Sebuah Kuburan Keruwetan
Catatan Dahlan Iskan
Di kuburan besar itu tidak ada penjelasan siapa yang dimakamkan
rame-rame di situ. Di tiap batu nisannya hanya tertulis kata-kata
begini: penyebab kematiannya adalah keruwetan.
Oh…, tidak sulit menebak kuburan siapa gerangan itu: Lehman Brothers dan kawan-kawan!
Dan keruwetan yang menyebabkan tewasnya berbagai perusahaan terbesar
di dunia itu adalah sebuah urusan yang, menurut Warren Buffett, bernama
“racun derivatif.”
Racun itu terbuat dari ramuan “kecerdasan, gairah dan kerakusan.”
Unsur-unsur dalam ramuan itu misalnya commercial papers, mortgage back
securities, short selling, hedging, over the counter, credit default
swaps, equity swaps, interest swaps, margin trading, futures, forward,
option, dan banyak lagi. Kalau toh bisa diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, arti dari tiap-tiap istilah keuangan itu tetap saja ruwet.
Seruwet memahami definisi dan peraturannya.
Gampangnya: semua itu adalah anak-cucu dari sistem perbankan yang
merasa tidak cukup lagi kalau hanya dapat keuntungan dari menerima
tabungan dan memberi pinjaman. Harus diciptakan produk-produk perbankan
yang baru. Itulah derivative. Yang menciptakannya harus cerdas,
bergairah dan rakus. Yang menjalankannya harus bergairah, rakus dan
cerdas. Yang memilikinya tidah harus cerdas, tapi tetap harus rakus dan
bergairah.
Saya punya teman pengusaha besar yang asalnya sangat miskin. Dia lima
bersaudara. Saudara tertua kerja mati-matian banting tulang secara
fisik. Sampai harus bertani dan kemudian berkebun sendiri. Lama-lama si
sulung itu jadi pengusaha besar hasil bumi. Dia tidak ingin adiknya
tidak sekolah tinggi seperti dia. Karena itu adiknya yang terkecil
disekolahkan ke Amerika. Sekolah keuangan. Maksudnya, agar perusahaan
keluarga yang dikelola secara tradisional itu kelak bisa jadi perusahaan
yang modern.
Si bungsu sekolah dengan tekun dan jadi ahli keuangan. Ketika pulang,
ia merasa perusahaan yang dirintis kakaknya itu harus dibuat modern.
Sistem keuangannya harus secanggih di AS. Terutama struktur
pendanaannya. Si sulung merasa bodoh dan karena itu menyerahkan saja
semuanya ke si bungsu. Terjadilah krismon. Struktur keuangannya ternyata
rapuh. Perusahaan itu mengalami kesulitan yang luar biasa. “Pak Dahlan,
gara-gara adik, sekarang saya harus kembali bertani lagi,” katanya saat
Krismon masih berlangsung. Syukurlah kini sudah jaya kembali.
Sistem keuangan modern memang luar biasa variasinya. Apalagi dapat
dukungan sistem komputer. Perdagangan derivative kian lama kian
membesar. Tentu semuanya di atas kertas, atau di layar komputer. Meski
namanya jual-beli, tapi yang berpindah tangan bukan barang atau uang,
melainkan angka-angka. Bertukarnya juga sangat kilat. Antarnegara
sekalipun bisa secepat kilat. Kalau tanam tebu memerlukan 16 bulan,
menanam derivative hanya dalam hitungan detik.
Enam tahun yang lalu, Warren Buffett, sudah mengingatkan secara
terbuka bahaya perdagangan derivative ini. “Derivative adalah senjata
pemusnah masal keuangan,” katanya. Waktu itu istilah senjata pemusnah
masal lagi top-topnya sebagai alasan Presiden Bush untuk menyerang Iraq
dan menangkap Saddam Hussein. “Saya tidak tahu kapan meledak, tapi suatu
hari kelak pasti meledak,” tambahnya.
Derivatif ternyata meledak sekarang.
Warren Buffett adalah orang terkaya di dunia saat ini, mengalahkan
Bill Gate. Dialah Chairman Berkshire Hathaway yang memiliki bisnis ritel
terbesar di dunia Wallmart. Dia punya pengalaman pahit membeli
perusahaan yang rupanya sudah digelembungkan melalui berbagai
perdagangan derivative. Mau dia jual lagi tidak laku. Maka dia harus
membersihkan “lemak dan kolesterol” dari perusahaan itu selama lima
tahun dengan kerugian yang sangat besar. Dari situ dia menyimpulkan
bahwa derivative pasti akan meledak jadi bom keuangan. Bahkan dalam lima
tahun setelah dia ucapkan, bom itu sudah lima kali lipat besarnya.
