Adik-Adik yang Membanggakan
Tidak Dilengkapi Ending yang Baik
Menyaksikan siaran langsung penyerangan yang dilakukan polisi
terhadap rumah yang dihuni buron teroris kakap Noordin M Top di Desa
Beji, Temanggung, Jumat sore sampai Sabtu siang kemarin, perasaan saya
campur aduk: mula-mula tegang, lalu menjengkelkan, berkembang ke rasa
bangga dan berakhir agak kecewa.
Mula-mula, Jumat sore, saya pindah-pindah saluran antara TV-One dan
Metro TV. Agak malam saya terus-menerus melihat Metro TV. Terasa sekali
dua stasiun TV ini bersaing dalam menyajikan peliputan terbaik. Dan
Metro TV saya nilai menang tipis malam itu. Hanya sesekali saya mengecek
ke saluran TV-One, terutama kalau di Metro TV lagi siaran iklan.
Mengingat sampai jam 00.00 belum ada tanda-tanda akan ada
penyelesaian, saya memutuskan untuk tidur. Hari itu (7/8) saya baru
memperingati tepat dua tahun menjalani transplantasi hati. Masih harus
menjaga diri agar jangan tidak tidur semalam suntuk. Saya menduga,
penyerangan finalnya baru akan dilakukan pukul 03.00 atau 04.00. Sebagai
orang yang pernah lama jadi wartawan saya hafal: polisi sering
melakukan penyergapan penting pada dini hari.
Tapi saya tidak bisa tidur nyenyak. Pesawat TV memang tidak saya
matikan. Mata saya menutup tapi telinga membuka. Jam 04.00 kurang, mata
saya kalah dengan telinga. Saya ingin segera tahu apa hasil penyerangan
final yang saya perkirakan sudah selesai dilakukan. Saya lirikkan mata
yang masih mengantuk itu ke layar TV. Ternyata masih sama dengan sebelum
saya tidur. Metro TV hanya menampilkan wawancara kurang menarik dengan
pengamat intelejen. Mata sudah terlanjur melek. Iseng-iseng saya coba
pindah ke TV-One. Terbelalak. TV-One menyajikan gambar dari jarak dekat.
Bahkan, tak lama kemudian, TV-One mereportasekan adanya robot yang
disuruh keluar masuk ke rumah persembunyian Noordin M. Top itu.
Kian jelas TV-One mulai memang terhadap Metro TV. Bahkan memang
telak. Sesekali saya pindah ke Metro TV, masih meneruskan wawancara
kurang menarik itu. Saya kian tidak mau lagi pidah dari TV-One. Saya
sangat memuji kegigihan TV-One dalam “membalas” kekalahan tipisnya
menjadi kemenangan telak itu. Penjelasan mengenai dilibatkannya robot
dalam operasi ini, sangat menarik. Meski pun saat itu gambar robotnya
belum terlihat, namun penyebutan dikerahkannya robot dalam operasi ini
sangat membangunkan saya.
Terus terang saya belum pernah melihat robot polisi atau polisi robot
yang disebut-sebut oleh penyiar TV-One itu. Apalagi penyiar TV-One
tidak pernah mendiskripsikan seperti apa bentuk robot polisi tersebut.
Sambil memperhatikan gambar di layar saya terus membayangkan dengan
imajinasi saya sendiri mengenai bentuk robot yang dimaksud. Yakni sebuah
robot seperti boneka kecil yang matanya adalah kamera. Lama sekali saya
membayangkan robot seperti itu karena di layar memang belum pernah
terlihat bentuk robot yang dimaksud.
Baru jam 05.30 tepat terlihatlah di layar TV-One robot yang dimaksud.
Ternyata seperti tank dalam bentuk lebih kecil. Yakni berukuran panjang
sekitar 1 meter. Tangan-tangannya berada di atas kendaraan kecil itu.
Tangan itulah yang membawa kamera dan benda-benda yang diperlukan untuk
diletakkan di tempat sasaran.
Dari sinilah saya lantas menarik kesimpulan: rupanya penyerangan tidak
dilakukan dini hari tersebut karena masih menunggu datangnya robot dari
Jakarta. Kehadiran robot tersebut amat penting sebagai langkah
hati-hati. Jangan sampai ada petugas yang jadi korban. Sebab berbagai
pertanyaan mengenai apa saja yang ada di dalam rumah di sebelah bukit
itu memang masih belum terjawab. Misalnya berapa orang sebenarnya yang
ada di dalam rumah itu. Ada berapa senjata dan jenis apa saja. Adakah
bom tersimpan di sana dan seberapa besar.
