Kemajuan Negara Seribu Tuhan (2)
Diserang 320 Gugatan, Proyek Tol Berlanjut
Oleh : Dahlan Iskan
Bagaimana negara berkembang dengan demokrasi yang sangat ruwet
seperti India bisa membangun jalan tol? Bukankah mestinya amat sulit?
Rupanya, India sudah biasa dengan keruwetan, sehingga lama-lama
menemukan juga solusinya. Buktinya, dalam delapan tahun terakhir ini
saja India sudah berhasil membangun jalan tol sepanjang 5.700 km.
Itulah jalan tol tahap pertama di India. Impian yang sejak 15 tahun lalu dibayangkan dan baru kali ini terwujudkan.
Jaringan jalan tol itu sudah benar-benar selesai akhir tahun lalu.
Inilah contoh dari India. Begitu membangun langsung sangat panjang.
Membelah daratan India yang sangat luas itu mulai utara (New Delhi) ke
pojok barat laut (Mumbai), terus ke selatan (Bangalore) ke pojok
tenggara (Madras), ke tengah (Hyderabad), ke pojok timur laut (Kolkata),
balik ke utara (New Delhi). Jaringan jalan tol itu lantas mirip
kerangka layang-layang. Kini mulai pembangunan tahap kedua sepanjang
7.800 km yang menghubungkan kota-kota besar itu dengan kota-kota sedang
di sekitarnya.
Apakah sebagai negara berkembang yang sangat demokratis India tidak
mengalami keruwetan seperti di Indonesia? Sebenarnya, ya, ruwet juga.
Misalnya, saat membangun jalan tol dari Kota Bangalore ke Mysore. Jarak
kedua kota itu sejauh 250 kilometer, mirip jarak
Surabaya-Probolinggo-Jember di Jawa Timur.
Sebelum mulai membangun pun kontraktornya digugat para pemilik tanah
dan LSM. Bukan hanya satu atau dua gugatan ke pengadilan yang
merepotkannya. Total ada 320 jenis gugatan! Kalau gugatan sebanyak itu
dilayani seperti di Indonesia, untuk menunggu keputusan finalnya saja
belum selesai dalam 100 tahun. Kita membayangkan kalau untuk 250
kilometer saja kontraktor menerima 320 gugatan, berapa ribu gugatan yang
masuk ke pengadilan untuk 5.700 kilometer jalan tol itu.
Namun, di India sudah sangat berbeda sekarang. Meski gugatan ke
pengadilan jalan terus, pembangunan jalan tol juga tidak berhenti. Koran
juga tidak henti-hentinya memberitakan gugatan itu, tapi tidak
berpengaruh pada penyelesaian jalan tol. Beberapa hal yang dipersoalkan,
misalnya, rusaknya lingkungan dan banyaknya tanah yang berubah fungsi.
Ada pihak penggugat yang jalan pikirannya begini: untuk jalan tol
sepanjang 250 kilomter itu menghabiskan tanah 3.500 hektare.
Lalu, karena jalan tol itu tidak melewati kota besar, jadinya kurang ekonomis. Maka, dibangunlah lima kota baru di sepanjang jalur jalan tol tersebut. Kota baru ini menghabiskan tanah 7.000 hektare. Begitu banyak tanah yang dimakan jalan tol.
Lalu, karena jalan tol itu tidak melewati kota besar, jadinya kurang ekonomis. Maka, dibangunlah lima kota baru di sepanjang jalur jalan tol tersebut. Kota baru ini menghabiskan tanah 7.000 hektare. Begitu banyak tanah yang dimakan jalan tol.
Lalu ada pula yang mempersoalkan begini: pembangunan jalan tol itu
hanya untuk menghemat perjalanan dari Bangalore ke Mysore 1,5 jam (dari
semula perlu 3 jam). “Apakah penghematan perjalanan yang hanya 1,5 jam
itu sebanding dengan hilangnya tanah 8.500 ha?” tanya salah satu gugatan
publik itu.
Toh, jalan tol itu selesai juga tahun lalu. Tentu manfaatnya tidak
sesederhana “penghematan perjalanan 1,5 jam” itu. Dengan jalan tol
tersebut wilayah pedalaman India bagian selatan bisa terhubung dengan
kota besar di timurnya (Madras) yang memiliki pelabuhan besar. Apalagi,
Madras kini dikenal sebagai Detroit-nya India, karena pabrik mobil
terbesar dibangun di sini.
