Monday, February 1, 2010

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (5)

Senin, 01 Februari 2010 , 02:37:00
Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (5)
Donor Datang Tengah Malam pun Langsung Operasi
Laporan NANY WIJAYA, Jawa Pos

Selain melihat proses transplantasi dengan donor hidup, tim RSUD dr Soetomo Surabaya mempelajari transplantasi dengan donor cadaver alias mayat. Sayang, datangnya donor jenazah tak bisa diprediksi. Meski pasien sudah dibedah, kepastian itu tetap belum ada. Inilah pengalaman kami menantikan donor tidak hidup itu.
STANDBY - Tim dari RSUD dr Soetomo ketika sedang berdiskusi dengan dr Zhang Jian Jun (Wakil Direktur) yang duduk di depan komputer. Foto: Nany Wijaya/Jawa Pos.

SETELAH melihat langsung bagaimana transplantasi dengan donor hidup dilakukan, kami menanti kesempatan mempelajari penggantian hati dengan donor cadaver. Kami memang sudah dijanjikan untuk ini. Tetapi, kapan? Untuk menanyakannya, kami juga tidak tega. Selain karena kami sudah mendapat banyak kesempatan melihat donor hidup, donor cadaver kan tidak bisa ditentukan.

Dengan donor hidup pun kami sebenarnya sudah mendapatkan banyak kasus. Yang pertama, kasus sirosis liver berat, yang membuat liver mengecil hingga tinggal 40 persen. Kasus berikutnya, sirosis yang tidak seberat yang pertama, tetapi disertai kanker. Ini mirip kasusnya Dahlan Iskan.

Akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya kepada Ellen Wei, sekretaris Prof Dr Shen Zhongyang, orang nomor satu di OOTC. Ellen bilang, sampai saat saya bertanya itu, belum ada informasi tentang kapan akan ada donor cadaver untuk OOTC (Oriental Organ Transplant Center). Seperti yang dijelaskan dr Wentao Jiang, wakil direktur OOTC, di Tiongkok saat ini ada 30 pusat transplantasi besar dan kecil. Salah satunya OOTC. Angka tersebut sudah sangat kecil bila dibandingkan dengan empat lima tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 100.

Sedikit tentang Ellen. Sarjana bahasa Inggris ini punya peran penting dalam perjalanan kami ke Tianjin. Tanpa bantuan dia, mustahil tugas-tugas kami di Tianjin terlaksana dengan baik. Sebab, dialah yang mengomunikasikan kedatangan dan kebutuhan kami kepada para dokter yang memegang peran di OOTC.

Ibu satu anak ini juga sangat perhatian kepada kami. Kalau akan ke kamar operasi, dia selalu menganjurkan kami menyimpan tas, jaket, dan barang-barang lain di kamar bosnya, Prof Shen Zhongyang. Kebetulan, ahli transplan liver yang menjadikan OOTC menggapai masa keemasannya itu sedang bertugas di Beijing. Karena keberhasilannya itu, selain di OOTC, Shen ditugasi memimpin pusat transplantasi liver yang ada di Army Hospital, Beijing.

Bertubuh tinggi semampai, Ellen memiliki wajah yang kata teman-teman Surabaya, mirip artis Hollywood asal Malaysia, Michelle Yeoh semasa muda. Ellen sendiri ternyata tak tahu siapa bintang terkenal yang bermain bareng Chow Yun Fat di film Crouching Tiger, Hidden Dragon itu.

Selain barang-barang bawaan kami, yang tak luput dari perhatian Ellen adalah makanan kami. Terutama kalau kami mengikuti operasi. Dia tak pernah lupa menyuruh petugas menyiapkan makanan buat kami di ruang pertemuan di lantai 12. Tempat para dokter biasanya berdiskusi tentang kasus-kasus yang akan atau baru saja dioperasi.

