Kemajuan Negara Seribu Tuhan (1)
Kota Terbesar Keempat Masih Sekelas Makassar
Oleh : Dahlan Iskan
Benarkah India (negara yang dikenal memiliki lebih dari 1.000 Tuhan
itu) mengalami kemajuan luar biasa sebagaimana Tiongkok (negara yang
dikenal tidak memiliki Tuhan sama sekali itu)?
Karena itu, saya sudah agak lama ingin ke India. Tentu, ketika akhirnya
saya berangkat ke sana, pekan lalu, pikiran saya sudah penuh dengan
cerita sukses dan angka-angka mengagumkan yang belakangan ini sering
menghiasi media internasional. Khususnya cerita tentang pertumbuhan
ekonominya yang fantastis beberapa tahun terakhir. Yang selalu bisa
tumbuh sampai 9 persen per tahun. Juga cerita mengenai pembangunan
infrastrukturnya yang dilakukan secara besar-besaran. Termasuk cerita
mengenai sukses India sebagai pusat outsourcing dunia.
Dengan gambaran seperti itu, saya membayangkan suasana dan semangat
pembangunan di India seperti suasana di Tiongkok. Setidak-tidaknya
seperti Tiongkok 15 tahun yang lalu, ketika saya sudah mulai sering ke
sana. Saya bayangkan di India sekarang ini banyak sekali dilakukan
pembangunan gedung baru yang mencakar langit, jalan tol yang
meliuk-liuk, jembatan panjang yang berlapis-lapis, pelabuhan besar yang
fantastis, dan bandara modern yang gagah.
Bayangan seperti itu muncul terutama karena saya belum pernah ke
India. Saya tidak punya bayangan bagaimana lima atau sepuluh tahun yang
lalu. Kecuali gambaran bahwa India sangat miskin, kotor, dan banyak
sekali pengemis. Tapi, seberapa miskin sebenarnya saya tidak bisa
membayangkan dengan baik. Kecuali bahwa sudah pasti lebih miskin
daripada Indonesia yang miskin itu.
Tetapi, setelah lima tahun terakhir saya selalu mendengar dan membaca
bahwa India mengalami kemajuan yang luar biasa, saya sangat tergoda
untuk menyaksikannya. Seperti Tiongkokkah? Bagaimana bisa? Bukankah
Tiongkok maju di samping karena tidak punya Tuhan juga karena tidak ada
demokrasi? Sebaliknya, India menganut demokrasi murni dengan Tuhan lebih
dari seribu? Bagaimana negara berkembang yang demokratis bisa begitu
maju? Tumbuh 9 persen setahun selama beberapa tahun terakhir?
Maka, kali ini saya bertekad untuk ke India. Tidak hanya ke ibu
kotanya, tapi juga ke berbagai wilayahnya. Kota besar dan kota kecilnya.
Saya ingin membandingkan seberapa gegap gempita pembangunannya,
terutama karena saya selalu menyaksikan gegap gempita seperti itu di
Tiongkok.
Saya memilih mendarat pertama di Kota Chennai yang dahulu terkenal
dengan nama Madras. Ini hanya semata-mata karena saya tidak mau mendarat
menjelang tengah malam. Semua penerbangan dari Singapura ke India (ke
New Delhi, Mumbai, Calcuta, Kolkata, Bangalore, Ahmedabad, Hyderabad)
selalu tiba menjelang tengah malam atau setelah subuh. Itu akan
mengganggu ritme hidup saya yang masih perlu dijaga ketat setelah
setahun ganti hati.
Begitu mendarat, terutama setelah melihat bandaranya, saya bertanya
dalam hati: di mana itu wujud nyata dari terjadinya pertumbuhan ekonomi 9
persen selama lima tahun? Ah, mungkin saja bandaranya memang masih
dalam proses perencanaan untuk dibangun yang baru. Maka, saya keliling
kota, antara lain dengan menyetir sendiri mobil milik relasi untuk
mendapatkan gambaran yang lebih luas. Tapi, saya benar-benar tidak
mendapatkan kesan bahwa ekonomi negeri itu tumbuh 9 persen. Melihat Kota
Madras dari luarnya, saya memperoleh kesan bahwa kota ini hanya tumbuh
kira-kira 5 atau 6 persen. Seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia
sekarang ini.
Memang ada proyek pembangunan jalan layang atau tol dalam kota, tapi
jumlahnya tidak banyak. Sepanjang perjalanan dari bandara ke pusat kota,
saya hanya melihat satu proyek jalan layang yang panjangnya sekitar 10
km. Itu pun dikerjakan dengan jumlah pekerja dan peralatan yang tidak
menunjukkan suasana sedang dikebut.
Memang ada beberapa gedung baru, namun bukan gedung yang spektakuler.
Paling hanya gedung berlantai 12 yang muncul di sana-sini secara
sporadis. Di jalan-jalan memang mulai tampak mobil-mobil baru, namun
tetap dominan mobil lama. Misalnya Fiat tahun 1970-an.
Tempat rekreasinya (Madras memiliki pantai terpanjang kedua di dunia)
juga tidak terurus. Masih juga seperti Pantai Kenjeran Surabaya. Kebun
binatang dan taman-taman hiburannya sama saja. Penataan dan perawatannya
masih khas kota negara berkembang.