Bahkan, karena jalan tol itu juga nyambung dengan jalan tol ke arah
pantai barat (Bangalore-Mumbai), berarti juga terbukanya akses wilayah
pedalaman ke pelabuhan pantai barat di Mumbai. Ini sangat penting karena
pelabuhan Mumbai (dulu Bombay) merupakan pelabuhan terbesar di India
dan kini sedang dimodernisasikan.
Jalan tol di India umumnya dibangun di sebelah jalan lama. Dengan
demikian, di sebagian besar jaringan jalan tol India terdapat jalan umum
di sebelahnya. Hanya dibatasi pagar besi rendah. Cara ini rupanya
ditempuh untuk mempercepat pembebasan lahan. Dengan cara itu hanya perlu
pembebasan tanah yang tidak terlalu banyak. Dan lagi, jalan lama memang
tidak seberapa berliku. Ini karena perencanaannya di zaman dulu (oleh
penjajah Inggris) memang sangat baik. Bukan saja relatif lurus, juga
hampir selalu tersedia area sempadan yang sangat lebar di kiri kanan
jalan lama itu.
Saya memang terkesan dengan terjaganya sempadan jalan di India ini.
Meski negaranya begitu miskin dan penduduknya begitu banyak (1,1 miliar
orang saat ini), sempadan jalannya relatif terjaga dari “penjarahan
liar”. Memang sempadan jalan itu umumnya seperti tanah telantar. Kalau
di Indonrsia, barangkali sudah dianggap tanah tidak bertuan. Di India
tanah kosong itu terjaga sangat baik. Tidak banyak rumah liar atau
tempat usaha liar yang tiba-tiba memenuhi sempadan itu. Ini sangat
berbeda dengan pemandangan sempadan jalan dari arah Surabaya ke
Mojokerto, atau dari Surabaya ke Malang. Juga di mana saja di seluruh
Indonesia yang sempadan jalannya penuh dengan bangunan liar. Akibatnya,
perjalanan ke Malang, misalnya, tidak nyaman lagi. Pengguna jalan tidak
bisa lagi menyaksikan pemandangan indah di kejauhan sana.
Meski begitu demokratisnya, meski begitu miskinnya, dan meski begitu
banyak penduduknya, saya menaruh hormat dengan terjaganya sempadan jalan
di India. Termasuk di ibu kota New Delhi. Di seluruh kota itu jalannya
memang tidak lebar, tapi sempadan jalannya lebih lebar daripada jalannya
sendiri. Di kiri dan kanannya. Semua bangunan berada jauh dari jalan.
Memang sempadan jalan itu hanya ditumbuhi pohon-pohon yang meskipun
sangat hijau, tapi tidak terawat. Tapi, tampaknya ini hanya semata-mata
karena India belum punya uang saja. Kelak, kalau India sudah mulai kaya,
pasti dengan mudah bisa mempercantiknya.
Rupanya New Delhi memang dijaga agar tidak jatuh menjadi Old Delhi.
Biarlah yang “kacau-kacau” cukup di bagian kota lama itu. Luar biasa
ruwet dan kumuhnya Old Delhi. Tapi, ya hanya di kota lama itu yang tidak
seberapa luas.
New Delhi dijaga agar semaksimal mungkin masih seperti aslinya saat
dibangun Inggris lebih 100 tahun lalu. Tuntutan kemajuan dan modernisasi
ditampung di kota-kota baru. Gedung-gedung baru yang tinggi dibangun di
wilayah baru yang cukup jauh dari New Delhi. Ini rasanya mirip dengan
kebijakan Malaysia, yang ketika kota Kuala Lumpur mulai penuh,
diputuskan membangun kota baru Syah Alam. Ketika Syah Alam juga mulai
penuh, dibangun lagi kota yang lebih baru: Putra Jaya. Dengan demikian,
masing-masing kota terjaga akan kemampuan daya tampungnya. Daya tampung
penduduknya, suplai airnya, penanganan sampahnya, dan seterusnya.