Selain Ellen, selama di sana kami ditemani seorang gadis cantik bernama Cindy. Sarjana bahasa Inggris ini adalah penerjemah resmi OOTC, yang kami booked untuk menemani kami selama enam hari. Tetapi, anak tunggal ini tidak mendampingi kami selama 24 jam. Setelah pukul 18.00, dia akan pamit. Kecuali pada hari terakhir kami di kamar operasi, dan Ellen juga ikut.

Yang menarik dari Cindy adalah penguasaan bahasa asing dan istilah-istilah serta prosedur teknis medis dalam transplantasi. Padahal, baru enam tahun dia bekerja di OOTC. Untuk bahasa asing, dia menguasai enam bahasa. Mulai Inggris sampai Hebrew atau Ibrani. Bahasanya orang-orang Israel. Beberapa tahun lalu, OOTC menerima cukup banyak pasien transplan liver dari Israel. Tetapi, itu terhenti tahun lalu karena dilarang pemerintah. Mungkin sekarang Israel sudah bisa melakukan sendiri transplantasi liver.

Hari mulai gelap. Hanya saya, dr Philia, dr Arie, dan perawat Eko yang memilih tinggal di rumah sakit. Trio anestesi dan ICU itu ingin mendalami teknik perawatan pasien-pasien transplan liver yang baru operasi, hingga saat dipindahkan ke ruang masing-masing. Delapan anggota tim yang lain pulang. Mereka berencana makan malam di restoran muslim.

Hari itu merupakan hari pertama kami mempelajari ICU-nya OOTC. Kebetulan, bahasa Inggris dokter jaga yang bertanggung jawab saat itu bagus. Namanya dr Ming Yu. Di antara kami hanya dr Philia yang bahasa Mandarinnya lumayan fasih. Meski sudah lama tak dia gunakan, karena orang tua dan saudara-saudaranya sudah boyong ke AS.

Karena Ming Yu bisa berbahasa Inggris dan Philia bisa Mandarin, kami bisa dapat banyak ilmu malam itu. Di antara hal baru yang kami dapatkan malam itu adalah jumlah dan jenis alat monitor yang digunakan pasien selama di ICU ikut memengaruhi besarnya biaya yang harus ditanggung penderita.

Karena itu, untuk membantu pasien menghemat biaya, OOTC punya kebijakan yang perlu ditiru semua rumah sakit di Indonesia: Alat monitor yang tak terlalu diperlukan pasien, tak perlu disambungkan. Apalagi, jika pasiennya stabil. Dia tak menjelaskan (atau karena saya tidak bertanya), bagaimana dengan pasien VIP dan VVIP. Apakah juga perlu dibantu berhemat?

Sayangnya, Ming Yu tak bisa mengingat pasien-pasiennya, termasuk yang dari lantai 10 dan 11. Dua lantai tersebut memang dikhususkan untuk ruang perawatan pasien-pasien VIP dan VVIP. Dahlan Iskan sendiri opnamenya di lantai 11. Karena itu, operasinya diawasi sendiri oleh Prof Shen. Dan, yang menjadi kapten operator (yang memimpin tim ahli bedahnya), dr Deng langsung.

Seperti halnya di kamar operasi, suasana di ICU pasien transplan ini juga tidak menegangkan, meski sunyi. Sunyi karena di ruang itu tak ada perawat atau dokter yang ngobrol. Semuanya - kecuali yang sedang memeriksa pasien - berkumpul di satu ruang yang dipenuhi monitor komputer. Setiap monitor terhubung dengan semua mesin di tiap bilik. Dari monitor-monitor itulah para pasien dipantau.

Sistem jaga di ICU ini juga unik. Setiap orang kebagian piket lima kali 24 jam dalam seminggu. Selama itu mereka tidak diperkenankan meninggalkan ICU, kecuali memang ditugasi oleh direktur ICU.

Sekitar pukul 19.00 lebih sedikit, ketika perut terasa mulai lapar, kami meninggalkan ICU. Karena untuk kembali ke kamar ganti kami harus melewati lantai 13, jadi naik dulu. Kami pun naik. Kesempatan itu kami gunakan untuk melongok kamar-kamar operasi yang ada di situ. Hampir semuanya sudah dirapikan dan disiapkan untuk keesokan paginya. Yang ada hanya satu resipien, yang operasinya sudah kami ikuti. Itu pun hampir selesai. Tinggal merapikan jahitan.

