Semua dalam Posisi Memegang Benang
Terlalu banyak pertanyaan seperti ini: Di saat Amerika Serikat
dilanda krisis yang hebat seperti ini, mengapa dolarnya justru menguat?
Mengapa harga emas justru merosot? Bukankah dalam suasana krisis
mestinya harga emas naik?
Jawabnya tidak tunggal, tapi yang utama hanya satu: terlalu banyak
orang di banyak negara yang membutuhkan dolar AS. Lembaga-lembaga
keuangan raksasa yang dulu selalu meminjamkan uang dalam dolar AS,
sekarang memerlukan dolar sebanyak yang bisa ditarik. Kalau dulu dolar
mengalir dari AS ke seluruh dunia, kini semua dolar harus mengalir balik
ke AS untuk menutup lubang menganga yang sangat besar akibat krisis
itu.
Masih ada tambahan lagi: di AS banyak perusahaan atau aset yang
dijual dengan harga murah. Akibatnya, orang kaya dari seluruh dunia juga
banyak yang tergiur untuk membeli aset itu. Tentu mereka membutuhkan
dolar AS. Perusahaan (saham) AS yang di luar negeri juga banyak yang
dijual. Pembelinya juga perlu dolar. Perusahaan-perusahaan yang punya
pinjaman dolar diminta membayar sebelum jatuh tempo. Kalau tidak bisa
bayar, perusahaan itu disita untuk dijual. Juga pakai dolar. Apakah bisa
menarik kredit sebelum jatuh tempo? Bisa! Baca akad kreditnya. Pasti
menyebutkan klausul seperti itu.
Satu-satunya negara yang mata uangnya justru menguat terhadap dolar
AS hanyalah Jepang. Ini karena fondasi ekonomi Jepang sangat kukuh. Uang
cash-nya amat banyak dan dalam posisi aman. Bank-banknya punya sumber
dana yang amat murah dan berjangka panjang. Penabung di Jepang hanya
mendapat bunga 0,5% setahun.
Sebagai negara yang maju berkat dibantu AS (setelah kalah perang
dunia dulu), semestinya Jepang kini harus membantu AS. Jepang punya
kemampuan untuk itu. Cadangan devisanya nyaris USD 1 triliun! (USD 950
miliar). Dana pensiunnya, lebih gila lagi: USD 1,5 triliun. Kekayaan
sejumlah orang berduit di sana mencapai USD 15 triliun. Dana deposito di
bank mencapai USD 8 triliun.
Para ahli menyebutkan, dengan kemampuan itu Jepang bisa banyak
berbuat. Toh, Jepang tidak mau melakukannya. Jepang harus memikirkan
keselamatan negaranya dulu. Padahal, Jepang adalah kekuatan ekonomi
kedua terbesar di dunia setelah AS. Padahal, Jepang tidak akan bisa
seperti sekarang kalau dulu tidak dibantu AS. Undang-undang dasar Jepang
saja yang membuatkan McArthur! Toh, dalam keadaan krisis seperti ini
keselamatan diri sendiri dulu yang diutamakan.
Maka, jangan harap kalau Indonesia nanti terkena krisis, ada negara
lain yang mau membantu. Kini, semua negara menyelamatkan diri
masing-masing. Tidak akan ada balas jasa sekalipun. Karena itu, mumpung
krisis yang berat belum mengenai kita, Indonesia harus memupuk terus
kemampuan keuangannya. Rencana menurunkan harga BBM benar-benar harus
dihitung dulu kapan saatnya yang paling tepat.
Sebenarnya krisis yang terjadi di AS menjadi lebih gawat, antara
lain, juga karena hilangnya rasa percaya diri. Rasa konfiden itu mudah
hilang kalau kita tidak punya cukup uang. Kian besar dana yang dimiliki
negara, kian besar konfiden itu. Penyelenggara negara saat ini tidak
boleh kehilangan konfiden hanya karena tekanan politik.
Sebenarnya bukan tidak ada keinginan Jepang untuk membantu AS.
Seorang tokoh politik di sana, Kotaro Tamura, bahkan sampai jengkel
karena inisiatifnya untuk membantu AS tidak mendapat sambutan di dalam
negeri. Tamura, seorang invesment banking yang kini menjadi anggota DPR
dan mengetuai satu faksi dalam partai pemerintah, berpendapat, mestinya
Jepang bisa menggunakan uang cash-nya yang begitu banyak untuk ikut
menyembuhkan ekonomi dunia.
“Ini sebenarnya kesempatan besar bagi Jepang,” kata Tamura seperti
dikutip media seluruh dunia. “Sekarang ini, di AS, semuanya murah.
