Saturday, November 14, 2009

Perbaikan Gardu Listrik nan Lama

Sabtu, 14 November 2009
Perbaikan Gardu Listrik nan Lama

Jakarta lagi heboh listrik byar-pet gara-gara gardu Cawang terbakar. Mengapa PLN perlu punya gardu yang kalau terbakar bisa membuat listrik satu kawasan mati? Mengapa juga bisa terbakar? Mengapa memperbaikinya begitu lama?

Pembangkit listrik yang besar-besar itu umumnya memang jauh dari kota. Karena itu, untuk mengalirkan listrik dari pembangkit ke kota-kota yang jauh tersebut diperlukan “jalan tol” yang disebut kabel bertegangan supertinggi. Tidak cukup dengan “jalan kampung” berupa kabel bertegangan 20 kV (seperti kabel yang digunakan di atas atap rumah Anda).

Kalau kabel 20 kV itu yang digunakan, listriknya akan habis menguap di tengah jalan. Pengiriman listrik 1.000 watt barangkali setiba di rumah Anda tinggal 600 watt saja. Karena itu, diperlukan kabel bertegangan tinggi. Lebih baik lagi yang supertinggi. Agar sejumlah listrik yang dibangkitkan bisa sampai ke kota-kota tujuan dalam jumlah yang relatif masih utuh.

Di Indonesia, baru jaringan Jawa-Bali yang menggunakan kabel bertegangan supertinggi itu. Yaitu kabel dengan tegangan 500 kV. Amerika Serikat menggunakan kabel bertegangan 600 kV. Di Tiongkok sama dengan kita, 500 kV. Hanya, di semua GITET (Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi)-nya memiliki trafo cadangan yang sudah terpasang. Kebetulan sejak tahun 2002 saya rajin ke Tiongkok untuk mempelajari kelistrikan di sana. Berpuluh-puluh pembangkit di berbagai wilayah di Tiongkok saya kunjungi. Bahkan, tiga kali ke pembangkit tenaga air terbesar di dunia di Bendungan Sungai Yang Tze itu. Saya juga pernah ke Gurun Ghobi di dekat Ningxia untuk melihat “hutan” pembangkit listrik tenaga angin.

Di Indonesia, satu-satunya wilayah yang menggunakan tegangan 600 kV adalah justru di Timika. Tapi, ini memang “milik Amerika” juga karena khusus dipakai oleh Freeport. Yakni untuk mengalirkan listrik dari pembangkitnya yang di pinggir laut dekat kota Timika itu ke tambang emas di puncak gunung sejauh 60 km. Sedangkan di wilayah luar Jawa, umumnya hanya menggunakan tegangan 150 kV, bahkan ada yang masih menggunakan tegangan 70 kV.

Karena kabel listrik di rumah Anda hanya bertegangan 20 kV, maka listrik yang “diangkut” dengan kabel 500 kV tersebut perlu disesuaikan. Listrik itu begitu mendekati kota harus diubah dulu menjadi tegangan lebih rendah. Harus secara bertahap. Tidak bisa dari 500 kV langsung ke 20 kV. Dari 500 kV ke 150 kV dulu. Untuk memproses perubahan tegangan inilah, diperlukan gardu. Namanya Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi alias GITET. Lalu, diubah lagi dari 150 kV menjadi 20 kV di gardu lebih kecil yang disebut gardu induk (GI).

Gardu di Cawang Jakarta yang terbakar dan membuat Jakarta heboh sekarang ini adalah GITET sekaligus GI. Lantaran konsumen yang dilayani oleh GITET Cawang itu sangat besar, maka perangkat di dalam GITET Cawang itu juga harus besar. Di dalam GITET Cawang tidak cukup hanya berisi satu trafo. Harus dua trafo. Kalau satu, tidak cukup. Dua saja sudah hampir tidak cukup sehingga, sebenarnya, sudah waktunya ditambah satu lagi. Nah, dari dua trafo yang sudah hampir tidak cukup itulah, salah satunya terbakar. Sebagian wilayah Jakarta harus padam. Heboh.

Tapi, mengapa memperbaikinya perlu waktu lebih dari satu bulan – membuat kehebohan di Jakarta tidak segera reda? Mengapa orang Jakarta tidak sesabar orang-orang di luar Jawa yang listriknya sudah bertahun-tahun mati terus? Mengapa di luar Jawa tidak heboh? (Yang luar Jawa ini sebenarnya heboh juga. Tapi, karena letaknya jauh dari Jakarta, maka hebohnya tidak sampai ke telinga pusat kekuasaan. Seperti menguap ditelan gelombang laut Jawa).

Kalau saja di Cawang itu ada trafo cadangan, sebenarnya langsung sudah bisa diatasi. Masalahnya, Cawang tidak punya trafo cadangan. Jangankan cadangan, yang ada itu saja sudah “Senin-Kemis”. Posisinya sudah rawan karena tingkat pemakaiannya sudah di atas 90 persen semua. Bukan hanya Cawang, seluruh GITET di Indonesia tidak lagi memiliki cadangan! Semua cadangan sudah dipakai. Padahal, di sekitar Jakarta saja terdapat sekitar 12 GITET yang keadaannya semuanya kurang lebih sama gawatnya.

Untung, sebelum ini, Surabaya masih punya satu trafo cadangan. Letaknya di GITET Krian, sekitar 25 km dari Surabaya. Cadangan inilah yang harus dibongkar untuk dikirimkan ke Cawang.

Kelihatannya simpel: bongkar, kirim, lalu pasang. Pelaksanaannya tidak semudah itu.

