Rangkulan-Bisikan Amir Syarifuddin Bikin Lemas
Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (2)
Saya juga baru tahu dari Soemarsono tentang latar belakang sebenarnya
mengapa pertempuran Surabaya dulu terjadi. Selama ini saya hanya tahu
bahwa hari itu tentara Sekutu mendarat kembali di Surabaya, lalu
disangka bahwa Belanda akan menjajah kembali Indonesia. Pemuda Surabaya
tidak senang atas kenyataan itu, lalu terjadilah pertempuran dahsyat
yang membuat Surabaya menjadi Kota Pahlawan itu.
Ternyata tentara Sekutu itu mendarat di Surabaya dengan cara
baik-baik. Menurut Soemarsono -tokoh utama pertempuran Surabaya yang
ternyata masih hidup dan berusia 88 tahun ini-, tentara Sekutu waktu itu
mendarat dengan izin resmi dari pemerintah Indonesia. Juga diterima
secara baik-baik oleh kekuatan pemuda Surabaya, yang di dalamnya
Soemarsono menjadi ketua.
Sebelum tentara Sekutu mendarat, tiga utusan dari pemerintah pusat
datang menemui Soemarsono. Salah seorang di antara mereka adalah pejabat
Menteri Keamanan Salyo Hadikusumo (menteri keamanan yang sebenarnya
adalah Suprijadi. Namun, sejak sebelum diangkat pun tidak ada yang tahu
di mana pejuang dari Blitar itu berada). Ada juga Menteri Negara
Sartono. Utusan Jakarta ini memberi tahu bahwa dalam waktu dekat tentara
Sekutu akan mendarat di Surabaya.
Tujuan pendaratan itu baik: mereka akan mengurus tahanan-tahanan
perang di masa lalu yang masih ada di penjara-penjara Surabaya. Yakni,
ketika terjadi perang antara Jepang dan tentara Sekutu dengan kekalahan
telak di pihak Jepang di seluruh Asia. Urusan ini, menurut ilmu hubungan
internasional, disebut RAPWI -Repatriation of Allied Prisoners of War
and Internees.
Maka, ketika tentara Sekutu mendarat, para pemuda Surabaya pun
membantu. Mereka menyiapkan di mana saja Komisi Pengurusan Tawanan
Perang Sekutu itu akan bermarkas. Salah satunya di Gedung Internatio
-bangunan dua lantai yang kini berada di bagian barat Jembatan Merah
Plaza itu. Di sinilah Brigjen Mallaby, komandan komisi itu, berkantor.
Menurut Soemarsono, kecurigaan mulai muncul setelah tiga hari tentara
Sekutu berada di Surabaya. Lalu mulailah muncul rumor dan desas-desus:
jangan-jangan Sekutu juga akan melucuti senjata yang secara luas kini
berada di tangan mereka. Sebab, senjata-senjata itu dulu memang milik
Jepang atau Belanda. Baik yang didapat dengan cara direbut maupun hasil
dari tentara Sekutu yang ditembak. Dalam tiga hari itu, berita dari
mulut ke mulut kian luas: kok tentara Sekutu berada di sudut-sudut
Surabaya yang strategis.
Berdasarkan kecurigaan itulah pemuda Surabaya membuat keputusan untuk
mendahului daripada didahului. Kekuatan pemuda Surabaya mulai menyerang
pusat-pusat konsentrasi tentara Sekutu. Terjadilah perang selama tiga
hari. Yakni 28, 29, dan 30 Oktober 1945.
”Perang ini perang besar. Ini perang melawan tentara Sekutu yang
gagah berani, yang persenjataannya modern, yang baru saja memenangkan
perang besar di seluruh Asia Timur/Tenggara,” ujar Soemarsono.
Dalam pertempuran itu, menurut Soemarsono, kekuatan pemuda Surabaya
di atas angin. ”Saya yakin, dalam beberapa jam lagi kemenangan mutlak
sudah bisa didapat,” ujar Soemarsono mengenang peristiwa 64 tahun lalu
itu.
Sekutu sudah kewalahan. Buktinya, Mallaby menghubungi markas pusat
Sekutu se-Asia Tenggara di Singapura. Mallaby minta atasannya itu
mengusahakan genjatan senjata. ”Karena itu, kami sempat jengkel ketika
Bung Karno minta pertempuran dihentikan,” ujar Soemarsono yang dalam
usia 88 tahun ini semangatnya masih luar biasa.
Setelah menerima laporan dari Mallaby, komandan tertinggi tentara
Sekutu di Singapura, D.C. Hawthorn, langsung terbang ke Jakarta. Yakni,
untuk menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Hawthorn minta diberlakukan
gencatan senjata. Waktu itu Bung Karno belum genap tiga bulan menjadi
presiden pertama Indonesia. Soemarsono tidak tahu apa kompensasi yang
diberikan tentara Sekutu untuk tawaran gencatan senjata di Surabaya ini.
Yang jelas, hari itu juga Bung Karno dan Bung Hatta langsung terbang ke
Surabaya dengan pesawat dari Singapura tersebut.
Tiba di Surabaya Bung Karno langsung melakukan konvoi keliling kota.
Bung Karno menyerukan agar tembak-menembak dihentikan. Bung Karno
keliling kota seperti itu karena tidak tahu bagaimana cara mencari para
pimpinan pemuda Surabaya. Mereka semua sedang berada di front yang
berbeda-beda. Soemarsono, misalnya, lagi memimpin pasukan di Wonokromo,
bagian selatan Kota Surabaya.