Saat mau meninggalkan ruang itu, saya berpapasan dengan dr Du Hongyin, direktur anestesi. Saya lihat dia sibuk menyiapkan alat penghangat cairan. Heran, direktur kok nyiapin alat sendiri. "Kan bisa dilakukan perawat yang tugas pagi, dok" tanya saya dalam bahasa Inggris.

"Tidak bisa. Sebentar lagi ada operasi, cadaveric, dua," jawabnya. Mendengar itu, rasanya seperti dapat angin surga. Pucuk dicinta, ulam tiba. Kagum saya pada dokter-dokter di center ini. Benar-benar siaga 24 jam.

Begitu donor cadaver datang, langsung operasi. Tak peduli malam atau hari libur. Kalau kelak di Surabaya ada donor cadaver, apakah para dokternya juga bisa sesiap itu ya" Ini mengingat mereka juga punya praktik pribadi.

Sesaat kemudian, dr Jia Hong yang juga ahli anestesi datang. Dokter wanita yang pernah tiga tahun bertugas di Kongo ini mengaku memang dihubungi center untuk menyiapkan operasi itu.

Teman-teman yang sedang makan malam saya hubungi. Komitmen mereka untuk belajar transplantasi ternyata juga hebat lho! Begitu tahu akan ada operasi dengan donor cadaver, mereka langsung meninggalkan makan malamnya, dan kembali ke rumah sakit.

Setengah jam kemudian, dua pasien lelaki berkulit kuning didorong ke ruang operasi nomor enam dan tujuh. Seorang perawat menempelkan tulisan tentang golongan darah pasien di dekat pintu. Kondisi keduanya tidak sama. Yang satu dengan perut segede gunung (ascites), yang satu lagi biasa. Keduanya memasuki kamar operasi dalam keadaan masih mengenakan piyama rumah sakit.

Persiapan dilakukan. Saya tidak perlu mengulang cerita tentang persiapan ini. Semuanya sama dengan kalau menggunakan donor hidup. Cara pembiusannya, pemasangan swan ganz dan arteri line di leher sampai caranya membuka rongga perut juga sama.

Begitu persiapan selesai, tim ahli bedah masuk. Saya menunggu di ruang nomor enam, tempat pasien yang ascites nya besar itu. Rencananya, pasien ini ditangani dr Jiang Wentao.

Sampai setengah jam saya menunggu, tak ada tindakan lanjutan. Dr Jiang sendiri sibuk berbicara di telepon. Apa yang dia bicarakan, saya tidak tahu. Tetapi, dari ekspresinya terlihat bahwa dia sedang bingung. Begitu dia selesai menelepon, saya dekati dan saya tanya.

Dengan bahasa Inggris yang sangat bagus, dia ceritakan bahwa pesawat donor baru mendarat, tetapi liver tidak bisa dibawa ke OOTC karena hi-way-nya sedang sangat licin akibat salju. Malam itu udaranya memang sedang buruk.

Bagaimana donor untuk pasien di kamar nomor tujuh? Saya tidak bisa membayangkan kalau donornya juga tidak segera datang. Sebab saya sempat melihat dokter mulai melakukan insisi (penyayatan) di perut.

Ketika saya bertanya kepada dr Jia, yang sedang menjaga pasien itu, jawabannya juga sama: Belum ada kejelasan tentang posisi donor. Tetapi, pasti datang. Sumber lain yang saya hubungi malam itu, juga tak bisa memastikan, jam berapa donor-donor cadaver itu datang.

Saya lantas ingat tulisan Pak Dahlan di buku Ganti Hati-nya. Di situ juga disebutkan bahwa dia harus menunggu tiga jam, dalam keadaan terbius.

Karena tak ada kepastian, saya tinggalkan ruang operasi. Bukan untuk pulang, tetapi makan di ruang pertemuan di lantai 12.