Satu trafo itu beratnya 160 ton! Membongkarnya saja memerlukan waktu enam hari. Trafo cadangan tersebut memang dalam keadaan sudah terpasang di GITET. Bukan di gudang. Untuk mengirimkannya ke Cawang, diperlukan waktu sangat lama. Karena beratnya 160 ton, tidak banyak jembatan yang kuat dilalui. Padahal, ada berapa ratus jembatan seperti itu antara Krian sampai Bekasi?

Karena itu, pengirimannya pun harus melalui laut. Dari Krian harus diangkut ke Pelabuhan Tanjung Perak dulu. Jarak yang hanya 25 km itu harus ditempuh dalam waktu 12 jam! Panjang kendaraan yang digunakan untuk mengangkutnya pun hampir 200 meter. Bayangkan kalau barang sebesar itu harus jalan darat dari Surabaya ke Jakarta. Bisa tiga bulan baru sampai. Berapa juta pengguna jalan yang menyumpah-nyumpah karena kemacetan yang dibuatnya.

Jalan laut satu-satunya pilihan. Apalagi, ketika diangkut, barang tersebut tidak boleh terlalu miring ke kanan atau ke muka. Tidak mungkin boleh melewati tanjakan gunung di dekat Batang (Jateng) itu.

Ada problem berat lainnya yang sulit diatasi. Posisi oli yang ada di dalam trafo tersebut tidak boleh goyang. Jangan kaget! Di dalam satu trafo itu terdapat 200 drum oli! Ketika trafo diangkut, oli tersebut memang bisa dikurangi agar berat trafonya berkurang. Tapi, tidak boleh dikurangi banyak-banyak. Tidak boleh sampai batas peralatan yang seumur hidupnya harus tenggelam di dalam oli itu. Oli hanya boleh dikurangi sedikit. Dan yang disebut sedikit itu adalah 40 ton! Ruang kosong akibat pengurangan oli itu pun harus diisi nitrogen.

Tanpa oli itu, peralatan di dalamnya akan terbakar. Oli inilah yang dalam keadaan trafo dipakai harus selalu dikontrol. Kalau warna olinya sudah pink, berarti sudah waktunya ada perawatan. Harus ada upaya tertentu untuk menjaga oli agar tetap berwarna kebiru-biruan. Perawatan memang titik sentral yang penting untuk menjaga gardu tetap sehat. Kalau warna yang sudah pink itu dibiarkan, fungsi oli yang semula menjadi isolator dan pendingin akan berubah 360 derajat, justru menjadi penyulut kebakaran.

Sebagai orang luar, saya tidak tahu apakah soal perawatan itu yang menyebabkan gardu Cawang terbakar. Atau karena seringnya ada gangguan sehingga gulungan-gulungan benda yang ada di dalamnya melonggar pelan-pelan, lalu terjadilah hubungan perselingkuhan pendek. Atau penyebab yang lain lagi. Misalnya, gempa bumi. Kalaupun yang terakhir itu penyebabnya, masih ada pertanyaan susulan: mengapa GITET lainnya tidak terganggu?

Biarlah PLN yang menjawab itu.

Yang jelas, dalam posisi trafo di semua GITET sudah mendekati batas maksimum, sebaiknya PLN memang punya trafo cadangan. Tidak perlu yang paling ideal dulu, di mana setiap GITET punya satu cadangan yang sudah terpasang. Itu akan sangat mahal. Satu trafo harganya bisa USD 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar. PLN yang dalam keadaan rugi dan menerima subsidi sekitar Rp 60 triliun per tahun belum waktunya seideal itu.

Cukup dulu kalau trafo cadangan tersebut dua saja. Tidak perlu dalam keadaan terpasang agar bisa dimobilisasi dengan cepat. Satu taruh di Jakarta dan satu di Surabaya. Kalau ada trafo yang terbakar lagi, cadangan itulah yang dimobilisasi.

Trafo cadangan ini satu keniscayaan. Kalaupun benar-benar belum punya uang, belilah dari Tiongkok. Lebih murah. Tinggalkan cara berpikir orang kaya yang manja. Jangan maunya terus-menerus beli “Mercy”, sementara kemampuannya hanya beli Kijang. Cara berpikir itulah yang sudah terlalu lama memanjakan PLN. Ini gara-gara di masa lalu (Orba) PLN selalu dapat fasilitas enak pinjaman luar negeri. Yakni pinjaman yang wujudnya harus berupa barang yang kelasnya kelas Mercy. Kian mahal barangnya kian menyenangkan rupanya “baik bagi yang meminjami maupun yang dipinjami”.

Mental itu harus berubah. Mengapa beli Mercy 10 kalau uangnya cukup untuk beli Kijang 100? Bukankah fungsinya sama? Memang analogi ini tidak sepenuhnya benar. Tidak ada trafo kelas Kijang di dunia ini. Tapi, ada kelas Camry atau Renault. Apalagi hanya untuk cadangan. Kalaupun uang juga belum cukup untuk beli Camry, kalau perlu belilah “Camry” bekas. Jangan rakyat jadi korban “mental orang kaya”.

Yang penting, trafo cadangan itu cukup untuk digunakan enam bulan. Sekadar untuk menunggu yang asli diperbaiki. Kalau masih bisa diperbaiki. Memperbaiki sebuah trafo sebesar itu perlu waktu empat bulan. Dalam kasus tertentu, biaya memperbaikinya bisa 40 persen dari biaya beli baru. Tapi, ini satu keniscayaan.

Masih banyak hal yang lebih mendasar, yang lebih hebat, yang harus berubah di PLN. Apa saja? Tidak hari ini. Tulisan ini sudah terlalu panjang. (*)

No comments:

Post a Comment