Dua Pilihan Akal Sehat Plus Satu Gila
Dampak Pembangkit Listrik yang Salah Makan (2-Habis)
Pertanyaan: Indonesia begitu kaya gas. Mengapa PLN sampai tidak bisa
mendapatkan gas” Sehingga sebagian pembangkitnya, sekitar 5000 MW, harus
diberi “minum” solar yang dalam setahun menghabiskan uang PLN Rp 80
triliun?
Urusan ini rumitnya bukan main. Memang yang berhak mengatur
perdagangan gas adalah pemerintah. Mestinya pemerintah bisa mengaturnya
lebih baik. Tapi, saya masih belum tahu siapa yang disebut pemerintah
itu. Yang jelas, pemilik-pemilik ladang gas adalah perusahaan swasta.
Asing maupun domestik.
Para pemilik ladang gas tentu ingin menjual gasnya dengan harga
terbaik. Sebab, investasi untuk menemukan ladang gas tidak sedikit.
Maka, PLN harus bersaing dengan pembeli-pembeli lain: pedagang luar
negeri maupun pedagang dalam negeri seperti Perusahaan Gas Negara (PGN).
Keinginan lain para pemilik ladang gas adalah ini: pembeli harus
mengambil semua gas yang dihasilkan suatu sumur, berapa pun jumlahnya.
Di sini PLN ditakdirkan kurang bisa fleksibel. Sebuah pembangkit listrik
tentu sudah didesain memerlukan gas sekian MMBTU (Million Metric
British Thermal Unit). Sedangkan produksi sebuah sumur gas kadang kurang
dari kebutuhan itu dan kadang sedikit kelebihan.
Dalam hal produksi sebuah sumur gas kelebihan, katakanlah 15 persen,
dari kebutuhan sebuah pembangkit listrik, dilema muncul: dibeli semua
PLN rugi, tidak dibeli semua pemilik sumur gas rugi. Maka, mestinya,
tidak ada jalan lain kecuali ada kerja sama yang sangat khusus antara
PLN dan PGN. Kalau PLN mendapatkan sumur gas yang produksinya kelebihan,
kelebihan itu bisa disalurkan ke PGN. Sebaliknya, kalau produksi sebuah
sumur gas kurang dari jumlah yang diinginkan PLN, PGN yang harus
menambah.
Sampai sekarang kerja sama seperti itu rasanya belum ada. Egoisme
setiap perusahaan masih sangat menonjol. Padahal, dua-duanya milik
pemerintah. Memang itu saja belum cukup. PGN adalah juga sebuah
perusahaan yang harus berlaba. Apalagi, sekarang sudah menjadi
perusahaan publik. PGN sendiri kekurangan gas untuk melayani
pelanggannya. Baik pelanggan rumahan dan terutama pelanggan industri.
Maka, terjadilah persaingan ketat antara PLN dan PGN sebagai sama-sama
pembeli gas dari ladang migas. Persaingan ini yang sampai sekarang belum
mendapatkan jalan keluar.
Tentu ada yang berdoa agar kedua perusahaan itu jangan cepat-cepat
rukun. Para pedagang solar (di dalam maupun di luar negeri) yang setiap
tahun mengeruk uang PLN sampai Rp 80 triliun akan kehilangan bisnis yang
mengilap dari pedagangan solar. Bahwa itu membuat PLN dan pemerintah
sulit, yang kurang pintar kan PLN dan pemerintah sendiri.
Tentu ide yang paling realistis adalah membangun LNG-gasifikasi
terminal. PLN atau investor yang bekerja sama dengan PLN diminta
membangun terminal LNG-gasifikasi. PLN atau investor bisa membeli LNG
(Liquefied Natural Gas atau gas alam cair) dari mana saja dalam jumlah
yang pas untuk kepentingan PLN. Bisa dari Tangguh di Papua, bisa dari
Senoro di Luwuk (Sulteng) bisa juga dari Qatar atau Iran. Atau dari
tempat lainnya.
LNG itulah yang kemudian diubah menjadi gas di sebuah terminal
LNG-gasifikasi. Terminal ini bisa dibangun di sekitar Cilegon. Bahkan,
sudah pula ada teknolgi baru: terminalnya dibuat terapung di lepas
pantai Jakarta. Agar dekat dengan “PLTG salah makan” yang sekarang
membuat masalah itu.
Saya tidak melihat jalan lain. Hanya dua itulah jalan keluarnya:
kerja sama yang baik dengan PGN atau membangun terminal G-gasifikasi.
Yang pertama harus difasilitasi pemerintah dan yang kedua harus
difasilitasi pemerintah. Memang masih ada jalan lain. Tapi, terlalu
radikal. Lelang saja PLTG-PLTG itu! Daripada bikin penyakit yang
mengisap darah keuangan pemerintah. Hasil lelang barang bekas itu untuk
dibelikan PLTU bekas yang direkondisi seperti baru.
Jalan “gila” itu bisa menyelamatkan uang negara setidak-tidaknya Rp
10 triliun/setahun. Baca: 10.000.000.000.000/setahun. Kalau saja di
swasta dan saya yang menjadi pemiliknya, saya akan lakukan yang terakhir
ini. Masih ada penghematan lain yang juga triliunan rupiah. Tapi, dua
seri tulisan ini saja sudah bisa menggambarkan mengapa PLN mengalami
kesulitan selama ini. Dan mengapa sulit pula dipecahkan. (*)
No comments:
Post a Comment