Subprime ternyata hanya satu bagian kecil saja dari penyebab
kekacauan keuangan sekarang ini. Volume uang yang terkait dengan
derivative ini jauh lebih besar dari perkiraan semula yang hanya sekitar
USD 15 triliun. (Dalam rupiah harus ditulis begini: Rp
1.300.000.000.000.000). Bisa jadi transaksi derivative ini mencapai USD
516 triliun. Angka ini dikeluarkan oleh “ketuanya” bank-bank sentral
seluruh dunia yang disebut Bank of International Settlement (BIS) yang
berpusat di Basel, Swiss.
Begitu besar dan ruwetnya, sampai sampai menurut Buffett, pemerintah
mana pun, termasuk USA, tidak bisa lagi mengontrol perdagangan
derivative itu. “Bahkan hanya untuk memonitor pun sudah tidak mampu,”
katanya.
Derivative ini sebenarnya sudah sulit dibedakan dengan perjudian.
Dalam perdagangan saham murni, meski ada unsur spekulasinya, tapi masih
bisa dianalisa. Tapi dalam perdagangan derivative yang bisa menganalisa
hanya para pelaku sistem itu. Pemilik uang sulit memahaminya.
Saya punya teman baik yang juga penggemar formula one. Sukanya
keliling dunia. Dan memotret. Dia pernah kerja keras selama 20 tahun
untuk mengumpulkan uang sampai Rp 40 miliar. Uang itu dipercayakan
kepada satu bank di Singapura untuk diputar. Masuklah ke mesin
derivative. Dalam hitungan detik, uang itu amblas. Di meja judi pun
tidak akan secepat itu!
“Saya ini kebalikan dari anda,” katanya menghibur diri. “Kalau Anda,
sakit hati dulu lalu mengeluarkan uang. Kalau saya, mengeluarkan uang
dulu, lalu sakit hati,” katanya.
Tidak sedikit orang atau perusahaan yang punya jalan hidup seperti itu.
Memang tidak gampang memahami rumus derivative ini. Saya biasanya
menghindar saja, daripada pusing. Kelihatannya memang ndeso, bodoh dan
tidak modern, tapi saya memang benar-benar sulit memahami rumusnya.
Bahkan, rumus itu ternyata memang tidak pernah ada. Kesalahan pokok
sistem derivative adalah tidak adanya kepastian apakah harga saham,
uang, bunga, marjin, asset dan seterusnya itu bisa diperkirakan untuk
jangka 3 atau 5 atau 10 tahun. Bahkan tidak bisa diketahui apakah
pasarnya itu memang ada. Artinya, kalau satu saham yang dibeli itu kini
harganya Rp 1 juta, lalu diperkirakan 5 tahun lagi menjadi Rp 10 juta,
maka pertanyaannya adalah: apakah benar lima tahun kemudian jadi 10
juta? Kalau toh “ya”, apakah ada pembelinya?
Karena kepastian itu memang tidak ada, maka digunakanlah berbagai
asumsi. Sekian banyak asumsi lantas dijadikan satu menjadi “model”.
Variasi dari gabungan asumsi itu melahirkan berbagai model. Belakangan
jadilah “model’ itu seperti fakta kebenaran. Yang semula hanya “model”
lantas seperti “pasar yang sesungguhnya”.
Akibatnya, sebelum transaksi selalu angka-angkanya dimasukkan begitu
saja ke dalam model di komputer. Komputer yang akan menganalisa. Lalu
keluarlah angka-angka akhir: berapa harga saham atau uang itu 5 tahun ke
depan. Nilai itulah yang kemudian dianggap sebagai kekayaan riil saat
ini. Termasuk bisa menjualnya atau menjaminkannya untuk pinjam uang.
Jaminan itu lantas dijaminkan lagi, dijaminkan lagi, dijaminkan
lagi….jadilah pasar derivative menjadi sebesar USD 516 triliun.
Betapa besarnya angka itu bisa dilihat dari data BIS berikut ini.
Nilai saham dan bond di seluruh dunia hanyalah USD 100 triliun. Total
nilai real estate di seluruh dunia (yang di pasar modal) adalah USD 75
triliun. GDP Amerika adalah USD 15 triliun.
Jadi, jangan diingat-ingat tulisan ini. Pertama, meski sudah
disederhanakan penulisannya, tetap saja ruwet. Kedua, kalau
diingat-ingat, bisa takut sendiri.
No comments:
Post a Comment