleks: mau diapakan rentenir ini. Agama menganggap rentenir sebagai lintah darat yang tempatnya kelak di neraka -tapi tetap berkembang di negara miskin yang sangat agamis sekalipun. Komunisme juga menganggap rentenir sebagai setan desa dan sekaligus setan kota -tapi tetap berkembang hebat seperti terlihat di Wenzhou dan sekitarnya itu.

Agama apa saja mencoba menyelesaikannya, misalnya dengan ancaman masuk neraka. Komunisme Tiongkok mula-mula bahkan langsung melarang rentenir lewat peraturan negara. Tapi, juga tidak jalan. Di kabupaten sekitar Wenzhou saja dana rentenir yang berputar mencapai Rp 2 trilun setahun.

Di Indonesia saya tidak berhasil mendapatkan data seputar rentenir ini -satu tantangan yang baik bagi para calon sarjana atau doktor untuk menjadikannya salah satu objek penelitian. Di Wenzhou cukup banyak hasil penelitian mengenai rentenir yang antara lain saya pergunakan untuk bahan tulisan ini. Ada hasil penelitian pemerintah, ada penelitian para sarjana, bahkan ada hasil penelitian orang seperti Tomo Makamura dari Universitas Tokyo. Semua hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sistem rentenir begitu penting dalam membuat wilayah ini tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang tidak bergantung pada sistem-sistem formal. (bersambung)

No comments:

Post a Comment