Friday, February 12, 2010

Buka-bukaan Gas Di Komisi VII DPR

Jum'at, 12 Februari 2010, 10:54:00
Buka-bukaan Gas Di Komisi VII DPR

RAPAT dengar pendapat dengan Komisi VII DPR-RI ini memang berlangsung 10 jam. Tapi kelelahan itu berakhir dengan happy ending banyak sekali persoalan gas terungkap dan terselesaikan. Buka-bukaan antara BP Migas, BPH- Hilir Migas, Perusahaan Gas Negara, PLN dan anggota Komisi VII kemarin itu membuahkan saling pengertian mengenai enam masalah gas yang ada berikut pemecahannya.

Gas sebesar 85.000 mmbtu dari Jambi Merang di Sumsel, misalnya, yang semula akan dialirkan ke Jawa tapi terhalang banyak hambatan, disepakati untuk PLN saja. PLN akan membangun pembangkit listrik di dekat lokasi itu sebesar 400 MW. Besar sekali. Sangat membantu untuk mengatasi kekurangan listrik di Sumsel dan Riau. PGN pun terhindar dari investasi kompresor yang mahal itu. Kesan politis bahwa lagi-lagi gas untuk Jawa juga terselesaikan.

Pola yang sama akan dilakukan untuk menampung gas dari lapangan Singa (juga di Sumsel) sebesar 45.000 mmbtu yang bisa dipakai untuk membangun tambahan pembangkit listrik 140 MW. Manfaatnya juga sangat besar bagi kecukupan listrik di Sumsel sampai Riau. Diskusi yang intensif (jumlah anggota DPR yang bertanya sampai 25 orang dengan jumlah pertanyaan sampai 134 pertanyaan) membuat banyak persoalan terungkap. Memang sempat melebar sampai ke soal tarif listrik untuk orang kaya dan ke soal audit teknologi pembangkit, namun pimpinan rapat kemarin, Effendy Simbolon, segera mengarahkan kembali ke fokus pembahasan gas dalam negeri.

Bahkan BP Migas sampai "membocorkan" bahwa di Sorong pun sebenarnya tersedia gas meski amat kecil. Yakni hanya 1500 mmbtu. Tapi bagi PLN gas sekecil itu pun sangat bernilai. Bisa membuat seluruh rakyat Sorong pesta cahaya. Gas itu bisa untuk menghidupi pembangkit listrik 2x4 MW. Padahal seluruh Sorong hanya membutuhkan sekitar 4 MW. Ini juga berarti rencana PLN yang semula ingin membangun PLTU kecil di Sorong bisa dibatalkan. Investasi bisa lebih dihemat.

Pembicaraan menjadi lebih seru ketika memasuki topik mengatasi kekurangan gas 1 juta mmbtu untuk pembangkit listrik yang sudah terlanjur ada di Medan, Jakarta, Gresik dan Pasuruan. Saya mengungkapkan bahwa untuk menutupi kekurangan yang begitu besar PLN terpaksa hanya bisa mengharapkan dari receiving LNG terminal. Ini berarti PLN harus membeli gas dengan harga sangat mahal dibanding harga gas dalam negeri lainnya. Yakni bisa mencapai 9 dolar/mmbtu. Padahal selama ini PLN mendapatkan gas dari dalam negeri dengan harga maksimal hanya 5 dolar/mmbtu.

Sayangnya gas dengan harga yang murah itu hanya tersedia sedikit. Karena itu PLN harus menghidupkan pembangkitnya yang bertenaga gas itu dengan BBM. Mahalnya bukan main 16 dolar/ mmbtu. Maka, meski harga 9 dolar/ mmbtu sudah sangat mahal dibanding harga gas dalam negeri, namun masih sangat murah dibanding harus membeli BBM 16 dolar/setara mmbtu. Ini saja sudah akan bisa membuat PLN lebih hemat Rp 15 triliun setahun.

Pertanyaan yang sangat kritis dari anggota Komisi VII adalah kalau PLN kini berani membeli gas dengan harga 9 dolar/mmbtu, bagaimana kalau pemilik gas dalam negeri yang selama ini menjual gasnya ke PLN hanya dengan harga di bawah 5 dolar/mmbtu lantas minta naik harga semua? Anggota DPR lainnya juga mempertanyakan, bagaimana pula akibatnya terhadap pabrik pupuk? Terhadap pabrik keramik? Terhadap industri lainnya?

Bahkan Kepala BP Migas langsung membuat kesimpulan kalau saja sejak dulu ada yang mau membeli gas dengan harga tidak usah 9 dolar/mmbtu, tapi 7 dolar saja, selesailah sudah semua persoalan pergasan kita. Investor akan berebut mengembangkan ladang gas, jumlah gas akan melimpah, dan kekurangan gas akan langsung teratasi. Bahkan polemik ekspor gas pun akan dengan sendirinya tidak relevan lagi. Persoalan Donggi Senoro juga langsung teratasi.

LNG receiving terminal kelihatannya tetap harus dibangun di laut Medan, Teluk Jakarta dan lepas pantai Surabaya. Tapi sumber gasnya kelihatannya tidak perlu lagi harus dari Qatar. Ini bisa memecahkan kebekuan Donggi Senoro dan merangsang dipompanya gas-gas dari sumur besar lainnya. Dengan demikian PLN pun tidak jadi harus membeli dengan 9 dolar/mmbtu. Mungkin cukup dengan 7 atau 8 dolar/mmbtu.

Saya yakin setelah dengar pendapat kemarin, BP Migas, PGN dah PLN akan seru berdiskusi di intern masing-masing untuk mencari jalan ditemukannya keseimbangan baru antara demand, supply dan harga gas di masa depan. Sebuah perenungan yang akan menjadi terobosan mengatasi banyak persoalan gas di dalam negeri.***

No comments:

Post a Comment