Perbaikan Gardu Listrik nan Lama
Jakarta lagi heboh listrik byar-pet gara-gara gardu Cawang terbakar.
Mengapa PLN perlu punya gardu yang kalau terbakar bisa membuat listrik
satu kawasan mati? Mengapa juga bisa terbakar? Mengapa memperbaikinya
begitu lama?
Pembangkit listrik yang besar-besar itu umumnya memang jauh dari
kota. Karena itu, untuk mengalirkan listrik dari pembangkit ke kota-kota
yang jauh tersebut diperlukan “jalan tol” yang disebut kabel
bertegangan supertinggi. Tidak cukup dengan “jalan kampung” berupa kabel
bertegangan 20 kV (seperti kabel yang digunakan di atas atap rumah
Anda).
Kalau kabel 20 kV itu yang digunakan, listriknya akan habis menguap
di tengah jalan. Pengiriman listrik 1.000 watt barangkali setiba di
rumah Anda tinggal 600 watt saja. Karena itu, diperlukan kabel
bertegangan tinggi. Lebih baik lagi yang supertinggi. Agar sejumlah
listrik yang dibangkitkan bisa sampai ke kota-kota tujuan dalam jumlah
yang relatif masih utuh.
Di Indonesia, baru jaringan Jawa-Bali yang menggunakan kabel
bertegangan supertinggi itu. Yaitu kabel dengan tegangan 500 kV. Amerika
Serikat menggunakan kabel bertegangan 600 kV. Di Tiongkok sama dengan
kita, 500 kV. Hanya, di semua GITET (Gardu Induk Tegangan Ekstra
Tinggi)-nya memiliki trafo cadangan yang sudah terpasang. Kebetulan
sejak tahun 2002 saya rajin ke Tiongkok untuk mempelajari kelistrikan di
sana. Berpuluh-puluh pembangkit di berbagai wilayah di Tiongkok saya
kunjungi. Bahkan, tiga kali ke pembangkit tenaga air terbesar di dunia
di Bendungan Sungai Yang Tze itu. Saya juga pernah ke Gurun Ghobi di
dekat Ningxia untuk melihat “hutan” pembangkit listrik tenaga angin.
Di Indonesia, satu-satunya wilayah yang menggunakan tegangan 600 kV
adalah justru di Timika. Tapi, ini memang “milik Amerika” juga karena
khusus dipakai oleh Freeport. Yakni untuk mengalirkan listrik dari
pembangkitnya yang di pinggir laut dekat kota Timika itu ke tambang emas
di puncak gunung sejauh 60 km. Sedangkan di wilayah luar Jawa, umumnya
hanya menggunakan tegangan 150 kV, bahkan ada yang masih menggunakan
tegangan 70 kV.
Karena kabel listrik di rumah Anda hanya bertegangan 20 kV, maka
listrik yang “diangkut” dengan kabel 500 kV tersebut perlu disesuaikan.
Listrik itu begitu mendekati kota harus diubah dulu menjadi tegangan
lebih rendah. Harus secara bertahap. Tidak bisa dari 500 kV langsung ke
20 kV. Dari 500 kV ke 150 kV dulu. Untuk memproses perubahan tegangan
inilah, diperlukan gardu. Namanya Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi
alias GITET. Lalu, diubah lagi dari 150 kV menjadi 20 kV di gardu lebih
kecil yang disebut gardu induk (GI).
Gardu di Cawang Jakarta yang terbakar dan membuat Jakarta heboh
sekarang ini adalah GITET sekaligus GI. Lantaran konsumen yang dilayani
oleh GITET Cawang itu sangat besar, maka perangkat di dalam GITET Cawang
itu juga harus besar. Di dalam GITET Cawang tidak cukup hanya berisi
satu trafo. Harus dua trafo. Kalau satu, tidak cukup. Dua saja sudah
hampir tidak cukup sehingga, sebenarnya, sudah waktunya ditambah satu
lagi. Nah, dari dua trafo yang sudah hampir tidak cukup itulah, salah
satunya terbakar. Sebagian wilayah Jakarta harus padam. Heboh.
