Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda
Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (1)
Berikut ini adalah tulisan serial CEO Jawa Pos Dahlan Iskan yang
menyebabkan laskar Islam seperti FPI, PII, dan sejenisnya berang. Bagi
mereka, tulisan ini jelas-jelas membela PKI dan antek-anteknya. Kini,
Jawa Pos berhadapan kembali dengan laskar ini setelah sebelum2nya sudah
pernah. (REDAKSI)
Saya tidak menyangka kalau tokoh ini masih hidup. Bahkan, masih segar
bugar. Dia lahir pada 22 September 1921 yang berarti kini sudah berusia
88 tahun. Bicaranya masih sangat bersemangat dan ingatannya masih luar
biasa tajam.
Dia tidak pernah diwawancarai wartawan, setidaknya karena dua hal.
- Pertama, selama 35 tahun masa Orde Baru tentu tidak ada wartawan yang berani mewawancarainya.
- Kedua, dia memang jarang bergaul di depan umum. Ini karena sepanjang hidupnya dulu dia hampir selalu berada di penjara. Kalau toh waktu itu sedang di luar penjara, dia tidak berani menggunakan nama aslinya.
Dan, 22 tahun terakhir, setelah keluar dari penjara, dia memilih
tinggal di Sydney, yang membuatnya semakin jauh dari ingatan orang
Indonesia. Apalagi, dia juga lantas menjadi warna negara Australia.
Tinggal dialah tokoh utama pertempuran Surabaya pada 1945 yang masih
hidup. Yang menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan itu. Selama ini
kita hanya menyanjung-nyanjung tokoh seperti Bung Tomo atau Roeslan
Abdoelgani. Padahal, yang satu ini adalah ketuanya dua orang itu.
Bahkan, Bung Tomo pernah minta kepada dia agar diselamatkan nyawanya.
Yakni, ketika Bung Tomo ditangkap para pemuda karena dianggap melanggar
disiplin perjuangan.
Dia yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal kala itu.
Namun, namanya tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi
disebut-sebut orang, entah sudah berapa puluh tahun. Namanya pendek:
Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son saja.
Dia juga pernah punya banyak nama samaran: Samio dengan pangkat
sersan atau Setia dengan pekerjaan guru. Bergantung pada siapa yang
sedang menangkapnya. Dia sendiri secara resmi pernah punya pangkat mayor
jenderal (tituler) yang diberikan oleh Bung Karno.
Begitu mendengar bahwa orang ini masih hidup, saya langsung berusaha
mencari dan menemuinya. Awalnya tentu saya harus mencari orang yang tahu
alamat lengkapnya di Sydney. Saya bertekad ingin ke sana khusus untuk
menemuinya. Tapi, ketika saya sedang menelusuri alamatnya itu, saya
mendengar selentingan bahwa dia lagi di Jakarta. Lagi menengok anaknya.
Saya pun bergegas ke Jakarta pekan lalu. Sebelum Marsono keburu balik
ke Sydney. Pagi itu juga saya bisa diterima di rumah anaknya di
bilangan Bintaro. Salah satu dari enam anaknya memang tinggal di
perumahan kelas menengah itu. Putrinya ini seorang dokter gigi yang
kawin dengan seorang fund manager. Dialah anak yang praktis dibesarkan
hanya oleh ibunya, karena sang ayah lebih banyak ”sibuk” masuk penjara.
Hampir lima jam saya bicara dengan Soemarsono. Tentu, saya menanyakan
banyak hal. Mulai pertempuran Surabaya sampai ke soal Peristiwa Madiun
yang menewaskan banyak sekali keluarga saya. Ya! Soemarsono juga tokoh
utama dalam Peristiwa Madiun 1948 yang amat terkenal itu. Jabatannya
dalam struktur pemerintahan yang dipimpin Musso dan Amir Syarifudin itu
sangat tinggi: gubernur militer. Dalam kesempatan lain saya akan menulis
khusus mengenai bagaimana Soemarsono memimpin peristiwa Madiun kala
itu.
Soal pertempuran Surabaya sendiri dia masih ingat sampai ke soal
detail-detailnya. Penjelasannya sangat rinci, dengan warna-warna yang
kaya dan tanpa pretensi agar dia diakui sebagai pahlawan utama
pertempuran Surabaya. ”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan
dalam pertempuran Surabaya itu,” kata Soemarsono ketika saya tanya
mengapa dia tidak mau menonjolkan diri. ”Pahlawan sebenarnya adalah
rakyat,” tambahnya.