Seharusnya kita menggunakan dana kita untuk membeli semua itu,” katanya.
Dengan cara itu, kata Tamura, Jepang bisa memberikan sinyal yang baik
bagi pulihnya ekonomi dunia. Apalagi, bantuan itu toh bukan pinjaman
yang berisiko. Bantuan itu berupa kesediaan membeli aset-aset yang lagi
dijual di AS.
Beberapa perusahaan Jepang memang sudah membeli aset tersebut.
Mitsubishi membeli sebagian saham Morgan Stanley sebesar USD 9 miliar,
membeli Union BanCal di San Fransisco sebesar USD 3,5 miliar, dan
membeli Aberdeen Asset Management sebesar USD 190 juta. Tapi, itu
dianggap belum ada artinya.
Kalau Jepang bisa membeli sebanyak mungkin aset murah di AS, kata
Tamura, dalam 10 tahun mendatang Jepang akan menikmati hasilnya: hasil
ekonomi dan hasil politik. Toh seruan Tamura itu tidak ada yang
menggubris. Tamura yang baru 45 tahun dan yang dikenal suka berpakaian
elegan (jarang politisi Jepang yang berani memakai pakaian yang mahal
seperti dia) menjadi sangat ketus.
Bahkan, proposalnya agar Jepang membuat perusahaan negara seperti
Temasek di Singapura juga ditolak. Padahal, selama ini dana-dana di
Jepang itu hanya menghasilkan bunga yang sangat rendah: 0,5% setahun!
Kalau dana itu diakumulasikan ke dalam satu usaha seperti Temasek,
hasilnya bisa sampai 18% setahun.
Jepang memang bangsa yang paling hati-hati terhadap sesuatu yang
berisiko. Tingkatnya bukan lagi sekadar hati-hati, melainkan sudah
“benci pada risiko”. “Bahkan, risiko baik sekali pun,” ujar Tamura. Mana
ada orang yang memilih dapat bunga 0,5% daripada 18%. “Orang Jepang itu
tidak tahu apa artinya laba,” kata Tamura.
Tapi, itulah memang Jepang. Mereka menilai bunga 0,5% tapi aman lebih
baik daripada “bunga 18%” tapi ada risikonya. Kita memang kagum dengan
langkah seperti Temasek, tapi kini kita juga perlu bertanya berapa
kerugian Temasek akibat krisis ini.
Demikian juga investasi Tiongkok di Blackstone yang mencapai USD 250
miliar dua tahun lalu, kira-kira juga sudah hilang setidaknya separonya.
Ini berarti ada uang Rp 1.200 triliun yang tiba-tiba lenyap. Uang yang
hilang sekejap itu sudah sama dengan seluruh APBN Indonesia!
Bagaimana dengan sikap Tiongkok? Kita belum pernah mendengar
inisiatif Tiongkok untuk menggunakan cadangan devisa terbesarnya di
dunia itu untuk ikut menyelamatkan Amerika. Tiongkok pasti ingin
menyelamatkan dirinya sendiri dulu. Rakyatnya begitu banyak. Pabriknya
yang harus tutup jumlahnya bukan hanya ribuan. Tiongkok pasti akan
menggunakan cadangan devisa, pertama-tama untuk dirinya sendiri.
Apalagi Tiongkok pasti tahu bahwa meski terkena krisis, Amerika
masihlah negara kaya. Saya sering menyebutkan dengan krisis ini status
Amerika hanya turun dari “negara yang kaya raya” menjadi “negara yang
kaya sekali”. Kapitalisasi pasar modalnya masih lebih besar dibanding
Jepang, Korea, Jerman, Tiongkok, Prancis, Inggris, dan Australia
dijadikan satu! Kekuatan ekonomi Tiongkok yang sudah kita puji-puji itu
baru sebesar ekonomi satu negara bagian California.
Ibarat layang-layang, perusahaan-perusahaan di Indonesia kini masih
dalam status terbang. Baru satu-dua yang oleng kehilangan angin. Tapi,
semua pemilik perusahaan kini harus terus dalam posisi memegang benang
sambil mata tetap terus mengawasi layang-layang masing-masing. Begitu
kehilangan angin harus tahu apa yang harus dilakukan: tarik benangnya.
Lengah sedikit, layang-layang itu bisa langsung nyungsep ke tanah. Mata
tidak boleh berkedip. Jangan sampai, misalnya, ditinggal ke toilet
sekalipun. Banyak yang mungkin menganggap ini berlebihan. Tapi, siapa
yang beranggapan demikian, layang-layangnyalah yang akan nyungsep lebih
dulu. (*)
No comments:
Post a Comment