Soemarsono kaget ketika tiba-tiba mendengar seruan Bung Karno itu.
”Saya nyumpah-nyumpah dan marah-marah. Bagaimana ini? Perang sudah
hampir menang, kok disuruh berhenti,” kisahnya.
Dari siaran itu Soemarsono juga tahu bahwa mobil konvoi presiden akan
melewati Jalan Ngagel yang tidak jauh dari Wonokromo. Karena itu, dia
pamit kepada pasukannya untuk mencegat konvoi Bung Karno di Ngagel.
”Saya berdiri di tengah jalan. Saya hentikan mobil yang membawa Bung
Karno dan Bung Hatta. Konvoi itu berhenti. Mallaby juga ada dalam konvoi
itu. Saya marah-marah kepada Bung Karno. Saya beri tahu Bung Karno
bahwa sebentar lagi Inggris pasti kalah. Mengapa dihentikan begitu. Bung
Karno diam saja sambil menunduk,” kenang Soemarsono.
Tidak lama kemudian, Soemarsono melihat Bung Karno menjawil Mr Amir
Syarifuddin. Jabatan Amir kala itu adalah menteri keamanan rakyat.
Jawilan Bung Karno itu maksudnya sebagai kode agar Amir turun dari mobil
untuk menemui Soemarsono.
”Amir langsung merangkul pundak saya dan membisikkan kata-kata yang
membuat saya lemas menyerah,” kata Soemarsono sambil memeragakan
bagaimana Amir merangkul dirinya dengan cara dia merangkul Don Kardono,
pemred harian INDOPOS Jakarta (Jawa Pos Group) yang bersama saya menemui
Soemarsono pekan lalu.
Sambil merangkul Don Kardono, Soemarsono membisikkan kata-kata
seperti gaya waktu Amir membisikkan kata-kata sakti itu kepadanya. Apa
isi bisikan ”maut” itu? ”Marsono, ini sudah dirundingkan dengan
kita-kita di Jakarta,” ujar Soemarsono menirukan bisikan Amir
Syarifuddin. Melihat Soemarsono belum bisa menerima alasan itu, Amir
menambahkan bisikannya dengan mengutip pepatah dalam bahasa Inggris.
”Not the battle. We have to win the war,” bisik Amir.
Dalam kamus militer, memenangkan pertempuran (battle) memang belum
berarti memenangkan perang (war). Padahal, tujuan serangan yang
sebenarnya adalah memenangkan perang dan bukan hanya untuk memenangkan
pertempuran. Menurut teori ini, kalau perlu sebuah pasukan bisa
memenangkan perang tanpa harus melakukan pertempuran.
Dalam setiap revolusi, kapan pun dan di mana pun, memang selalu ada
konflik intern menyangkut strategi memenangkan perang. Para politisi
sering lebih memilih jalan perundingan. Para pejuang di lapangan sering
memilih jalan perang. Dua kelompok ini sering saling mengklaim
dirinyalah yang benar. Jangankan dalam sebuah perang kemerdekaan sebuah
negara. Dalam sebuah partai kecil pun perbedaan seperti itu tidak bisa
dihindarkan. Di Partai Golkar saat ini, misalnya, pertentangan antara
kelompok yang mau oposisi dan yang mau bergabung ke SBY saja serunya
bukan main.
”Mendengar kata-kata Amir itu, saya langsung seperti Gatotkaca ilang
gapite, lemes,” ujarnya. Maksudnya, Soemarsono kehilangan daya.
Soemarsono memang sangat tunduk kepada Amir Syarifuddin. ”Kalau saja
hari itu hanya Bung Karno yang meminta saya untuk menghentikan perang,
saya tidak akan tunduk,” ujarnya. ”Tapi, Bung Karno juga tahu kelemahan
saya. Karena itu, Bung Karno mengajak serta Amir Syarifuddin ke
Surabaya,” tambahnya.
Soemarsono akhirnya tidak berdaya ketika justru diajak Amir untuk
naik mobil ikut konvoi. Juga harus ikut menyerukan gencatan senjata.
”Mati aku ini,” katanya dalam hati ketika itu.
Hari itu juga, 30 Oktober 1945, perundingan diadakan di kantor
gubernur Jatim. ”Dalam perundingan itu Mallaby mengatakan ada sekitar
5.000 tentaranya yang hilang. Minta dikembalikan,” ujar Soemarsono
mengenang. ”Saya langsung jawab. Kami kehilangan 20.000 orang. Apa bisa
minta kembali?” imbuh Soemarsono.
Perundingan itu memang tidak memuaskan pihak Sekutu. Karena itu, 10
hari kemudian, 10 November 1945, ketika sudah berhasil konsolidasi,
tentara Sekutu melakukan serangan hebat. Sekutu memborbardir Surabaya.
”Serangan 10 November itu pada dasarnya adalah serangan pembalasan. Luar
biasa banyaknya korban jatuh. Karena itu, saya usul ke Bung Karno untuk
menjadikan hari itu sebagai Hari Pahlawan. Bung Karno langsung setuju,”
ujar Soemarsono.
Dengan mengusulkan penentuan Hari Pahlawan itu, Soemarsono bermaksud
agar tidak ada satu tokoh pun yang ditetapkan jadi pahlawan dalam kaitan
dengan perang Surabaya ini. Tidak juga dirinya. ”Ini perang rakyat
Surabaya. Bukan perangnya satu orang,” ujar Soemarsono yang kini menjadi
warga negara Australia itu. (bersambung)
No comments:
Post a Comment