Di situ ternyata teman-teman yang tadi makan sudah berkumpul dengan seragam operasi, termasuk masker dan cap (topi)nya. Setelah makan, dr Poerwadi menawarkan untuk pulang dan kembali besoknya, pagi-pagi sekali. Saya menolak, mulanya. Tapi, setelah dijelaskan tentang kondisi pasien yang ada di ruang tujuh, yang tadi mulai disayat perutnya, saya jadi ragu.

Seusai makan, saya dengan ditemani dr Iwan kembali ke lantai 13. Untuk memastikan yang dikatakan dr Poerwadi tadi. Ternyata benar. Dokter yang mendampingi operasi menjelaskan bahwa kondisi pasien itu memang menyulitkan ahli bedah dan dipastikan memakan waktu lama untuk membuka perutnya. Mengapa?

Pasien itu ternyata menderita kanker liver yang sangat parah. Kankernya sudah ada di mana-mana. Kanker itu bukan cuma disertai sirosis (livernya penuh benjolan, mengeras dan mengerut) saja. Tetapi, juga telah menyebabkan terjadinya perlekatan ke dinding perut.

Sebelum menggapai liver dan kemudian memotongnya, dokter harus melepaskan perlekatan-perlekatan itu. Ini sangat tidak mudah. Titik kritis lain yang masih harus dihadapi tim dokter bedah adalah saat harus memotong pembuluh darah yang menyambung ke liver. Karena kanker dan sirosis yang sudah parah, terjadi tekanan darah yang sangat tinggi di pembuluh itu. Kalau tidak hati-hati memotongnya, pasti terjadi perdarahan hebat.

Kesulitan dokter bedah menjadi sempurna ketika nanti ternyata pembuluh darah yang ke liver sudah mengalami trombosis (penyumbatan). Ahli bedah digestif dari Surabaya yang selama di OOTC sangat rajin bertanya, dr Iwan Kristian SpB-KBD (bukan dr Iwan Setiawan seperti tertulis kemarin, maaf) lantas mengajak saya ke dinding samping meja operasi, di mana hasil CT-scan pasien dipampangkan.

Di situ terlihat bahwa pasien tersebut sudah pernah menjalani beberapa kali pembakaran kanker (TACE). Persis seperti Pak Dahlan Iskan, sebelum transplantasi. Selain itu, pasien ini pernah menjalani tindakan pengikisan kanker yang dikenal dengan istilah ablasi. Itu terlihat dari tepian livernya yang sudah tidak utuh lagi, alias cuwil di beberapa bagian.

Jadi, secara medis, sebenarnya pasien ini sudah sangat parah dan tidak layak ditransplantasi karena chance-nya untuk berhasil sudah sangat tipis. Terlepas dari diskusi itu, saya lantas bertanya sendiri dalam hati. Mengapa tim dokter OOTC masih mentransplan pria setengah baya itu kalau memang tingkat keberhasilannya untuk bertahan hidup tinggal sedikit" Ini bisnis atau karena mereka memang mampu mengatasi problem itu" Pertanyaan ini akan saya carikan jawabnya.

Sampai menjelang tengah malam, tepatnya pukul 23.00 waktu setempat, saya belum melihat ada tanda-tanda liver donor tiba. Karena itu, saya memutuskan kembali ke hotel.

Dasar nasib. Menjelang kami keluar dari ruang ganti, telepon saya berbunyi. Cindy mengabarkan bahwa livernya sudah on the way ke rumah sakit. Diperkirakan sebelum pukul 24.00, organ penyelamat itu sudah tiba. Sayangnya, saya terlanjur mengembalikan baju operasi. Malas untuk memakainya lagi. Jadi, ya saya pulang.

Esok paginya, saya tahu bahwa operasi itu baru selesai pukul 06.00. Itu berarti, dr Jiang harus melek sampai pagi. Padahal, pukul 09.00, atau tiga jam setelah operasi, dia harus memberi kami kuliah tentang transplantasi liver. (bersambung)

No comments:

Post a Comment