Wednesday, February 3, 2010

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (7-Habis)

Rabu, 03 Februari 2010 , 06:00:00
Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (7-Habis)
Lihat Operasi Tersulit ketika Liver Melekat ke Dinding Perut
Oleh: Nany Wijaya/Wartawan Jawa Pos

Masa belajar di OOTC, Tianjin, Tiongkok, ditutup dengan transplantasi pada balita berumur 3 tahun, yang beratnya hanya 9,8 kilogram. Menariknya kasus ini adalah livernya berasal dari cadaver dengan pola split.  Metode ini jauh lebih unik dan rumit daripada semua metode yang telah saya ceritakan.
Wartawan Jawa Pos Nany Wijaya dan seorang resipien yang sedang dioperasi. (F:JP)

Saya dan tim transplantasi liver RSUD dr Soetomo Surabaya tidak pernah menyangka akan bisa "menikmati"  sepuluh kasus penggantian hati selama enam hari di Oriental Organ Transplant Hospital (OOTC) Tianjin, Tiongkok. Saya yakin, orang lain pun tidak menyangka bahwa kami akan bisa belajar sebanyak itu, mengingat enam hari memang bukan waktu yang bisa dibilang panjang.

Karena itu, kami sangat mensyukuri hubungan istimewa Pak Dahlan Iskan dengan pusat transplantasi liver terbesar di dunia itu. Tanpa itu, tidak mungkin kami bisa mendapatkan perlakuan yang begitu istimewa.

Sayangnya, selama di sana, saya atau teman lain tidak sempat melongok ruang perawatan mantan CEO Jawa Pos yang kini menjadi Dirut PLN itu. Separo dari kami beruntung masih sempat bertemu dengan seorang pasien asal Medan yang baru selesai ditransplan. Pertemuan itu terjadi pada dua hari menjelang akhir kunjungan kami. Pada hari itu, sebelum berdiskusi dengan dr Deng dan dr Zhang (yang fotonya sudah saya munculkan di serial sebelumnya), kami diberi kesempatan untuk mengunjungi pasien ke ruang-ruang perawatan. Di kalangan medis, kunjungan seperti itu dikenal dengan istilah visite.

Agar tidak terlalu mengganggu pasien, rombongan kami dibagi dua. Satu rombongan ke lantai delapan bersama dr Pan Cheng, yang lain ikut dr Deng Yonglin ke lantai pasien-pasien di lantai enam. Saya termasuk yang ikut dr Deng. Seperti diketahui, keduanya adalah direktur transplantasi OOTC.

Yang visite bersama dr Deng sempat bertemu dengan dua wanita lokal yang sudah ditransplan. Yang seorang, berusia sekitar 45 tahun, masih harus opname karena baru lima hari post-operasi sehingga masih perlu memakai selang pembuang sisa darah di perut kanannya. Selain itu, dia juga masih mengenakan semacam gurita untuk melindungi luka bekas operasinya.

Wanita lain yang kami temui siang itu adalah Zhang Lifeng. Melihat cara jalan dan wajahnya yang masih pucat, siapa pun bisa menebak bahwa operasinya belum lama. Ternyata, dugaan itu benar. Dia mengatakan baru dua minggu meninggalkan rumah sakit. Operasinya sendiri sekitar sebulan sebelum dia keluar dari rumah sakit. Siang itu dia datang ke rumah sakit untuk kontrol.

Selama mengikuti operasi di OOTC, belum pernah kami bertemu dengan resipien ataupun donor wanita. Seluruhnya laki-laki. Jadi, baru hari itu kami bertemu dengan pasien wanita post-transplan. Menurut catatan China Liver Transplant Registry (CLTR:  lembaga nasional yang mengordinasikan 61 pusat transplan liver di seluruh Tiongkok), jumlah resipien wanita di negeri itu memang hanya 15,4 persen. Sisanya laki-laki. Sebanyak 5,8 persen dari total resipien transplantasi liver di Tiongkok adalah remaja dan anak-anak. Usia mereka yang masuk dalam kategori itu bervariasi, antara 3 bulan hingga (maksimal) 18 tahun.

Pendirian lembaga pemerintah tersebut diprakarsai oleh 21 center besar di Tiongkok, termasuk OOTC.  Keberadaannya sangat membantu perkembangan transplantasi liver di sana. Sebab, lembaga tersebut memiliki pusat data yang online dengan semua pusat transplan di seluruh negeri. Data lengkap para pasien yang sudah terdaftar dalam antrean transplan liver di semua pusat transplan pasti tersimpan di lembaga tersebut. Yang disimpan bukan hanya nama, alamat, umur, dan organ yang dibutuhkan si calon, tetapi juga penyakit dan sidik jari mereka. Bayangkan! Kelengkapan data itulah, yang memudahkan lembaga tersebut mendistribusikan liver cadaver dari seluruh Tiongkok dengan tepat.