Pengintaian yang terbaik dan paling tidak membawa resiko adalah
pengintaian cara modern dengan robot. Tapi saya tidak pernah menduga
bahwa Densus 88 dilengkapi robot! Mendengar digunakannya robot ini dan
kemudian melihat di layar kaca mengenai bentuknya, saya benar-benar
bangga pada polisi Indonesia. Tidak sejelek yang banyak dikatakan orang.
Dengan melihat robot ini kejengkelan saya mengenai lamanya proses
pengepungan tersebut hilang sama sekali. Semula saya bertanya-tanya
mengapa proses ini begitu lama” Segitu kuatkah Noordin M. Top” Kurang
merasa kuatkah Densus 88″ Tapi dengan munculnya robot di pagi buta itu
saya mengakui bahwa polisi memang perlu menggunakan adagium “lebih cepat
lebih baik?. Menunggu datangnya robot bisa dibilang “lambat tapi
tepat?. Untuk apa juga cepat-cepat tapi ceroboh. Toh, sang buron tidak
akan bisa lolos lagi. Pengepungan sudah dilakukan secara tepung-gelang.
Posisi rumah “itu” juga sangat “enak” untuk dikepung. Bahkan banyak
wartawan saya yang dengan guyon mengatakan “lebih baik pengepungan
dilakukan satu minggu?. Lebih dramatik.
Menjelang fajar itu perkembangan memang sangat dramatis. Untuk
memasukkan robot, pintu depan harus diledakkan dulu agar terbuka. Lalu
robot masuk. Wartawan TV-One kelihatannya berhasil mengambil posisi
bersama polisi yang membaca layar monitor hasil kerja kamera yang
dipasang di robot. Karena itu wartawan TV-One bisa melaporkan mengenai
keadaan di bagian depan rumah tersebut: tidak ada orang sama sekali di
situ. “Mata” robot lantas bisa melihat ada pintu tertutup yang
menghubungkan bagian depan dan bagian belakang rumah itu. Maka robot
ditarik kembali ke luar.
Tugas robot rupanya masih panjang. Dia harus masuk lagi ke rumah
tersebut dengan membawa bahan peledak. Yakni untuk ditempatkan di dekat
pintu tertutup tersebut. Asumsinya, para teroris sudah pindah ke bagian
belakang rumah. Mungkin sejak diledakkannya pintu depan. Bukankah
sebelum itu masih ada perlawanan dari dalam rumah bagian depan” Yakni
berupa tembakan beberapa kali, terutama antara jam 21.00 sampai 01.00?
Tugas meletakkan bom kecil di dekat pintu tertutup tersebut rupanya
berhasil dilakukan robot dalam waktu cepat. Robot lantas ditarik keluar.
Tak lama kemudian: blaaar! Ledakan berskala sedang terdengar.
Jendela-jendela tergetar dan mengeluarkan percikan debu dan pecahan
kaca. Pertanda pintu yang dimaksud mestinya sudah terbuka. Sang robot
kembali ditugaskan melakukan pengintaian. Masuk ke bagian belakang rumah
tersebut. “Mata” robot melihat ke sana kemari tapi tidak ada apa-apa.
Kecuali barang yang berantakan. Berarti tidak ada kemungkinan lain
kecuali satu ini: sang buron menyingkir ke kamar mandi. Apalagi jam
sudah menunjukkan pukul 08.00. Saatnya semua orang menunaikan hajat?.
Apakah robot ditugaskan kembali untuk meledakkan pintu kamar mandi”
Ataukah ditugaskan kembali membuka pintu belakang rumah itu” Ternyata
tidak. Hasil perhitungan polisi tentu sudah final: Noordin M Top
terpojok. Lebih gampang menyergapnya.
Tugas membuka pintu belakang rupanya diserahkan kepada juru tembak
yang ada di bukit di belakang rumah tersebut. Puluhan polisi memang
sudah bertengger di bukit yang hanya sedikit lebih tinggi dari atap
rumah tersebut. Serentetan tembakan diarahkan tepat mengenai tembok di
sekitar kusen pintu belakang tersebut. Rentetan tembakan itu begitu
akuratnya sehingga seluruh dinding di sekitar kusen menganga. Pintu pun
roboh beserta kusennya. Itulah sebabnya, meski tidak terlihat di layar
TV, saat itu debu tembok bergumpal-gumpal seperti awal di bagian
belakang rumah tersebut.