Kondisi itu jauh dari bayangan saya akan Madras. Padahal, Madras
bukan kota sembarangan. Pada 1700-an, kota itu sudah amat terkenal
sebagai hub perdagangan Timur dan Barat. Yakni ketika Inggris dan
Belanda masih rukun. Kerukunan itu diwujudkan dalam bentuk mendirikan
perusahaan bersama di seluruh Hindia Raya dengan bidang usaha menguasai
sumber rempah-rempah dan tekstil.
Ketika perusahaan baru berumur dua tahun, hubungan Belanda dan
Inggris memburuk. Lalu, mereka sepakat pisah. Perusahaan itu dibelah
dua. Belanda memilih menguasai Indonesia dengan perdagangan
rempah-rempahnya, sedangkan Inggris mendapatkan wilayah India dengan
bidang usaha utama tekstilnya. Tetapi, Belanda tetap harus menggunakan
Madras sebagai hub pelabuhan rempah-rempah, sedangkan Inggris
menggunakan pelabuhan Kolkata untuk hub perdagangan tekstilnya. Jadi,
dalam benak saya, Madras pastilah kota besar yang amat penting.
Karena itu, saya seperti kecewa ketika mendarat di Madras tersebut.
Meski merupakan kota terbesar ke-4 di India, saya melihat wajah kota itu
ternyata hanya seperti Makassar. Tipologinya memang amat mirip
Makassar. Di ibu kota Sulsel memang sudah mulai muncul gedung baru
seperti Sahid Hotel atau Sedona Hotel atau Graha Pena, tapi masih
tenggelam oleh keadaan sekitarnya yang terkesan kumuh.
Bahkan, hotel bintang lima seperti Sheraton Madras, tempat saya
menginap, hanya mewah di dalamnya. Tamannya seperti masuk bagian yang
harus dihemat anggarannya. Begitulah umumnya taman di Madras, baik taman
kota maupun taman perkantoran dan perhotelan. Hanya mirip benar dengan
Makassar.
Di Surabaya gedung-gedung baru dengan taman yang rindang sudah
kelihatan menonjol meski itu baru di satu-dua kawasan baru. Kadang juga
masih kalah kuat dengan kawasan kumuh yang sangat luas di mana-mana:
Dupak, Tambaksari, Keputran, dan banyak lagi. Di bagian yang maju dan
indah, Surabaya masih menang daripada Madras. Di bagian kumuhnya juga
masih menang. Maksud saya, Surabaya masih lebih kumuh.
Sekali lagi, saya tidak tahu bagaimana kota Madras lima atau sepuluh
tahun yang lalu. Saya hanya bisa menyimpulkan, kalau keadaan seperti itu
dikatakan ekonominya tumbuh 9 persen setahun, pastilah sepuluh tahun
yang lalu luar biasa kumuhnya. Tetapi, saya belum mau menarik kesimpulan
tergesa-gesa. Itu kan baru Madras. Siapa tahu pertumbuhan ekonomi yang
amat tinggi itu bisa terlihat di bagian lain India.
Namun, dari kunjungan ke Madras itu, saya sudah bisa menarik tiga
kesimpulan.
Pertama, sangat mungkin India akan segera melewati Indonesia. Lantas, begitu berhasil melewati Indonesia akan dengan cepat meninggalkan jauh Indonesia. Kisah 15 tahun lalu, saat Indonesia mulai ditinggalkan Tiongkok dan kini sudah terlalu jauh di belakang, bisa-bisa terulang. Kali ini oleh India.
Pertama, sangat mungkin India akan segera melewati Indonesia. Lantas, begitu berhasil melewati Indonesia akan dengan cepat meninggalkan jauh Indonesia. Kisah 15 tahun lalu, saat Indonesia mulai ditinggalkan Tiongkok dan kini sudah terlalu jauh di belakang, bisa-bisa terulang. Kali ini oleh India.
Kedua, meski kemajuannya begitu pesat, apa yang terjadi di India
tidak sama dengan di Tiongkok. Pada 15 tahun yang lalu pun, gegap
gempita pembangunan ekonomi di Tiongkok sudah amat terasa. Bukan hanya
di kota-kota utamanya, melainkan sudah sampai ke kota-kota level
ketiganya (seperti ibu kota kabupaten). Kini Tiongkok sudah menggebrak
kota-kota level kawedanan dan kecamatannya.
Ketiga, ekonomi sudah mulai mengalahkan politik di India. Dampak
perubahan orientasi itu amat besar untuk modal pembangunan berikutnya.
Yakni mampu menciptakan optimisme warganya secara luar biasa. Rakyat,
rupanya, sudah merasakan perubahan dalam kehidupannya. Setidaknya,
mereka sudah mulai melihat harapan baru. Sebuah harapan yang muncul oleh
adanya perubahan nyata. Bukan oleh sebuah wacana semata.
Semua orang India yang saya temui geleng-geleng kepala mengagumi
kemajuan India saat ini. Mereka juga sangat optimistis dalam sepuluh
tahun mendatang India akan lebih maju secara luar biasa. “Bisa
mengalahkan Tiongkok,” ujar seorang manajer perusahaan yang menyertai
saya dengan nada berapi-api.
“Sudah pernah ke Tiongkok?” tanya saya.
“Belum,” jawabnya.
No comments:
Post a Comment