Wednesday, June 10, 2009

Kursi Mencong-mencong Memudahkan ke Toilet

Rabu, 10 Juni 2009
Kursi Mencong-mencong Memudahkan ke Toilet
Menikmati Sistem Baru Penerbangan Cathay Pacific (2-Habis)

Ada lagi yang baru dalam penerbangan Cathay Pasific (CX) selain aturan menggunakan HP sejak roda pesawat menjejak bumi. Setidaknya, baru buat saya. Setidaknya lagi, baru sekali itu saya mengalaminya, meski saya sudah agak lama mendengarnya: susunan kursi di dalam pesawat tidak menghadap ke depan. Semua kursi dibuat menghadap serong 45 derajat dengan tujuan khusus: agar semua penumpang memiliki akses yang sama terhadap koridor. Selama ini, jadi ketidakadilan. Penumpang yang berada di dekat jendela atau yang berada di tengah selalu harus melewati penumpang lain kalau ingin ke toilet.

Untuk penerbangan jangka pendek, itu tentu tidak apa-apa. Ke toilet bisa ditahan. Tapi, untuk penerbangan jauh, mau tidak mau harus ”mengganggu” penumpang yang dilewati. Akibatnya, deretan kursi di pinggir koridor paling habis dipesan duluan. Apalagi untuk penerbangan yang bisa check-in dari handphone atau internet. Kursi-kursi di sebelah koridor cenderung sudah habis di-block secara online. Terutama untuk kursi kelas bisnis yang susunan kursinya 2-3-2. Sering sekali, kursi-kursi yang kosong adalah yang ada di jepitan. Kita yang pergi berdua atau bertiga sering harus duduk terpisah. Atau kadang harus negosiasi dengan penumpang lain setelah tiba di atas pesawat. Kadang ada penumpang yang rela diajak tukar tempat duduk, kadang tidak bisa.

Problem seperti itu terpecahkan oleh sistem pengaturan kursi yang mencong-mencong di CX tersebut. Semua kursi punya akses langsung ke koridor. Jumlah tempat duduk pun tidak berkurang. Susunan kursi baru seperti itu memang hanya bisa dilakukan di kelas bisnis. Rasanya masih akan sulit untuk kelas ekonomi. Itu disebabkan di kelas bisnis ”jatah” satu kursi lebih besar daripada kelas ekonomi. Sebagai orang yang baru pertama menemukan sistem pengaturan tempat duduk seperti itu, semula saya agak kikuk. Setiap penumpang mendapatkan satu kursi, yang karena kanan-kirinya disekat, rasanya seperti berada di dalam satu bilik yang sempit. Kita tidak bisa melihat penumpang yang ada di sebelah kita. Bagi yang bepergian sendirian, rasanya tidak mengapa. Tapi, bagi yang pergi berdua, rasanya aneh. Tidak berkomunikasi dengan istri atau teman perjalanan. Padahal, sering kita ingin berbicara panjang dengan teman bisnis justru ketika di dalam pesawat. Tidak ada yang mengganggu selama berjam-jam. Ketika pertama duduk di kursi itu, rasanya juga aneh oleh perasaan ini: tidak menghadap ke depan.

Perasaan aneh itu berkurang manakala melihat ada tumpangan kaki di ujung ”bilik? Ah, ini dia, kaki bisa selonjor. Kesempatan selonjor seperti itu biasanya baru bisa didapat (untuk kelas bisnis) kalau pesawat sudah mengudara cukup tinggi. Yakni, ketika sudah diperbolehkan menaikkan sandaran kaki. Sejak kita pertama duduk di kursi sampai diperbolehkan menaikkan sandaran kaki itu biasanya memakan waktu sampai setengah jam. Tapi dengan sistem baru itu, begitu kita duduk pun, kaki sudah bisa selonjor.

Penemuan sistem baru itu juga menarik: di sisi kiri ada tempat untuk menaruh bahan-bahan bacaan. Di sisi kanan ada tombol-tombol berbagai macam keperluan. Ada tombol untuk membuka meja makan. Ada tombol untuk mengeluarkan layar TV/video. Layarnya pun bisa lebih lebar. Lalu, ada tombol untuk menggerakkan kursi agar posisi kursi bisa seperti tempat tidur. Boleh tidur sambil nonton video atau sambil membaca koran. Atau tidur mengorok.

Dari sisi privasi, sistem baru itu sangat cocok. Tidak terganggu atau mengganggu penumpang lain. Mau ke toilet kapan pun bisa langsung ke koridor. Juga tidak perlu sungkan apa pun dengan tetangga. Tapi, bagi yang menginginkan bisa ngobrol dengan teman, sistem ini benar-benar tidak memberi peluang. Saya sampai terpikir mengapa tidak disediakan di beberapa kursi saja yang sekatnya itu dibuat lebih pendek. Mungkin diperkirakan bisa mengurangi tempat penyimpanan layar video, namun untuk dikurangi sekadar 10 sentimeter, rasanya masih bisa. Setidaknya masih bisa bicara dengan ”kamar sebelah” meski harus dengan posisi agak melongok.

Akhirnya, kalau saya disuruh memilih apakah menyukai sistem baru ini atau sistem yang lama, jawabnya: bergantung. Kalau bepergian sendirian dan jarak jauh, saya menyukai sistem ini. Kalau jarak pendek, apalagi harus ada yang dibicarakan selama dalam penerbangan, saya pilih sistem yang lama. Tapi, kita sebagai penumpang tidak bisa banyak memilih. Kita tidak tahu pesawat CX yang mana dan jurusan ke mana yang menggunakan sistem baru tersebut. Berkali-kali saya ke Hongkong, baik dari Jakarta maupun dari Surabaya, menggunakan CX, tapi baru hari itu ”menemukan” kursi sistem baru tersebut. ***

No comments:

Post a Comment