Kemajuan Negara Seribu Tuhan (3)
Rapuh di Modal Sosial, Kuat "Tanaman Keras"
Oleh: Dahlan Iskan
Akankah India menjadi bukti dari tesis ”demokrasi dulu baru kemudian
makmur?” Artinya, apakah tanda-tanda akan terjadinya kemajuan pesat
sekarang ini buah dari demokrasinya yang sudah dia jalani selama 60
tahun? Akankah India jadi bukti bahwa untuk berdemokrasi tidak perlu
nunggu makmur dulu seperti yang terjadi di Taiwan, Korea, dan
kemungkinan Tiongkok nantinya?
Untuk menjadi maju seperti sekarang, Tiongkok memang perlu menderita
dalam sistem komunisme selama 40 tahunan. Demikian juga, untuk bisa
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti belakangan ini, India
perlu menderita dalam sistem demokrasi murninya selama 60 tahunan.
Kini, Tiongkok memang sudah kelihatan lebih maju 20 tahun lebih cepat
dari India. Tapi, Tiongkok masih harus melewati satu ujian: bagaimana
bisa melewati masa transisi ke bentuk demokrasinya kelak. Apakah akan
lancar sebagaimana di Taiwan dan Korea? Atau akan seperti Indonesia yang
prosesnya sangat ”keras” dan menghabiskan waktu 10 tahun?
Saya sendiri memperkirakan masa transisi ke demokrasi itu akan bisa
dilewati Tiongkok dengan soft landing. Ibarat kungfu, Tiongkok akan
punya banyak jurus mabuk sekali pun. Proses menjadi demokrasi di tengah
masyarakat yang sudah lebih makmur akan lebih lancar karena rakyatnya
sudah lebih dewasa. Ibarat main kungfu pula, kelasnya mudah naik karena
fisiknya sudah sangat baik.
Karena itu, saya memperkirakan dalam 15 tahun ke depan Tiongkok sudah
akan menjadi negara demokrasi. Yakni, setelah Tiongkok berhasil
membangun pedesaannya yang sudah dimulai sejak lima tahun yang lalu.
Memberikan demokrasi sekarang, kelihatannya dianggap masih rawan karena
kesenjangan kota-desa, timur-barat, pantai-pedalaman, dan kaya-miskin
masih sangat lebar. Indeks Gini Tiongkok masih berada di tingkat 4,6.
Saya memperkirakan Tiongkok akan membuka sistem demokrasinya setelah
indeks Gini-nya mencapai 3,8 atau 4.
(Indeks Gini adalah tolok ukur untuk melihat tingkat kesenjangan
kemakmuran penduduknya. Kian kecil angkanya, kian baik tingkat
pemerataannya. Indeks Gini Inggris 3,1 dan yang terbaik Swedia 2,3.
Memang, indeks Gini bukan satu-satunya ukuran kebaikan, karena bisa saja
di suatu negara indeks Gini-nya bagus karena masih sama-sama miskin.
Indeks Gini India dan Indonesia sama: 3,6)
India tidak perlu lagi melewati proses tersebut. Tapi, India telanjur
ketinggalan jauh. Itu bukan berarti India tidak punya persoalan besar.
India masih harus menghadapi ujian berat: apakah teori ”bahwa air itu
pasti menetes” (trickle down effect theory) akan berjalan baik di India.
Artinya, apakah uang yang beredar di lapisan atas yang mulai banyak
yang kaya itu juga bisa menetes cukup deras ke bawah. Apakah
jari-jarinya sangat rapat, sehingga air yang di telapak tangan itu tidak
menetes sama sekali. Maksudnya, apakah dalam proses kemajuan ini, tetap
saja yang kaya akan menjadi semakin kaya, sehingga kesenjangannya
dengan yang miskin kian melebar.
Bagaimana dengan bidang sosialnya? Sangat menarik membandingkan India
dengan Tiongkok. Bahkan, saya menarik kesimpulan modal sosial-lah
(social capital) yang akan membedakan capaian kemajuan di dua negara. Di
Tiongkok, social capital-nya luar biasa kuat. Wanita di Tiongkok sama
produktifnya dengan laki-laki.
Itu antara lain hasil dari doktrin Mao Zedong. Misalnya, wanita harus
memakai celana panjang (soal di dalamnya terserah masing-masing) dan
harus mengenakan baju seperti laki-laki. Juga harus angkat senjata dan
memegang alat kerja. Rambutnya pun diatur: harus dikepang dua.
Produktivitas wanita itulah yang tiada duanya dan kemudian menular ke
Vietnam.
Di Tiongkok, konflik ras, keyakinan, dan wilayah hampir tidak ada.
Fleksibilitas berpikirnya seperti gerakan tai chi. Peradabannya juga
sangat tua, termasuk dalam peradaban baca-tulis (ingat: kertas ditemukan
di Tiongkok).
Di India, social capital-nya kalah jauh. Wanitanya masih jauh
tertinggal. Konflik antar keyakinan masih rawan. Bukan berarti India
tidak punya kekuatan. Peradaban India juga sangat tua, termasuk dalam
baca-tulis (perguruan tinggi pertama di dunia adalah di India). Hasil
keseriusannya di bidang pendidikan kini sudah mulai berbuah. Hampir
semua orang India bisa berbahasa Inggris, sesuatu yang belum terjadi di
Tiongkok. Berkahnya: kini India menjadi negara No 1 di dunia dalam
penerimaan hasil dari warga mereka yang bekerja di luar negeri. Tiongkok
hanya nomor 3, jauh setelah Meksiko. Tahun lalu saja, TKI-nya (tenaga
kerja India) mengirim uang ke kampung halamannya sebesar Rp 250 triliun!
(USD 27 miliar). Maklum, tenaga kerja India adalah dari kalangan
terdidik.
Memang, meski negara miskin, India sangat memperhatikan pendidikan.
Sekolah negeri di sana belajar sampai pukul 4 sore (Sabtu-Minggu libur).
Makan siang siswanya ditanggung negara (pemda), sedangkan biaya
pendidikannya ditanggung pusat. Semua gratis: buku-buku, peralatan
tulis, pakaian seragam tiga setel setahun, sepatu, dan fasilitas
olahraga. Gurunya, meski gajinya rata-rata dengan di Indonesia, mendapat
perumahan dengan listrik dan air dibayar negara.
Itulah hasil tanaman keras di India. Panennya lama (50 tahun), tapi
begitu panen hasilnya banyak, tidak pernah berhenti dan tidak perlu
menanam yang baru di setiap musim. Bukan saja uang dari TKI yang Rp 250
triliun itu akan terus meningkat (tiga tahun lalu baru separonya), tapi
buah dari tanaman keras tersebut juga berupa kukuhnya fondasi kemajuan
yang diraih sekarang. Dengan ”tanaman keras” itu, India jadi punya modal
sosial yang siap menjadi tonggak kemajuannya sekarang ini.
Di samping soal wanita, India juga masih punya persoalan besar dalam
menyediakan social capital satu ini: sistem kasta di masyarakatnya.
Sebagai negara demokrasi yang sudah berumur 60 tahun, ternyata India
belum bisa menghilangkan nilai kekastaan itu. Bahkan, di bawah kasta
keempat (Sudra), masih ada satu lapisan masyarakat lagi yang disebut
”tidak berkasta”. Itulah golongan yang kemudian disebut Dalit
(mudah-mudahan kata tulalit tidak diambil dari sini), satu golongan yang
tidak ada yang mau menyentuhnya. Karena itu, mereka itu juga disebut
untouchable society. Mahatma Gandhi menghaluskannya dengan sebutan
anak-anak Tuhan.
Akankah sistem demokrasi India, kalau terus konsisten, akan juga bisa menyelesaikannya?
No comments:
Post a Comment