Tapi, mengapa memperbaikinya perlu waktu lebih dari satu bulan –
membuat kehebohan di Jakarta tidak segera reda? Mengapa orang Jakarta
tidak sesabar orang-orang di luar Jawa yang listriknya sudah
bertahun-tahun mati terus? Mengapa di luar Jawa tidak heboh? (Yang luar
Jawa ini sebenarnya heboh juga. Tapi, karena letaknya jauh dari Jakarta,
maka hebohnya tidak sampai ke telinga pusat kekuasaan. Seperti menguap
ditelan gelombang laut Jawa).
Kalau saja di Cawang itu ada trafo cadangan, sebenarnya langsung
sudah bisa diatasi. Masalahnya, Cawang tidak punya trafo cadangan.
Jangankan cadangan, yang ada itu saja sudah “Senin-Kemis”. Posisinya
sudah rawan karena tingkat pemakaiannya sudah di atas 90 persen semua.
Bukan hanya Cawang, seluruh GITET di Indonesia tidak lagi memiliki
cadangan! Semua cadangan sudah dipakai. Padahal, di sekitar Jakarta saja
terdapat sekitar 12 GITET yang keadaannya semuanya kurang lebih sama
gawatnya.
Untung, sebelum ini, Surabaya masih punya satu trafo cadangan.
Letaknya di GITET Krian, sekitar 25 km dari Surabaya. Cadangan inilah
yang harus dibongkar untuk dikirimkan ke Cawang.
Kelihatannya simpel: bongkar, kirim, lalu pasang. Pelaksanaannya tidak semudah itu.
Satu trafo itu beratnya 160 ton! Membongkarnya saja memerlukan waktu
enam hari. Trafo cadangan tersebut memang dalam keadaan sudah terpasang
di GITET. Bukan di gudang. Untuk mengirimkannya ke Cawang, diperlukan
waktu sangat lama. Karena beratnya 160 ton, tidak banyak jembatan yang
kuat dilalui. Padahal, ada berapa ratus jembatan seperti itu antara
Krian sampai Bekasi?
Karena itu, pengirimannya pun harus melalui laut. Dari Krian harus
diangkut ke Pelabuhan Tanjung Perak dulu. Jarak yang hanya 25 km itu
harus ditempuh dalam waktu 12 jam! Panjang kendaraan yang digunakan
untuk mengangkutnya pun hampir 200 meter. Bayangkan kalau barang sebesar
itu harus jalan darat dari Surabaya ke Jakarta. Bisa tiga bulan baru
sampai. Berapa juta pengguna jalan yang menyumpah-nyumpah karena
kemacetan yang dibuatnya.
Jalan laut satu-satunya pilihan. Apalagi, ketika diangkut, barang
tersebut tidak boleh terlalu miring ke kanan atau ke muka. Tidak mungkin
boleh melewati tanjakan gunung di dekat Batang (Jateng) itu.
Ada problem berat lainnya yang sulit diatasi. Posisi oli yang ada di dalam trafo tersebut tidak boleh goyang. Jangan kaget! Di dalam satu trafo itu terdapat 200 drum oli! Ketika trafo diangkut, oli tersebut memang bisa dikurangi agar berat trafonya berkurang. Tapi, tidak boleh dikurangi banyak-banyak. Tidak boleh sampai batas peralatan yang seumur hidupnya harus tenggelam di dalam oli itu. Oli hanya boleh dikurangi sedikit. Dan yang disebut sedikit itu adalah 40 ton! Ruang kosong akibat pengurangan oli itu pun harus diisi nitrogen.
Ada problem berat lainnya yang sulit diatasi. Posisi oli yang ada di dalam trafo tersebut tidak boleh goyang. Jangan kaget! Di dalam satu trafo itu terdapat 200 drum oli! Ketika trafo diangkut, oli tersebut memang bisa dikurangi agar berat trafonya berkurang. Tapi, tidak boleh dikurangi banyak-banyak. Tidak boleh sampai batas peralatan yang seumur hidupnya harus tenggelam di dalam oli itu. Oli hanya boleh dikurangi sedikit. Dan yang disebut sedikit itu adalah 40 ton! Ruang kosong akibat pengurangan oli itu pun harus diisi nitrogen.
