Definisi Uang yang Kian Panjang
Apakah uang?
Menurut orang biasa seperti saya, definisi itu sederhana sekali: uang
adalah alat pembayaran untuk membeli barang atau mendapatkan jasa.
Titik.
Tapi, di mata orang-orang tertentu, definisi uang seperti itu tidak
cukup. Harus ditambah sesuai dengan kepentingan masing-masing:
Bagi orang yang takut miskin, uang adalah juga alat untuk menumpuk kekayaan.
Bagi orang yang takut menjadi rakyat biasa, uang adalah alat untuk membeli jabatan.
Bagi orang yang punya utang, uang adalah alat untuk menunda pembayaran tagihan (lewat cek mundur).
Bagi yang takut neraka, uang adalah alat untuk mencari pahala (bayar zakat fitrah pun sudah tidak perlu lagi dengan beras).
Bagi yang takut masuk surga, uang adalah alat untuk menipu (misalnya dengan cek kosong).
Bagi orang miskin, uang adalah alat untuk memproduksi mimpi…(Dulu,
saya pernah bermimpi diberi uang Rp 100 saat berlebaran ke rumah
keluarga yang kaya, tapi uang itu direbut oleh kakak saya. Saya langsung
menangis bukan hanya dalam mimpi, tapi sampai setelah bangun. Saya
begitu ingin mimpi lagi tanpa diganggu kakak saya).
Yang juga penting, uang adalah sesuatu yang bisa hilang. Hanya cara
hilangnya yang berbeda-beda dan cara menangisinya yang juga tidak sama.
Dan, dari pengalaman krisis keuangan ini, uang adalah bukan uang. Tepatnya, uang adalah sekadar angka-angka.
Buktinya, banyak sekali orang yang dalam krisis sekarang ini merasa
kehilangan uang sampai puluhan miliar, tapi mereka tidak pernah
mengalami kesulitan untuk membeli makan, pakaian, keperluan rumah,
bepergian ke luar negeri, dan seterusnya. Makannya juga masih di
restoran mahal, kalau bepergian masih tidur di hotel bintang lima, masih
beli tas LV, dan masih ke Makau.
Menurut saya, orang-orang itu sebenarnya tidak kehilangan uang. Seandainya uang tersebut tidak hilang di mesin derivatif pun, toh
tidak akan digunakan untuk membeli apa-apa. Tidak sekarang, bahkan
tidak juga sepuluh tahun lagi. Bahkan sampai meninggal pun tidak akan
pernah menggunakannya untuk membeli beras. Apakah yang demikian itu
masih bisa disebut uang? Meski nilainya sampai puluhan miliar, rasanya
nilai uang itu hanya sama dengan uang Rp 100 yang saya (mimpikan) terima
dari keluarga kaya saat Lebaran itu: memilikinya hanya di angan-angan
dan hilangnya juga di angan-angan.
Yang hilang itu bukan “uang” yang akan dibelikan rumah mewah yang
bisa membuatnya lebih bergengsi -karena memang sudah punya rumah seperti
itu, atau yang akan dibelikan jas tuxedo yang bisa membuatnya
lebih ganteng -karena jasnya sudah berlemari-lemari, atau yang akan
dibelikan kalung mutiara yang bisa membuatnya cantik -karena berliannya
sudah tak terhingga. Maka, yang hilang itu sebenarnya bukan uang. Itu
hanya angka-angka. Seperti saya dulu kehilangan angka-angka dalam rapot
SD saya -karena tintanya luntur oleh tetesan air hujan yang bocor
melalui genteng yang tidak dilapisi plafon.
Karena itu, orang yang tidak ikut main angka-angka derivatif tidak
perlu ikut menangis. Kecuali menangis dalam angan-angan. Bekerjalah
seperti biasa, carilah uang, dan kalau sudah dapat, belikan sesuatu yang
diperlukan. Lalu, bekerja lagi. Bekerjalah sungguh-sungguh -karena
tidak ada orang yang bekerja hanya di angan-angan. (*)
No comments:
Post a Comment