Tapi, mengapa Bung Tomo begitu populer sebagai tokoh pertempuran
Surabaya? Soemarsono ternyata memiliki jawaban yang belum pernah saya
dengar selama ini. Jawabannya ini juga tidak pernah diucapkan oleh siapa
pun selama ini. ”Itu karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat
radio,” ujar Soemarsono. ”Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia
memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” tambahnya.
PRI adalah singkatan Pemuda Republik Indonesia, sebuah organisasi
yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya.
Soemarsonolah ketua PRI itu.
Ketika Bung Tomo membakar semangat kepahlawanan arek-arek Soroboyo
melalui radio, Soemarsono sebagai ketua PRI terus menggerakkan rakyat di
lapangan. Membakar semangat yang sama dari kampung ke kampung. Kalau
istilah sekarang, Bung Tomo yang melakukan serangan udara dan Soemarsono
yang menggelar serangan darat.
Selama ini, sesuai dengan yang ditulis di buku-buku, kita mengenal
Bung Tomo sebagai ketua BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia).
Bukan sebagai bagian penerangan PRI. ”Benar,” kata Soemarsono. ”Tapi,
itu belakangan. Setelah dia semakin terkenal, kemudian dia mendirikan
BPRI. BPRI itu berdiri belakangan,” ujarnya.
Bahkan, menurut Soemarsono, tindakannya mendirikan BPRI itu sempat
menjadi masalah. Membuat tokoh-tokoh pemuda Surabaya marah. Bung Tomo
dianggap berusaha memecah belah kekuatan pemuda Surabaya.
Bung Tomo, kata Soemarsono, lantas ditangkap oleh pemuda-pemuda
beringas itu. ”Lalu dibawa ke saya dengan maksud agar saya menjatuhkan
hukuman kepadanya,” kata Soemarsono.
”Begitu tiba di rumah saya, Bung Tomo langsung duduk jongkok di depan
saya. Minta nyawanya diselamatkan,” tambah Soemarsono. Kisah ini
benar-benar baru bagi saya.
Saat itulah Soemarsono berusaha menenangkan para pemuda itu. Dia
menjelaskan bahwa Bung Tomo tidak menyalahi aturan. Pendirian BPRI
justru bisa menampung pemuda-pemuda yang masih di luar PRI, seperti
tukang-tukang becak.
Para pemuda beringas tersebut ternyata bisa menerima penjelasan
Soemarsono. Bahkan, Soemarsono menyatakan bahwa Bung Tomo tetap sebagai
ketua bidang penerangan PRI dan sekaligus diperbolehkan menjadi ketua
BPRI. Maka, tidak ada lagi yang mencurigai Bung Tomo sebagai orang yang
bergerak sendiri.
PRI sendiri didirikan pada 21 September 1945. Kurang dari dua bulan
sebelum pertempuran 10 November Surabaya. Yakni, ketika hampir semua
organisasi pemuda saat itu menyatakan meleburkan diri ke dalam PRI.
Beberapa tokoh, seperti Soemarsono, Roeslan Widjajasastra, dan Bambang
Kaslan menjadi pimpinannya, namun belum ada ketuanya.
Dua hari kemudian ada rapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) yang
diketuai Roeslan Abdoelgani di gedung GNI, Jalan Bubutan. Dalam rapat
yang juga dihadiri seluruh eksponen pemuda Surabaya inilah Roeslan
Abdoelgani mengundurkan diri. Dan, yang lebih penting, dia minta forum
itu memilih Soemarsono sebagai ketua PRI. Maka, hari itu Soemarsono
terpilih secara aklamasi. ”Saya sudah terlalu tua untuk memimpin
organisasi pemuda ini,” ujar Roeslan Abdoelgani seperti ditirukan
Soemarsono.
PRI memilih bermarkas di sebuah bangunan kecil di Jalan
Wilhelminalaan. Hari itu juga papan nama jalan tersebut langsung mereka
ganti dengan Jalan Merdeka (sekarang dikenal dengan nama Jalan
Widodaren). Belakangan markas PRI pindah ke Hotel Simpang yang jauh
lebih besar.
”Roeslan Abdoelgani itu, menurut saya, mundur bukan karena merasa
terlalu tua. Tapi, dia itu orangnya memang agak penakut,” ujar
Soemarsono seraya tersenyum. ”Kalau saya ini sudah sering bilang kepada
istri bahwa saya bisa sewaktu-waktu mati. Harus diikhlaskan,” tambahnya.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment