Dicari, Payung yang Berhemat Rp 10 Triliun
Dampak Pembangkit Listrik yang Salah Makan (1)
Direktur Utama PLN harus melakukan ini. Terutama kalau semua orang
menghendaki kelistrikan Indonesia bisa baik. Tapi, semua direktur utama
PLN, baik yang lalu, yang sekarang, maupun yang akan datang tidak akan
bisa melakukan ini.
Bayangkan. PLN memiliki banyak sekali pembangkit listrik raksasa yang
mestinya dijalankan dengan gas, kini harus diberi makan solar. PLTG
“salah makan” ini meliputi sekitar 5.000 MW! Yang 740 MW dua buah ada di
dekat Jakarta. Yang 1.000 MW ada di Gresik. Yang 750 MW ada di
Pasuruan. Dan di beberapa tempat lagi di Jawa ini.
PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) itu tentu didesain untuk diberi
“makan” gas. Namun, PLN tidak bisa mendapatkan gas. Bukankah negeri ini
punya banyak gas” Juga dikenal sebagai pengekspor gas” Ya. Itu benar.
Tapi, untuk PLN terlalu banyak persoalannya. Kalau saya uraikan di sini
bisa menghabiskan seluruh halaman surat kabar ini.
Yang jelas, akibat tidak bisa mendapatkan gas, PLTG-PLTG tersebut
diberi makan solar. Memang desain mesinnya memungkinkan untuk itu, meski
kapasitasnya berkurang sampai 15 persen. Maka PLTG itu sudah
sepantasnya kini disebut PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Solar).
PLTG “salah makan” inilah salah satu penyebab utama kesulitan PLN dan
sekaligus kesulitan menteri keuangan. PLTG “salah makan” inilah yang
menjadi salah satu penyebab direksi PLN beserta seluruh staf dan
karyawannya telah menjadi bangsa pengemis. Tiap bulan PLN harus mengemis
ke menteri keuangan untuk bisa mendapatkan subsidi. Pada 2008 saja,
subsidi itu mencapai Rp 60 triliun setahun. Baca: Rp 60.000.000.000.000.
Mengapa?
Kalau saja PLN bisa mendapatkan gas, biaya produksi listriknya bisa
lebih murah. Tinggal hampir separonya. Harga gas kini sekitar USD 7
dolar/ton ekuivalen. Padahal, harga solar USD 16 dolar/ton ekuivalen.
Solar itulah “makanan” PLTG yang harganya lebih mahal, tapi rasanya
lebih pahit. Kapasitas PLTG-nya turun 15 persen. Dengan menggunakan
solar itu, asapnya begitu hitam. Kalau saja Anda melewati tol dari
Bandara Cengkareng ke arah Tanjung Priok (Jakarta), menengoklah ke
utara. Anda akan melihat di arah pantai dekat Ancol sana banyak cerobong
yang mengeluarkan asap hitam. Itulah bukti nyata kasus PLTG “salah
makan?. Cerobong yang mengeluarkan asap hitam itu pertanda PLTG tersebut
lagi diberi makanan yang salah dan karena itu kentutnya yang mestinya
tidak kelihatan menjadi jelas berwarna hitam.
Kalau saja 5.000 MW PLTG “salah makan” tersebut diberi makanan yang
benar, PLN akan menghemat sedikitnya Rp 10 triliun. Itu per tahun! Pasti
menteri keuangan yang cantik itu akan kelihatan semakin cantik karena
mulai bisa tersenyum. Sang menteri barangkali selama ini kesal juga
karena setiap bulan harus melayani pengemis subsidi dengan nilai yang
begitu menggemaskan.
Ada lagi yang lebih menggemaskan. Sebagai orang swasta yang kalau
melakukan investasi menggunakan 10 kalkulator (agar bisa berhemat), saya
sangat gemas akan keputusan investasi seperti itu di masa lalu. Untuk
investasi 5.000 MW PLTG “salah makan” tersebut, menurut perkiraan saya,
telah menghabiskan uang sekitar Rp 100 triliun. Mayoritas dilakukan
waktu Orde Baru.
Anehnya, masih juga diizinkan pembangunan PLTG baru 740 MW di dekat
Jakarta. PLTG ini memang milik swasta. Tidak memberatkan keuangan PLN.
Tapi, ketika mulai membangun dulu, si swasta minta jaminan pemerintah
bahwa pemerintah pasti bisa memberikan gas kepadanya.
PLTG baru itu akhirnya selesai dibangun. Masih gres. Baru sekitar dua
bulan lalu selesai dan mulai beroperasi. PLTG ini memerlukan gas
kira-kira 230 MMBTU (Million Metric British Thermal Unit). Seperti sudah
bisa diduga, pemerintah tidak bisa menyediakan gas dari sumber yang
baru untuk memenuhi janjinya itu.
Akibatnya, sangat parah. Baik secara fisik maupun secara akal sehat.
Pemerintah dengan mudah memutuskan mengalihkan gas yang selama ini untuk
jatah PLTG milik PLN ke PLTG baru milik swasta itu. Agar janjinya
kepada swasta asing terpenuhi. Saya tidak sampai hati menuliskan akibat
fisik yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan ini.
Lalu, bagaimana bisa mengatasi persoalan PLTG “salah makan” ini”
Mengapa membangun PLTG kalau sudah tahu tidak akan bisa mendapatkan gas”
Mengapa membangun PLTG kalau setelah dijalankan mengakibatkan
PLN/negara harus menderita kerugian Rp 10 triliun/tahun?
Dirut PLN harus mengubah itu semua. Tapi, Dirut PLN, yang sekarang
maupun yang akan datang, tidak akan mampu mengubahnya. Kecuali diberi
payung hukum untuk boleh mengatasinya. Inilah payung yang sekali
diberikan bisa menghasilkan penghematan Rp 10 triliun per tahun.
Payung, begitu sederhana barangnya. Puluhan triliun rupiah manfaatnya. (bersambung)
Payung, begitu sederhana barangnya. Puluhan triliun rupiah manfaatnya. (bersambung)
No comments:
Post a Comment