Sunday, August 24, 2008

Rapuh di Modal Sosial, Kuat Tanaman Keras

Minggu, 24 Agustus 2008
Kemajuan Negara Seribu Tuhan (3)
Rapuh di Modal Sosial, Kuat "Tanaman Keras"
Oleh: Dahlan Iskan

Akankah India menjadi bukti dari tesis ”demokrasi dulu baru kemudian makmur?” Artinya, apakah tanda-tanda akan terjadinya kemajuan pesat sekarang ini buah dari demokrasinya yang sudah dia jalani selama 60 tahun? Akankah India jadi bukti bahwa untuk berdemokrasi tidak perlu nunggu makmur dulu seperti yang terjadi di Taiwan, Korea, dan kemungkinan Tiongkok nantinya?

Untuk menjadi maju seperti sekarang, Tiongkok memang perlu menderita dalam sistem komunisme selama 40 tahunan. Demikian juga, untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti belakangan ini, India perlu menderita dalam sistem demokrasi murninya selama 60 tahunan.

Kini, Tiongkok memang sudah kelihatan lebih maju 20 tahun lebih cepat dari India. Tapi, Tiongkok masih harus melewati satu ujian: bagaimana bisa melewati masa transisi ke bentuk demokrasinya kelak. Apakah akan lancar sebagaimana di Taiwan dan Korea? Atau akan seperti Indonesia yang prosesnya sangat ”keras” dan menghabiskan waktu 10 tahun?

Saya sendiri memperkirakan masa transisi ke demokrasi itu akan bisa dilewati Tiongkok dengan soft landing. Ibarat kungfu, Tiongkok akan punya banyak jurus mabuk sekali pun. Proses menjadi demokrasi di tengah masyarakat yang sudah lebih makmur akan lebih lancar karena rakyatnya sudah lebih dewasa. Ibarat main kungfu pula, kelasnya mudah naik karena fisiknya sudah sangat baik.

Karena itu, saya memperkirakan dalam 15 tahun ke depan Tiongkok sudah akan menjadi negara demokrasi. Yakni, setelah Tiongkok berhasil membangun pedesaannya yang sudah dimulai sejak lima tahun yang lalu. Memberikan demokrasi sekarang, kelihatannya dianggap masih rawan karena kesenjangan kota-desa, timur-barat, pantai-pedalaman, dan kaya-miskin masih sangat lebar. Indeks Gini Tiongkok masih berada di tingkat 4,6. Saya memperkirakan Tiongkok akan membuka sistem demokrasinya setelah indeks Gini-nya mencapai 3,8 atau 4.

(Indeks Gini adalah tolok ukur untuk melihat tingkat kesenjangan kemakmuran penduduknya. Kian kecil angkanya, kian baik tingkat pemerataannya. Indeks Gini Inggris 3,1 dan yang terbaik Swedia 2,3. Memang, indeks Gini bukan satu-satunya ukuran kebaikan, karena bisa saja di suatu negara indeks Gini-nya bagus karena masih sama-sama miskin. Indeks Gini India dan Indonesia sama: 3,6)
India tidak perlu lagi melewati proses tersebut. Tapi, India telanjur ketinggalan jauh. Itu bukan berarti India tidak punya persoalan besar. India masih harus menghadapi ujian berat: apakah teori ”bahwa air itu pasti menetes” (trickle down effect theory) akan berjalan baik di India. Artinya, apakah uang yang beredar di lapisan atas yang mulai banyak yang kaya itu juga bisa menetes cukup deras ke bawah. Apakah jari-jarinya sangat rapat, sehingga air yang di telapak tangan itu tidak menetes sama sekali. Maksudnya, apakah dalam proses kemajuan ini, tetap saja yang kaya akan menjadi semakin kaya, sehingga kesenjangannya dengan yang miskin kian melebar.

