Tuesday, February 2, 2010

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (6)

Selasa, 02 Februari 2010 , 02:29:00
Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (6)
Donornya Cadaver Napi 68 Jenis Kejahatan
Laporan NANY WIJAYA, Jawa Pos

Melihat langsung step by step transplantasi liver dengan menggunakan donor cadaver menimbulkan perasaan dan pengalaman yang tidak sama jika dibandingkan dengan ketika melihat transplantasi dengan donor hidup. Teknik operasinya juga berbeda. Seberapa berbeda? Bagaimana Tiongkok mampu menyediakan donor cadaver sebanyak itu?
DISKUSI - Tim dari RSUD dr Soetomo Surabaya sedang mendiskusikan liver resipien dengan dr Pan Cheng, di kamar operasi. Foto: Nany Wijaya/Jawa Pos.

SEJAK berangkat ke Oriental Organ Transplant Center (OOTC) di Tianjin, Tiongkok, kami sudah bertekad membuang semua keinginan yang tak terkait dengan pembelajaran mengenai transplantasi liver. Baik yang menggunakan donor hidup maupun cadaver. Karena itu, keputusan kembali ke hotel ketika organ donor cadaver sudah dalam perjalanan ke OOTC adalah hal yang sangat saya sesali malam itu (baca tulisan sebelumnya, Red). Mengapa saya memilih kembali ke hotel, padahal sesuatu yang paling kami nantikan sudah sangat dekat?

Begitu dalam penyesalan saya malam itu, hingga tak bisa memejamkan mata. Sebenarnya saya mau memeriksa foto hasil jepretan hari itu. Tapi, saya mendadak tak berselera. Ingin sekali saya kembali ke rumah sakit, yang hanya berjarak sekitar 10 menit jalan kaki dari hotel. Tetapi, udara di luar sangat dingin, 12 derajat Celsius di bawah nol. Tubuh saya juga sudah kelelahan.

Saya tahu, kegelisahan saya itu sangat tak beralasan, karena saya bukan dokter. Karena itu, saya tidak punya kepentingan langsung dengan operasi malam itu, kecuali untuk melengkapi tulisan ini dan memotret. Potretnya pun tak mungkin bisa dimuat karena terlalu teknis-medis.

Saya benar-benar tidak tahu. Kegelisahan itu karena saya adalah wartawan yang sejak awal karir saya sudah didoktrin dengan sangat kuat, agar tidak mengabaikan momen apapun yang muncul pada kesempatan pertama. Momen yang bagus jarang bisa terulang. Dengan kata lain, jangan terlalu yakin akan datangnya kesempatan kedua.

Atau karena saya sedang terkagum-kagum pada besarnya tekad dr Philia Setiawan SpAn (KIC) untuk mengikuti pembelajaran tentang transplantasi liver ini hingga tuntas. Begitu besarnya tekad itu, hingga dia memilih tetap stay di Tianjin, tidak buru-buru balik ke Surabaya ketika diberi tahu bahwa suaminya masuk ICU akibat nyeri dada yang hebat.

Meski ibu dua anak itu tidak menunjukkan ekspresi panik ketika mendengar kabar tersebut, saya yakin dia gelisah. Istri mana yang tidak panik dan gelisah ketika mendengar kabar seperti itu. Apalagi di rumahnya tidak ada siapa pun, kecuali dua anaknya yang belum cukup dewasa untuk meng-handle situasi itu.

Untung saja, keesokan harinya ada kabar baik. Nyeri dada suami dr Philia bukan karena serangan jantung atau apapun yang serius.

Dan pagi itu, yang mendapatkan kabar baik ternyata bukan cuma Philia. Semua anggota tim bergembira, terutama saya. Sebab, setibanya di rumah sakit, kami diberi tahu bahwa siang itu akan ada donor cadaver. Dari mana? Kami tidak tahu dan tidak akan pernah tahu.

Jangankan asal usul donor jenazah, donor hidup pun tak bisa diketahui identitasnya. Jadi, meski di dinding kamar operasi terpampang sejumlah hasil CT scan si donor, jangan berharap bisa menemukan nama si donor. Yang ada di foto itu hanya nomor registrasi, umur, serta jenis kelamin si donor.

Identitas donor sebaiknya memang tidak ditunjukkan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya pemerasan terhadap resipien (penerima organ donor). Apalagi kalau donornya cadaver.

Seperti diketahui, Pak Dahlan Iskan ditransplan dengan organ dari donor jenazah. Tidak jelas, jenazah siapa dan meninggalnya karena apa. Bahwa ada yang memberi tahu donornya berumur 20 tahun, itu baik. Karena kalau donornya lebih muda, pengaruhnya akan sangat positif pada resipien. Minimal dia bisa merasa lebih muda dari sebelumnya.

