Tuesday, August 26, 2008

Bangalore Jadi Model Kota Baru Gandhiabad

Selasa, 26 Agustus 2008
Kemajuan Negara Seribu Tuhan (5-Habis)
Bangalore Jadi Model Kota Baru Gandhiabad
Oleh: Dahlan Iskan

KOTA terakhir yang saya kunjungi adalah Bangalore. Inilah kota yang tiba-tiba sangat terkenal di peta dunia mutakhir. Tak lain karena di kota bagian selatan India itu menjadi pusat outsourcing dunia. Banyak perusahaan Amerika atau Eropa yang punya kantor di situ tanpa mereka sendiri tahu seperti apa bentuk kantornya, kecuali lewat internet.

Misalkan Anda menelepon ke satu perusahaan terkenal di Amerika. Atau menanyakan suatu produk perusahaan Amerika. Atau bahkan menanyakan penerbangan Anda dengan pesawat Amerika. Lalu, ada orang yang menerima telepon di sana dalam bahasa Inggris. Jangan selalu Anda sangka bahwa Anda sedang berbicara dengan seseorang di Amerika. Sangat mungkin, penjawab telepon Anda itu orang di Bangalore. Atau Anda memesan software. Pesannya ke Amerika dan software Anda dikirim dari Amerika. Sebenarnya, sangat mungkin pesanan Anda itu masuk ke Bangalore dan menerimanya pun dari Bangalore tanpa singgah sama sekali di Amerika.
 
Kota tersebut mendapatkan banyak julukan yang membanggakan: Plug and Play City, World Teleport City, World IT Hub, atau bahkan Silicon Valley India. Sayang, ketika tiba di Bangalore lagi hari libur (dan karena itu tidak bisa masuk ke kompleks pusat outsourcing ini), tapi saya menjadi tahu “bentuk fisik”-nya.
 
Di pinggir kota berpenduduk 4,5 juta itu, terdapat satu kompleks seluas 20 hektare yang penuh dengan gedung baru sangat modern. Puluhan gedung kaca saling terhubung oleh koridor. Halamannya sangat luas dengan pertamanan sekelas Singapura. Itulah kompleks gedung setinggi 12 lantai penampung 20.000 tenaga kerja yang semuanya profesional. Kompleks tersebut hidup terus 24 jam karena harus melayani banyak negara dengan jam yang berbeda. Siang di Amerika atau Eropa berarti malam di India. Karena itu, jaringan listriknya independen dan berlapis tiga.
 
Kompeks tersebut sangat mencolok di Bangalore karena sangat kontras dengan keadaan umum kota itu. Tapi, terasa bahwa kompleks tersebut telah menjadi pendobrak perubahan besar-besaran di Kota Bangalore. Di tengah-tengah kondisi kota yang masih seperti Palembang (Sumatera Selatan), kini juga muncul banyak proyek baru. Jalan-jalannya sedang diperlebar. Ring road sedang giat-giatnya dibangun. Gedung-gedung baru mulai bermunculan. Debu masih beterbangan karena pembongkaran bagian-bagian lama sedang berlangsung. Sudah banyak toko dan warung yang dipermak wajah depannya.
 
Bahkan, di sekitar kompleks itu, kini dibangun puluhan gedung apartemen pencakar langit, pusat-pusat outsourcing baru, proyek-proyek serupa, hotel-hotel bintang lima, dan pusat hiburan. Saya memperkirakan, sepuluh tahun ke depan Bangalore sudah berubah menjadi kota modern. Bandaranya, yang baru saja selesai dibangun tiga bulan lalu, tidak terlalu besar, tapi berselera amat tinggi. Kelihatan sekali bahwa desain bandara itu disesuaikan dengan “merek baru” Kota Bangalore sebagai kota teknologi informasi modern.