Bagaimana dengan bidang sosialnya? Sangat menarik membandingkan India dengan Tiongkok. Bahkan, saya menarik kesimpulan modal sosial-lah (social capital) yang akan membedakan capaian kemajuan di dua negara. Di Tiongkok, social capital-nya luar biasa kuat. Wanita di Tiongkok sama produktifnya dengan laki-laki.

Itu antara lain hasil dari doktrin Mao Zedong. Misalnya, wanita harus memakai celana panjang (soal di dalamnya terserah masing-masing) dan harus mengenakan baju seperti laki-laki. Juga harus angkat senjata dan memegang alat kerja. Rambutnya pun diatur: harus dikepang dua. Produktivitas wanita itulah yang tiada duanya dan kemudian menular ke Vietnam.

Di Tiongkok, konflik ras, keyakinan, dan wilayah hampir tidak ada. Fleksibilitas berpikirnya seperti gerakan tai chi. Peradabannya juga sangat tua, termasuk dalam peradaban baca-tulis (ingat: kertas ditemukan di Tiongkok).

Di India, social capital-nya kalah jauh. Wanitanya masih jauh tertinggal. Konflik antar keyakinan masih rawan. Bukan berarti India tidak punya kekuatan. Peradaban India juga sangat tua, termasuk dalam baca-tulis (perguruan tinggi pertama di dunia adalah di India). Hasil keseriusannya di bidang pendidikan kini sudah mulai berbuah. Hampir semua orang India bisa berbahasa Inggris, sesuatu yang belum terjadi di Tiongkok. Berkahnya: kini India menjadi negara No 1 di dunia dalam penerimaan hasil dari warga mereka yang bekerja di luar negeri. Tiongkok hanya nomor 3, jauh setelah Meksiko. Tahun lalu saja, TKI-nya (tenaga kerja India) mengirim uang ke kampung halamannya sebesar Rp 250 triliun! (USD 27 miliar). Maklum, tenaga kerja India adalah dari kalangan terdidik.

Memang, meski negara miskin, India sangat memperhatikan pendidikan. Sekolah negeri di sana belajar sampai pukul 4 sore (Sabtu-Minggu libur). Makan siang siswanya ditanggung negara (pemda), sedangkan biaya pendidikannya ditanggung pusat. Semua gratis: buku-buku, peralatan tulis, pakaian seragam tiga setel setahun, sepatu, dan fasilitas olahraga. Gurunya, meski gajinya rata-rata dengan di Indonesia, mendapat perumahan dengan listrik dan air dibayar negara.

Itulah hasil tanaman keras di India. Panennya lama (50 tahun), tapi begitu panen hasilnya banyak, tidak pernah berhenti dan tidak perlu menanam yang baru di setiap musim. Bukan saja uang dari TKI yang Rp 250 triliun itu akan terus meningkat (tiga tahun lalu baru separonya), tapi buah dari tanaman keras tersebut juga berupa kukuhnya fondasi kemajuan yang diraih sekarang. Dengan ”tanaman keras” itu, India jadi punya modal sosial yang siap menjadi tonggak kemajuannya sekarang ini.

Di samping soal wanita, India juga masih punya persoalan besar dalam menyediakan social capital satu ini: sistem kasta di masyarakatnya. Sebagai negara demokrasi yang sudah berumur 60 tahun, ternyata India belum bisa menghilangkan nilai kekastaan itu. Bahkan, di bawah kasta keempat (Sudra), masih ada satu lapisan masyarakat lagi yang disebut ”tidak berkasta”. Itulah golongan yang kemudian disebut Dalit (mudah-mudahan kata tulalit tidak diambil dari sini), satu golongan yang tidak ada yang mau menyentuhnya. Karena itu, mereka itu juga disebut untouchable society. Mahatma Gandhi menghaluskannya dengan sebutan anak-anak Tuhan.

Akankah sistem demokrasi India, kalau terus konsisten, akan juga bisa menyelesaikannya?

No comments:

Post a Comment