Selanjutnya penyerbuan dilakukan dari banyak arah. Pemirsa TV-One
mengharapkan terjadinya klimaks yang dramatik. Pemirsa, seperti saya,
berharap inilah untuk kali pertama dalam sejarah liputan langsung
peristiwa seperti ini bisa ditonton secara live! Saya membayangkan
seperti saat saya berada di AS dulu, yakni TV sedang melakukan siaran
langsung pengejaran buron O.J. Simpson yang melarikan mobilnya di
sepanjang jalan bebas hambatan No. 5. California. Klimaks dari
pengejaran berjam-jam itu hebat sekali. Kita bisa melihat bagaimana
polisi menaklukkan mobil O.J. Simpson, bintang American football yang
legendaris itu.
Saya juga bisa berharap mengulangi menyaksikan siaran langsung
pembajakan bus sekolah di Florida beberapa tahun kemudian. Berjam-jam
kita bisa mengikuti perjalanan bus sekolah yang dibajak itu ke mana-mana
sampai pada klimaksnya. Dalam hal penyerangan rumah teroris di
Temanggung kemarin itu, pemirsa tidak mendapatkan klimaks yang
diharapkan itu. Ketika reporter TV-One melaporkan pandangan mata
mengenai klimaks itu, yang muncul di layar adalah gambar-gambar yang
diambil sebelumnya yang diulang-ulang. Yakni gambar beberapa polisi
memasukkan pipa paralon yang ujungnya diberi pengait itu. Akibatnya
imajinasi pemirsa tidak nyambung.
Klimaks peristiwa ini seperti laporan pandangan mata dari radio.
Reporter memberitahukan dengan baik bahwa polisi yang baru saja masuk
rumah tersebut sudah kembali keluar lagi dengan memperagakan toast
kepada polisi yang lain. Ini pertanda penyerangan telah selesai dan
polisi meraih sukses. Klimaks seperti ini bahkan lebih jelak dari siaran
radio. Di radio pendengar bisa berimajinasi secara penuh. Di layar
TV-One kemarin, imajinasi pemirsa terganggu oleh layangan gambar di
layar. Di suara sudah menyebutkan selesainya penyerangan itu, tapi di
layar masih menggambarkan upaya keras para polisi memasukkan pipa
paralon. Gambar ini “merusak” imajinasi karena pemirsa terpengaruh oleh
tulisan “langsung” di layar. Padahal yang dimaksud “langsung” adalah
suaranya. Bukan gambarnya.
Apa pun TV-One harus diacungi jempol. Begitu telaknya kemenangan TV-One
sampai-sampai reporter Metro TV perlu menyampaikan kepada permirsa bahwa
Metro TV hanya bisa mengambil gambar dari jarak jauh karena ingin
mematuhi etika peliputan. Maksudnya: TV-One telah melakukan pelanggaran.
Saya tidak mengomentari itu pelanggaran atau bukan. Yang jelas TV-One
berhasil membina hubungan yang demikian hebatnya dengan pihak
kepolisian sehingga bisa menitipkan juru wartanya bersama tim inti
penyerangan yang bersejarah ini.
Dalam posisi Indonesia yang seperti sekarang, saya menilai siaran
langsung kemarin membawa dampak yang amat baik. Terutama bagi tumbuhnya
kepercayaan diri bahwa bangsa ini selalu mampu keluar dari kesulitan.
Asal kita memang sungguh-sungguh. Dunia harus melihat itu. Sedang kita
harus bertekad untuk lebih sering sungguh-sungguh.
Saya teringat akan kata-kata mantan Dandensus 88 Brigjen Surya Dharma
juga di TV-One. “Berilah waktu. Adik-adik saya pasti mampu membongkar
ini. Mereka itu hebat-hebat,” katanya.
Saya pernah bepergian jauh selama empat hari bersama Brigjen Surya
Dharma. Saya tahu kehebatannya. Saya juga tahu komitmennya yang
benar-benar I love you full soal pemberantasan terorisme. Termasuk
perhatiannya kepada orang-orang yang pernah terlibat terorisme. Waktu
itu saya mendoakan agar dia tidak dipensiun. Saya kaget ketika tahu
bahwa masa dinasnya ternyata tidak diperpanjang. Lebih menyesal lagi
ketika tak lama kemudian terjadi peledakan bom di Marriott dan Ritz-
Carlton. Saya agak ragu apakah “adik-adik saya” sebaik dia.
Ternyata dia benar. “Adik-adik saya” itu sangat membanggakan bangsa Indonesia. (*)
No comments:
Post a Comment