Tetapi, kalau umur donornya lebih tua daripada si resipien, saya yakin, tak ada yang berani memberitahukannya. Begitu pula penyebab kematian si donor.

Soal penyebab kematian donor, kalau itu operasinya di Tiongkok, tak perlu lagi bertanya. Siapa pun bisa memastikan bahwa donor itu meninggal karena hukuman mati.

Seperti yang diakui dr Deng Yong Lin, salah seorang Direktur OOTC, "Sampai sekarang, memang masih sekitar 67 persen dari total transplantasi di Tiongkok menggunakan donor cadaver," ujarnya. Padahal, total transplantasi liver di negeri itu berjumlah 14.000 kasus.

Dokter yang pernah mencetak rekor dengan keberhasilannya mentransplantasi liver terhadap bayi berumur tujuh bulan itu, membenarkan bahwa organ-organ tersebut diperoleh dari para terpidana mati. Donor hidup sendiri baru dilakukan center-nya pada 2006. Itu pun hanya satu kasus dari 655 kasus transplantasi liver yang dilakukan OOTC pada 2007. Pada tahun berikutnya, jumlah donor hidup yang digunakan bervariasi, antara 30 sampai 40 persen dari total transplantasi liver di situ.

Angka tersebut memang tinggi. Tetapi bandingkan dengan total penduduk Tiongkok yang kini sudah mencapai 1,5 miliar orang. Lihat juga dengan jenis-jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Di sana ada 68 jenis kejahatan yang bisa dikenai hukuman mati. Antara lain adalah korupsi, menilap (menggelapkan) pajak, pengedar dan penyelundup narkoba lebih dari 50 gram, perampok atau pencuri dengan kekerasan, pembunuh, perusak benda seni atau benda bersejarah, pembobol rumah, hingga pembunuh panda (binatang yang hanya ada di Tiongkok). Bandingkan dengan pasal-pasal hukuman mati di Indonesia.

Ketentuan tentang hukuman mati itu tidak hanya berlaku bagi penduduk lokal, tetapi juga orang asing. Dalam sejarahnya, sudah ada beberapa orang asing yang dihukum mati di Tiongkok. Pada 29 Desember 2009, negeri ini menghukum mati seorang warga negara Inggris keturunan Pakistan bernama Akhmal Shaikh, karena menyelundupkan 4 kilogram heroin pada 2007.

Semua vonis mati di sana tidak langsung dilaksanakan. Ada masa percobaan dua tahun. Selama itu, proses banding dilakukan negara secara otomatis. Artinya, setiap vonis mati selalu mendapatkan peninjauan dari pengadilan tinggi dan mahkamah agung. Proses ini memakan waktu paling lama dua tahun. Tetapi, eksekusi bisa langsung dilaksanakan bila dalam kurun waktu itu si terpidana melakukan pelanggaran hukum yang dinilai berat. Misalnya, memukul petugas, mencuri atau membunuh sesama narapidana.

Sejak 1950, setiap terpidana mati wajib membayar peluru yang digunakan saat eksekusi. Untungnya, eksekusi mati di sana dilakukan hanya dengan satu peluru, yang ditembakkan lewat kepala bagian belakang. Saat eksekusi dilakukan, kabarnya, terpidana harus membuka mulutnya. Ini dimaksudkan agar peluru yang menembus kepala bagian belakangnya bisa langsung meluncur ke pasir penahan yang diletakkan di depannya. Dengan begitu, peluru tidak mandek di kepala dan menghancurkan wajah si terhukum.

Pada 2005, kabarnya jumlah terhukum mati di sana ada 10.000 orang. Jumlah tersebut menurun drastis pada tahun-tahun berikutnya. Dan pada 2009, Amnesti Internasional mencatat adanya 1.718 hukuman mati di sana. Namun, badan dunia ini yakin, faktanya lebih banyak dari itu.

Pada 2007, pemerintah Tiongkok mengeluarkan aturan baru: organ terhukum mati tidak lagi boleh diambil untuk transplantasi - kecuali memang ada izin tertulis dari keluarga atau si terpidana. Pemerintah akan memberikan sejumlah kompensasi kepada keluarga terpidana mati yang menyerahkan organnya. Nilainya sangat bergantung pada berapa banyak organ yang dia donorkan. Semakin banyak yang dia serahkan, semakin banyak pula kompensasi yang diterima keluarga.