Bahwa Zhang bisa meninggalkan rumah sakit dalam waktu yang begitu cepat  bukan hal yang istimewa. Di OOTC, pasien memang tidak perlu berlama-lama  di rumah sakit. Bukan karena yang antre bed-nya banyak, tetapi karena mereka memang tidak perlu berlama-lama di rumah sakit. Bahkan, di ICU pun tidak perlu sampai seminggu. Kecuali pasien tersebut mengalami komplikasi pascaoperasi.  Tetapi, itu jarang sekali.

Sepanjang yang kami tahu selama di OOTC, seorang pasien hanya membutuhkan waktu sekitar 6-8 jam untuk sadar setelah menjalani operasi penggantian hati, yang rata-rata memakan waktu 8-9 jam. Empat?lima jam setelah sadar, pasien sudah boleh ditemui keluarganya. Untuk donor hidup, waktu yang dibutuhkan untuk sadar lebih cepat lagi: hanya 4-5 jam.

Donor juga hanya membutuhkan waktu dua hari di ICU. Setelah itu, dia sudah dikembalikan ke ruangan. Satu-dua hari kemudian, dia sudah diajari duduk. Untuk resipien, dibutuhkan waktu dua-tiga hari lebih lama daripada donor.

Bagaimana bisa begitu cepat" Apakah dibantu dengan obat tradisional Tiongkok" Ternyata tidak. Tim dokter konsultan ICU RSUD dr Soetomo dan perawatnya yang bersama saya sudah mencatat obat apa saja yang digunakan di OOTC sebelum, selama, dan sesudah operasi.Pasien lain yang kami temui siang itu adalah seorang lelaki berumur sekitar 50 tahun. Dia sudah bersiap meninggalkan rumah sakit. Kawan lama dr Deng ini kembali ke rumah sakit juga untuk kontrol saja. Transplantasinya sudah lima tahun yang lalu.

Rombongan yang tidak bersama saya  lebih bebas memilih "pasien"-nya.  Dokter Pan yang seharusnya "mengawal" mereka visite sedang sibuk. Mereka diuntungkan oleh keadaan itu karena lantas bisa bertemu dengan seorang pasien Indonesia asal Medan. Pasien itu mengatakan berani datang ke OOTC untuk transplantasi setelah membaca buku Ganti Hati-nya Pak Dahlan.

Saya sebenarnya berencana menemui pasien ini. Tetapi, dia keburu meninggalkan rumah sakit. Berkunjung ke apartemennya "dia masih harus balik untuk kontrol" ternyata juga tak sempat karena padatnya jadwal operasi.Kami sungguh diuntungkan oleh banyaknya operasi yang harus kami ikuti. Meski jenisnya sama, yakni transplantasi liver, penyebab dan kesulitan-kesulitan operasinya sangat bervariasi. Dengan begitu, kami jadi tahu betapa menakutkannya mencopot liver pasien yang kondisinya sangat buruk. Sebab, semakin jelek livernya, berarti semakin tinggi tekanan darah di vena porta (pembuluh darah utama) livernya. Dan, itu berarti potensi untuk terjadi perdarahan hebat "seperti kami lihat pada pasien yang ditangani dr Pan" semakin besar. Bisa dibayangkan risikonya bila perdarahan tak bisa segera dihentikan. Tekanan darah pasien akan drop. Begitu pula denyut jantungnya dan bahkan suhu tubuhnya. Untuk suhu badan pasien, tidak sulit mengatasinya karena di sana ada alat pemanas khusus yang dipasang di atas dahi pasien. Dengan alat itu, suhu pasien bisa dijaga.  

Selain itu, masih dengan dr Pan, kami menemukan kasus sulit lain. Yakni, timbulnya rembesan darah dari pembuluh darah yang baru disambung. Keadaan itu terjadi karena pembuluh darah liver yang sudah disambung bisa sewaktu-waktu melintir.

Jenis kesulitan lain yang kami dapati bersama dr Pan adalah pasien dengan pembuluh utama liver yang sudah mengalami penyumbatan berat (stadium tiga) atau yang dalam istilah medis dikenal sebagai kasus trombosis. Tak banyak dokter bisa mengatasi kondisi ini. Pembuluh yang tersumbat itu bisa membesar sampai seukuran ibu jari orang dewasa.

Di Tiongkok, tidak banyak dokter yang ahli dalam kasus seperti itu. Dan, dr Pan adalah salah satu yang terbaik untuk urusan ini. Malam itu dokter ahli yang sudah melakukan transplantasi liver lebih dari 800 kasus ini "pernah sembilan kasus dalam sehari" membuktikan kemampuannya mengatasi trombosis pada resipien yang menerima donor dari cadaver.