Tanpa oli itu, peralatan di dalamnya akan terbakar. Oli inilah yang
dalam keadaan trafo dipakai harus selalu dikontrol. Kalau warna olinya
sudah pink, berarti sudah waktunya ada perawatan. Harus ada upaya
tertentu untuk menjaga oli agar tetap berwarna kebiru-biruan. Perawatan
memang titik sentral yang penting untuk menjaga gardu tetap sehat. Kalau
warna yang sudah pink itu dibiarkan, fungsi oli yang semula menjadi
isolator dan pendingin akan berubah 360 derajat, justru menjadi penyulut
kebakaran.
Sebagai orang luar, saya tidak tahu apakah soal perawatan itu yang
menyebabkan gardu Cawang terbakar. Atau karena seringnya ada gangguan
sehingga gulungan-gulungan benda yang ada di dalamnya melonggar
pelan-pelan, lalu terjadilah hubungan perselingkuhan pendek. Atau
penyebab yang lain lagi. Misalnya, gempa bumi. Kalaupun yang terakhir
itu penyebabnya, masih ada pertanyaan susulan: mengapa GITET lainnya
tidak terganggu?
Biarlah PLN yang menjawab itu.
Yang jelas, dalam posisi trafo di semua GITET sudah mendekati batas
maksimum, sebaiknya PLN memang punya trafo cadangan. Tidak perlu yang
paling ideal dulu, di mana setiap GITET punya satu cadangan yang sudah
terpasang. Itu akan sangat mahal. Satu trafo harganya bisa USD 20 juta
atau sekitar Rp 200 miliar. PLN yang dalam keadaan rugi dan menerima
subsidi sekitar Rp 60 triliun per tahun belum waktunya seideal itu.
Cukup dulu kalau trafo cadangan tersebut dua saja. Tidak perlu dalam
keadaan terpasang agar bisa dimobilisasi dengan cepat. Satu taruh di
Jakarta dan satu di Surabaya. Kalau ada trafo yang terbakar lagi,
cadangan itulah yang dimobilisasi.
Trafo cadangan ini satu keniscayaan. Kalaupun benar-benar belum punya
uang, belilah dari Tiongkok. Lebih murah. Tinggalkan cara berpikir
orang kaya yang manja. Jangan maunya terus-menerus beli “Mercy”,
sementara kemampuannya hanya beli Kijang. Cara berpikir itulah yang
sudah terlalu lama memanjakan PLN. Ini gara-gara di masa lalu (Orba) PLN
selalu dapat fasilitas enak pinjaman luar negeri. Yakni pinjaman yang
wujudnya harus berupa barang yang kelasnya kelas Mercy. Kian mahal
barangnya kian menyenangkan rupanya “baik bagi yang meminjami maupun
yang dipinjami”.
Mental itu harus berubah. Mengapa beli Mercy 10 kalau uangnya cukup
untuk beli Kijang 100? Bukankah fungsinya sama? Memang analogi ini tidak
sepenuhnya benar. Tidak ada trafo kelas Kijang di dunia ini. Tapi, ada
kelas Camry atau Renault. Apalagi hanya untuk cadangan. Kalaupun uang
juga belum cukup untuk beli Camry, kalau perlu belilah “Camry” bekas.
Jangan rakyat jadi korban “mental orang kaya”.
Yang penting, trafo cadangan itu cukup untuk digunakan enam bulan.
Sekadar untuk menunggu yang asli diperbaiki. Kalau masih bisa
diperbaiki. Memperbaiki sebuah trafo sebesar itu perlu waktu empat
bulan. Dalam kasus tertentu, biaya memperbaikinya bisa 40 persen dari
biaya beli baru. Tapi, ini satu keniscayaan.
Masih banyak hal yang lebih mendasar, yang lebih hebat, yang harus
berubah di PLN. Apa saja? Tidak hari ini. Tulisan ini sudah terlalu
panjang. (*)
No comments:
Post a Comment