Hadirnya pajangan tas Louis Vuitton dalam ukuran gigantik di lobi bandara itu menambah tingginya selera penampilannya. Tas LV tersebut bertengger di lobi dengan ukuran sekitar 6 x 8 meter dan tebal 1 meter. Semua orang yang lewat lobi langsung terpana karena pajangan itu. Tidak sedikit yang kemudian berhenti, memandangnya dengan kagum setengah bermimpi untuk memiliki aslinya. Tapi, yang lebih banyak lagi hanya memilih berfoto dengan latar belakang LV gigantik itu.
 
Semua sukses pasti ditiru. Apalagi sukses besar seperti yang terjadi di Bangalore. Bukan saja sukses materi, tapi juga harga diri dan nama besar. Tak ayal bila jalan kemajuan yang ditempuh Bangalore segera menjadi model bagi kota lain yang ingin mengejar. Salah satunya di Gujarat. Negara bagian ini terang-terangan ingin menjadi Bangalore lain yang lebih siap. Kota Ahmadabad, kota terbesar di Negara Bagian Gujarat, menyediakan infrastruktur yang tidak kalah hebatnya. Bandara barunya juga sudah selesai dengan citranya yang juga modern. Jaringan komunikasinya juga dirombak. Bahkan, Gujarat menyediakan satu kota baru yang dinamakan Gandhiabad (Kota Gandhi).
 
Itulah kota baru yang dijadikan ibu kota Negara Bagian Gujarat. Kotanya memang masih sepi, tanahnya masih banyak yang kosong, tapi kesiapannya sangat baik. Semua jalannya kembar dengan sempadan yang sangat lebar dan hijau di kanan kirinya. Jalan-jalan seperti itu tidak hanya ada di bagian kota yang sudah dihuni, tapi juga di seluruh kota yang belum berpenghuni sama sekali. Perencanaan tata kotanya juga sangat hebat. Tidak ada bangunan yang dekat sempadan, apalagi dekat jalan. Setiap pertemuan jalan selalu berbentuk bundaran yang luas. Garis tengah kota baru ini 40 kilometer sehingga memang sebuah kota baru yang sangat luas. Berada di Gandhiabad seperti tidak sedang berada di India. Memang baru ada satu kompleks outsourcing di kota ini, tapi pemasaran masih jalan terus. Kota ini mengambil nama Mahatma Gandhi karena Gandhi memang lahir di Gujarat dan berumah di Kota Ahmadabad. Saya sempat mengunjungi rumahnya yang kini menjadi satu dengan kompleks Museum Gandhi yang tertata baik.

Semangat bersaing untuk saling lebih maju di banyak negara bagian/kota sedang terjadi juga di India. Saya termasuk yang percaya bahwa dalam 15 tahun ke depan, India akan menjadi negara Hindu yang sangat maju -meski saya juga percaya masih jauh untuk dikatakan bisa mengalahkan Tiongkok. Tentu banyak yang berkepentingan agar India bisa maju seperti itu. Kalau India maju, 600 juta orang miskin akan mempunyai harapan untuk keluar dari penderitaannya. Demikian juga, bagian utara negeri itu yang amat indah seperti Kashmir akan bisa terselamatkan dari kerusakan lingkungan oleh kemiskinan.
 
Saya membayangkan, kalau India benar-benar bisa makmur kelak, kota seperti Shrinagar di Kashmir akan langsung mengalahkan Hangzhou! Kota itu memiliki danau yang mestinya tidak kalah dengan Xihu di Hangzhou. Pemandangan di sekitarnya juga fantastis. Bandaranya yang baru memang sedang diselesaikan. Tapi, untuk bisa membuat danau itu tertata seperti di Hangzhou, masih ada tanda tanya besar kapan akan bisa dipikirkan. Apalagi kekumuhan kota yang mengitarinya sangat kontras dengan modernisasi Kota Hangzhou. Tapi, melihat alam Shrinagar, potensi itu luar biasa hebatnya. Problem danau Shrinagar rasanya masih sama dengan Danau Toba kita.