Kesediaan mendonorkan organ ini harus dilakukan sejak awal vonis dijatuhkan. Sebab, organ mereka tidak secara otomatis diterima. Akan diperiksa dulu secara detail. Ini perlu untuk mengetahui kualitas organ yang didonorkan.

Napi yang berumur lebih dari 55 tahun pasti tidak memiliki opsi tersebut. Tetapi, yang lebih muda juga tidak otomatis mendapatkannya. Napi yang hidupnya bergantung pada insulin "karena menderita penyakit kencing manis atau diabetes mellitus, kerusakan ginjal, menderita kanker yang sudah menyebar dan penyakit lain yang bisa merusak organ-organ penting", juga tidak bisa mendonorkan organnya.

Biaya pemeriksaan calon donor ini tidak murah. Karena itu, selama menanti masa eksekusi, kesehatan para donor dipantau secara ketat. Setiap satu atau dua bulan sekali dilakukan pemeriksaan ulang.

Seperti yang saya tulis di bagian awal tulisan ini, organ yang bisa didonorkan hanya organ yang masih "hidup". Artinya, masih dalam keadaan dialiri darah dan oksigen ketika diangkat dari tubuh. Itu berarti dokter harus bisa mengembalikan denyut nadi dan gerak paru-paru si terpidana mati, secepat eksekusi dilakukan.

Prosedur eksekusi di sana sama dengan di negara lain. Begitu ditembak, langsung diperiksa apakah terpidana memang sudah mati. Artinya, tidak ada reaksi apa pun yang menandakan bahwa dia masih hidup.

Secara medis, semua orang pasti mati kalau kepala bagian belakangnya (letak batang otak, yang menghubungkan otak besar dan otak kecil yang terletak di tengkuk bagian atas) dihajar peluru. Pemeriksaan untuk memastikan bahwa si terpidana sudah tewas harus dilakukan dengan sangat cepat. Sebab, dalam keadaan tanpa oksigen dan darah (nutrisi), organ-organ penting kita hanya bertahan maksimal 10 menit.

Sayang, kami tidak punya kesempatan melihat atau mendapatkan penjelasan tentang bagaimana dokter mengangkat organ-organ dari terpidana mati yang sudah dieksekusi. Rasanya kesempatan ini juga tidak akan pernah diberikan kepada kami, karena ini menyangkut rahasia negara.

Mungkin karena serba cepat itu, pengambil organ harus dokter bedah yang sudah sangat terlatih. Sebab, sedikit kesalahan, bisa berakibat fatal pada organ. Untuk liver misalnya, permukaannya yang semulus pipi bayi tak boleh tergores sedikit pun. Begitu pula pembuluh darah utama yang dipotong harus cukup panjang untuk disambung, kemudian memasang klamp khusus untuk menutup ujung-ujungnya. Begitu pula halnya dengan ginjal, paru-paru, jantung, pankreas, usus halus, serta organ lain yang bisa ditransplantasikan.

Mungkin karena membayangkan bagaimana organ-organ itu dikeluarkan, ketika kali pertama melihat liver donor cadaver, tubuh saya langsung menggeletar. Wajah saya memucat, telapak tangan dan kaki saya dingin serta berkeringat.

Organ tersebut datang dalam keadaan direndam ringer laktat (cairan khusus yang bisa untuk infus) dingin, dalam kantong plastik khusus rangkap tiga. Saat dikeluarkan, liver itu masih menyatu dengan lembaran diafragma. Itu otot yang memisahkan organ perut dan dada. Kantong plastik tersebut lantas dimasukkan dalam sebuah tas kotak yang mirip kotak pengantar makanan.

Begitu dikeluarkan dari wadahnya, liver itu harus dicuci ulang dan dilepaskan dari diafragma yang menempel. Proses tersebut memakan waktu yang relatif lebih lama dari mencuci liver dari donor hidup. Setelah diafragmanya terlepas, barulah pencucian untuk membersihkan sisa darah dari sel-sel dan pembuluh-pembuluh darahnya dilakukan. Setelah bersih dari darah, lemak dan diafragma, liver dibungkus kain steril yang sudah diberi pecahan es yang dibuat dari ringer laktat yang dibekukan.

Dari yang kami lihat, menyambung liver donor cadaver lebih mudah daripada menyambung liver dari donor hidup yang hanya separuh. Teorinya, sebelum disambungkan, liver harus ditimbang. Tetapi, karena sudah terlalu sering melakukan transplantasi, bagian itu tidak dilakukan oleh tim di Tianjin. Tanpa menimbang pun, mereka sudah tahu apakah liver itu pas dengan tubuh resipien atau tidak. (bersambung/kum)

No comments:

Post a Comment