Di Indonesia, rasanya tinggal satu kota yang terjaga seperti itu.
Yakni, Palangkaraya. Di ibu kota Kalteng itu, pemdanya bisa memegang
teguh ketentuan izin bangunan. Ruko pun harus dibangun jauh dari jalan.
Ruko inilah yang sebenarnya menghancurkan perkotaan di Indonesia. Di
semua kota, kecuali Palangkaraya tadi. Bahkan, Denpasar yang indah pun
sudah hancur oleh ruko yang dibangun mepet ke jalan itu.
Di New Delhi saya memang mendapat kesan yang lain dari di Madras. Di
ibu kota India ini, pembangunan lebih terasa pesat. Di New Delhi saya
bisa membenarkan kalau ekonomi India tumbuh pesat sampai 9 persen
setahun. Bahkan, bisa seperti 12 persen setahun. Pembangunan jalan
layang, gedung baru, kota-kota satelit, apartemen-apartemen mewah terasa
cukup banyak.
Namun, juga jangan dibayangkan seperti di Beijing atau Shanghai atau
Guangzhou atau bahkan Qingdao dan Dalian. Pembangunan Jakarta rasanya
masih lebih seru daripada New Delhi. Dari sini saya, sekali lagi,
menarik kesimpulan bahwa masih jauh bagi India untuk mendekati Tiongkok.
Semangat orang-orang India untuk maju memang terasa sangat besar. Tapi, tetap tidak sebesar Tiongkok. Secara kasar saja sudah bisa dilihat. Di Tiongkok saya melihat semua proyek baru selalu seperti ingin diselesaikan besok pagi. Pukul 5 pagi (musim salju sekali pun), tenaga kerja sudah sibuk di proyek, termasuk di puncak-puncak bangunan yang belum jadi. Pukul 11 malam mereka baru meninggalkan proyek. Itu pun masih ada beberapa tenaga yang terus bekerja sepanjang malam. Misalnya, bagian angkut-angkut. Mengangkut sisa-sisa pekerjaan dibawa keluar dan mengangkut material yang diperlukan besok ke dalam proyek.
Semangat orang-orang India untuk maju memang terasa sangat besar. Tapi, tetap tidak sebesar Tiongkok. Secara kasar saja sudah bisa dilihat. Di Tiongkok saya melihat semua proyek baru selalu seperti ingin diselesaikan besok pagi. Pukul 5 pagi (musim salju sekali pun), tenaga kerja sudah sibuk di proyek, termasuk di puncak-puncak bangunan yang belum jadi. Pukul 11 malam mereka baru meninggalkan proyek. Itu pun masih ada beberapa tenaga yang terus bekerja sepanjang malam. Misalnya, bagian angkut-angkut. Mengangkut sisa-sisa pekerjaan dibawa keluar dan mengangkut material yang diperlukan besok ke dalam proyek.
Di India, kehidupan masih berjalan normal, seperti juga di Indonesia.
Pekerja proyek baru mulai berdatangan pukul 08.00 dan sudah pulang
pukul 17.00. Dari sini saja kita bisa membaca apa yang terjadi di
baliknya.
Tapi, setidaknya saya juga belajar bahwa demokrasi ternyata tidak
perlu menghalangi pembangunan jalan tol. Bahwa para pengambil
keputusannya harus lebih pintar dan banyak akal, itu memang
konsekuensinya.
Misalnya saja untuk membangun jalan tol di daerah yang penduduknya
padat dan miskin, ada satu kebijakan yang sangat pintar: tanahnya
diganti 150 persen dari harga pasar dan salah satu anggota keluarga
pemilik tanah dijadikan pegawai negeri. Dengan cara ini, meski pemilik
tanah kehilangan sumber hidupnya, ada pengganti sumber hidup yang juga
cukup permanen.
Apakah dengan demikian tidak akan ada pembengkakan jumlah pegawai
negeri? Teman saya, seorang pengusaha yang sangat aktif memperhatikan
pembangunan jalan tol di India ini menjawab: “India kan sangat besar.
Masih bisa menampung. Toh daripada menerima pegawai negeri yang tidak
menyebabkan lancarnya pembangunan infrastruktur. Saya akui cara ini
cukup cerdas.”
No comments:
Post a Comment