Kursi Mencong-mencong Memudahkan ke Toilet
Menikmati Sistem Baru Penerbangan Cathay Pacific (2-Habis)
Ada lagi yang baru dalam penerbangan Cathay Pasific (CX) selain
aturan menggunakan HP sejak roda pesawat menjejak bumi. Setidaknya, baru
buat saya. Setidaknya lagi, baru sekali itu saya mengalaminya, meski
saya sudah agak lama mendengarnya: susunan kursi di dalam pesawat tidak
menghadap ke depan. Semua kursi dibuat menghadap serong 45 derajat
dengan tujuan khusus: agar semua penumpang memiliki akses yang sama
terhadap koridor. Selama ini, jadi ketidakadilan. Penumpang yang berada
di dekat jendela atau yang berada di tengah selalu harus melewati
penumpang lain kalau ingin ke toilet.
Untuk penerbangan jangka pendek, itu tentu tidak apa-apa. Ke toilet
bisa ditahan. Tapi, untuk penerbangan jauh, mau tidak mau harus
”mengganggu” penumpang yang dilewati. Akibatnya, deretan kursi di
pinggir koridor paling habis dipesan duluan. Apalagi untuk penerbangan
yang bisa check-in dari handphone atau internet. Kursi-kursi di sebelah
koridor cenderung sudah habis di-block secara online. Terutama untuk
kursi kelas bisnis yang susunan kursinya 2-3-2. Sering sekali,
kursi-kursi yang kosong adalah yang ada di jepitan. Kita yang pergi
berdua atau bertiga sering harus duduk terpisah. Atau kadang harus
negosiasi dengan penumpang lain setelah tiba di atas pesawat. Kadang ada
penumpang yang rela diajak tukar tempat duduk, kadang tidak bisa.
Problem seperti itu terpecahkan oleh sistem pengaturan kursi yang
mencong-mencong di CX tersebut. Semua kursi punya akses langsung ke
koridor. Jumlah tempat duduk pun tidak berkurang. Susunan kursi baru
seperti itu memang hanya bisa dilakukan di kelas bisnis. Rasanya masih
akan sulit untuk kelas ekonomi. Itu disebabkan di kelas bisnis ”jatah”
satu kursi lebih besar daripada kelas ekonomi. Sebagai orang yang baru
pertama menemukan sistem pengaturan tempat duduk seperti itu, semula
saya agak kikuk. Setiap penumpang mendapatkan satu kursi, yang karena
kanan-kirinya disekat, rasanya seperti berada di dalam satu bilik yang
sempit. Kita tidak bisa melihat penumpang yang ada di sebelah kita. Bagi
yang bepergian sendirian, rasanya tidak mengapa. Tapi, bagi yang pergi
berdua, rasanya aneh. Tidak berkomunikasi dengan istri atau teman
perjalanan. Padahal, sering kita ingin berbicara panjang dengan teman
bisnis justru ketika di dalam pesawat. Tidak ada yang mengganggu selama
berjam-jam. Ketika pertama duduk di kursi itu, rasanya juga aneh oleh
perasaan ini: tidak menghadap ke depan.
Perasaan aneh itu berkurang manakala melihat ada tumpangan kaki di
ujung ”bilik? Ah, ini dia, kaki bisa selonjor. Kesempatan selonjor
seperti itu biasanya baru bisa didapat (untuk kelas bisnis) kalau
pesawat sudah mengudara cukup tinggi. Yakni, ketika sudah diperbolehkan
menaikkan sandaran kaki. Sejak kita pertama duduk di kursi sampai
diperbolehkan menaikkan sandaran kaki itu biasanya memakan waktu sampai
setengah jam. Tapi dengan sistem baru itu, begitu kita duduk pun, kaki
sudah bisa selonjor.
Penemuan sistem baru itu juga menarik: di sisi kiri ada tempat untuk
menaruh bahan-bahan bacaan. Di sisi kanan ada tombol-tombol berbagai
macam keperluan. Ada tombol untuk membuka meja makan. Ada tombol untuk
mengeluarkan layar TV/video. Layarnya pun bisa lebih lebar. Lalu, ada
tombol untuk menggerakkan kursi agar posisi kursi bisa seperti tempat
tidur. Boleh tidur sambil nonton video atau sambil membaca koran. Atau
tidur mengorok.
Dari sisi privasi, sistem baru itu sangat cocok. Tidak terganggu atau
mengganggu penumpang lain. Mau ke toilet kapan pun bisa langsung ke
koridor. Juga tidak perlu sungkan apa pun dengan tetangga. Tapi, bagi
yang menginginkan bisa ngobrol dengan teman, sistem ini benar-benar
tidak memberi peluang. Saya sampai terpikir mengapa tidak disediakan di
beberapa kursi saja yang sekatnya itu dibuat lebih pendek. Mungkin
diperkirakan bisa mengurangi tempat penyimpanan layar video, namun untuk
dikurangi sekadar 10 sentimeter, rasanya masih bisa. Setidaknya masih
bisa bicara dengan ”kamar sebelah” meski harus dengan posisi agak
melongok.
Akhirnya, kalau saya disuruh memilih apakah menyukai sistem baru ini
atau sistem yang lama, jawabnya: bergantung. Kalau bepergian sendirian
dan jarak jauh, saya menyukai sistem ini. Kalau jarak pendek, apalagi
harus ada yang dibicarakan selama dalam penerbangan, saya pilih sistem
yang lama. Tapi, kita sebagai penumpang tidak bisa banyak memilih. Kita
tidak tahu pesawat CX yang mana dan jurusan ke mana yang menggunakan
sistem baru tersebut. Berkali-kali saya ke Hongkong, baik dari Jakarta
maupun dari Surabaya, menggunakan CX, tapi baru hari itu ”menemukan”
kursi sistem baru tersebut. ***
No comments:
Post a Comment