Ekstrem Kanan Kiri Oke, tapi Tengah Memimpin
Soemarsono, Golongan Kiri, dan Pergolakan Seputar Proklamasi
Cara memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945 seperti itu memang sangat khas cara berpikir kita sampai sekarang:
Yang penting merdeka dulu! Bagaimana rumitnya urusan setelah itu baru
dipikirkan kemudian. Cara berpikir begitu juga terlihat ketika terjadi
reformasi pada 1997/1998. Pokoknya reformasi dulu. Urusan rumit setelah
itu dipikir kemudian. Karena itu, pikiran lain yang dilontarkan tokoh
seperti Dr Nurcholish Madjid tidak laku. Maklum, waktu itu gelora untuk
melakukan reformasi luar biasa besarnya. Bukan hanya gerakan bawah tanah
sebagaimana yang terjadi menjelang proklamasi kemerdekaan RI, tapi
sampai ke gerakan demo besar-besaran secara terang-terangan: Reformasi
sekarang!
Padahal, sekitar seminggu sebelum Presiden Soeharto memutuskan untuk
meletakkan jabatan, Cak Nur (begitu panggilan akrabnya) mengemukakan
gagasan penting: Bagaimana kalau Pak Harto sendiri yang memimpin
jalannya reformasi. Kita, kata Cak Nur, bisa memberi waktu dua tahun
kepada Pak Harto untuk menyelesaikan proses reformasi itu. Selama proses
itu, kita percaya penuh kepada Pak Harto. Dengan pikiran seperti itu,
menurut Cak Nur, reformasi akan berjalan secara terencana. Tentu tidak
perlu terjadi huru-hara. Tidak sampai meletus peristiwa Mei 1998. Tapi,
pikiran seperti itu, pada masa yang penuh gelora menentang Pak Harto,
dianggap pikirannya orang yang lembek. Soeharto harus segera turun
takhta. Sekarang! Terlalu enak orang seperti Soeharto diberi waktu dua
tahun.
Dua tahun itu lama sekali. Bisa-bisa Soeharto lupa tugasnya untuk
melakukan reformasi. Ini sangat khas pola pergerakan revolusioner.
Seperti juga sikap para pemuda menjelang proklamasi kemerdekaan dulu.
Tidak sabar menunggu Jepang sendiri saja yang memerdekakan kita. Bahkan,
saking tidak percayanya, kata-kata Jepang yang menjanjikan kemerdekaan
“kelak” dibuat pelesetan di rapat-rapat umum waktu itu, juga di
pertunjukan-pertunjukan ludruk: Kita tidak percaya “kelak”, kita hanya
percaya “kolak”! Kolak adalah makanan khas Surabaya, yang terbuat dari
pisang yang direbus bersama santan dan gula.
Yang selalu terpikir dalam suasana yang revolusioner adalah takut
kehilangan momentum. Ini juga yang mewarnai revolusi Madiun 1948 dan G
30 S/PKI tahun 1965. Dalam pikiran revolusioner seperti itu, yang
terbayang adalah keindahan melulu: Setelah proklamasi pastilah rakyat
makmur. Setelah reformasi pastilah rakyat makmur.
Tidak terbayangkan bahwa setelah proklamasi luar biasa sulitnya.
Perasaan telah merdeka ternyata membuat semua orang merasa punya hak
yang sama. Lalu, merasa pula berhak melakukan apa saja sesuai dengan
keinginan dan aliran politiknya. Ekstremitas terjadi di mana-mana dengan
segala bentuk dan latar belakangnya. Yang aliran kanan mengkristal ke
Negara Islam Indonesia. Yang kiri mengkristal menjadi peristiwa Madiun.
Suasana setelah reformasi kurang lebih sama. Bukan main juga hebohnya.
Negara menjadi lemah, pemerintah kehilangan keyakinan, pertentangan
muncul dan kerusuhan di mana-mana. Semua orang seperti boleh melakukan
apa saja. Dalam proses ini, yang kiri juga mengkristal, meski belum
sampai menampakkan wujud formalnya. Yang kanan mengkristal dalam bentuk
terorisme sekarang ini.
No comments:
Post a Comment