Kalau saja India makmur kelak, Taj Mahal akan langsung bersaing ketat dengan Kota Terlarang di Beijing. Pura-puranya yang sangat banyak dan indah-indah akan sejajar atau mengalahkan daya tarik kuil-kuil yang kini jadi objek unggulan di Tiongkok. Lereng Gunung Himalaya-nya bisa ditata oleh kemakmurannya dan langsung akan menjadi seindah atau lebih indah daripada kawasan di Kunming atau Jiu Zhai Gou di Pegunungan Sichuan.
 
Jalan demokrasi di India berikut konsep otonominya sudah menemukan bentuk. Tinggal menunggu apakah bentuk itu akan menjadi wujud yang nyata atau meleleh lagi. Memang masih ada ratusan partai, tapi umumnya partai lokal. Partai nasionalnya tinggal tujuh saja. Bongkar pasang koalisinya juga sudah sangat rumit sehingga partai api sudah bisa berkoalisi dengan partai bensin tanpa terjadi kebakaran. Partai air sudah biasa ganti berkoalisi dengan partai kertas tanpa membuat si kertas basah.
 
Kini negara bagian juga lagi berlomba bikin jalan tol atau jaringan kereta bawah tanah. Kota Hyderabad di pedalaman pun kini sedang punya proyek kereta bawah tanah. Kota itu memang tidak punya uang, tapi berhasil mengundang investor. Kota Madras (kini disebut Chennai) punya jalan tol yang terasa sekali “dipaksakan”. Jalan menuju luar kota dan pusat rekreasi di pantai terpanjangnya itu sebenarnya, semula, jalan umum biasa. Tapi, karena sempadannya cukup lebar dan belum dijarah penghuni liar, jalan itu diperlebar. Yang melebarkannya adalah investor.

Maka, jadilah jalan tersebut jalan tol lengkap dengan pintu gerbang tolnya. Panjangnya 30 kilometer. Karena asal mulanya jalan umum biasa, jalan tol itu menjadi unik: lebar dan mulus, namun banyak rumah di kanan-kirinya. Sepeda motor, gerobak, pejalan kaki, dan sepeda-pancal boleh lalu-lalang di jalan ini. Yang penting, Madras bisa menyelesaikan kemacetan yang seperti leher botol di situ. Memang jalan tersebut menjadi jalan tol, tapi tarifnya lebih murah daripada jalan tol yang normal. Demokrasi yang ruwet tidak menghalangi Madras punya jalan tol dalam kota. Apa pun bentuk jalan tol itu.
 
Memang, parlemen di India akhirnya sangat mendukung kemajuan itu. Berbagai landasan hukum yang diperlukan disetujui untuk dilaksanakan. UU jalan tolnya disiapkan DPR yang kemudian bisa melindungi pemerintahnya dari banyak gugatan.

Bagaimana kita di Indonesia? Di periode yang lalu, pemerintah kita juga cukup pintar memanfaatkan peluang akan berakhirnya masa jabatan parlemen. Saat berada dalam hari-hari akhir seperti itu, anggota parlemen sedang diburu waktu yang sempit: mau mencari pensiun dunia atau pensiun akhirat. Masa seperti itu sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan mengajak mereka memforsir pengesahan beberapa undang-undang yang penting dan mendasar.
 
Kali ini kita bisa mengajak parlemen untuk kali yang terakhir mengabdi bagi kepentingan jangka panjang bangsa. Sahkanlah sekarang juga, sebelum periode DPR ini berakhir, berbagai UU yang bisa memperlancar pelaksanaan pembangunan jangka panjang Indonesia. Sahkanlah UU pajak, UU jalan tol, UU pelabuhan, dan berbagai UU penting lainnya. Itu akan menjadi bekal yang amat mendasar bagi pemerintah yang akan datang (siapa pun presidennya) untuk, begitu terpilih, bisa langsung lari cepat. Jangan sampai untuk yang akan datang itu, masa jabatan presiden yang lima tahun habis hanya untuk persiapan.
 
Sayang, pemerintah sekarang mungkin tidak mau lagi menyogok anggota parlemen sampai Rp 100 miliar. Maka, saya pun ragu DPR tertarik untuk mengesahkannya. (Habis)

No comments:

Post a Comment