Di malam yang lain, kami juga melihat bagaimana dr Wentao Jiang dan dr Zhu Zhijun yang sudah mentransplantasi lebih dari 900 pasien itu mengatasi resipien yang livernya sudah melekat ke dinding perut akibat kanker. Secara teoretis, pasien seperti ini tidak perlu diselamatkan karena chance (peluang) keberhasilan operasinya sangat tipis. Jangankan mengganti livernya, melepaskan organ terbesar itu dari perutnya saja sudah setengah mati. Dan, dua dokter yang umurnya masih di bawah 47 tahun itu berhasil.

Keberanian mereka menangani pasien-pasien yang peluang keberhasilan operasinya sangat kecil itu membuat dr Iwan Kristian bertanya, apakah OOTC menggunakan kriteria Milan untuk memilih pasien. Ternyata tidak selalu.   

Kriteria Milan adalah kriteria yang dibuat atas kesepakatan para ahli transplantasi organ dalam suatu rapat di Milan, Italia. Kriteria itu untuk menentukan layak tidaknya seorang pasien kanker liver dan sirosis (livernya rusak dan mengerut) ditransplantasi.

Dalam catatan China Liver Transplant Registry (CLTR), kondisi 53,1 persen penderita penyakit liver stadium akhir yang berhasil ditransplan di Tiongkok sudah tidak memenuhi kriteria Milan. Artinya, sebenarnya mereka sudah tak layak ditransplan karena kondisinya sudah sangat buruk dan umurnya juga sudah di atas 80 tahun. Faktanya, operasi itu berhasil dan pasiennya hidup sampai bertahun-tahun.

Tingkat keberhasilan transplantasi di Tiongkok memang patut diacungi jempol. Itu bukan promosi, tetapi fakta. Pasien post-transplan liver pertama di dunia ini yang berhasil hamil dan melahirkan adalah pasien Tiongkok yang dioperasi di negerinya sendiri. Bagaimana OOTC sendiri" Prestasi apa yang pernah mereka buat, selain keberhasilan transplantasi yang rutin itu" Banyak.

Pasien liver yang pertama ditransplan oleh Prof Dr Shen Zhong bertahan hidup hingga sekarang. Petani desa itu menjalani transplan hati 15 tahun lalu. Operasinya, kenang Shen, memakan waktu 20 jam. Maklum, ini kasus pertama yang ditangani. Padahal, untuk itu, dia sudah menyiapkan diri dengan berlatih transplantasi pada 100 ekor anjing.

Kemudian, dr Deng Yonglin berhasil menangani penggantian hati seorang bayi berumur tujuh bulan dengan donor dari bapaknya. Sekarang bayi itu sudah berumur 5 tahun. Dia juga pernah menangani transplantasi pada bayi berumur kurang dari dua tahun dengan menggunakan donor cadaver yang di-split (dibagi). Rekor itu ditembus dr Zhu Zhijun dengan keberhasilannya atas bayi berumur lima bulan. Bayi itu kini sudah berumur empat tahun. Pada hari terakhir kami di OOTC, para jagoan transplantasi liver itu "menghadiahi" kami dengan operasi pada seorang balita berumur 3 tahun yang berat badannya hanya 9,8 kilogram.

Bocah malang ini harus segera dioperasi karena kondisinya sudah sangat buruk. Dia sudah dua minggu tak bisa menelan makanan apa pun. Perutnya pun sudah membuncit akibat ascites (penumpukan cairan di rongga perut). Padahal, untuk mengatasi itu, dokter sudah melakukan pengambilan limpa (spleenectomy) dan menyambungkan saluran empedunya langsung ke usus. Tindakan terakhir itu dikenal dengan istilah Kasai oleh para dokter.

Sayangnya, operasi yang akan menjadi all star performance itu gagal karena dokter yang memotong liver donor melakukan kesalahan. Ada satu pembuluh darah yang dipotong setengah sentimeter lebih pendek daripada yang dibutuhkan. Kata Prof Shen, itu terjadi karena dokter tidak melakukan pemotretan kedua pembuluh darah utama. Ini sebenarnya kesalahan kecil. Tetapi, jika transplantasi dipaksakan, akan berakibat fatal. Maka batallah operasi malam itu. Padahal, bayinya sudah dibius dan liver donor sudah di-split. Untung donornya cadaver.

"Tidak apa-apa. Sisa liver yang masih tiga perempat kan bisa dipakai oleh donor dewasa," kata Prof Shen. Di ruang lain, dr Deng yang sudah menangani sekitar 1.000 kasus transplantasi liver memang sedang menyiapkan seorang resipien dewasa. Untuk mengobati kekecewaan kami, malam itu Prof Shen memberikan kuliah hingga hampir tengah malam kepada tim dari Surabaya. Di akhir kuliah, berdasarkan pertanyaan-pertanyaan kami selama di center yang dia pimpin itu dan dari semangat kami mengikuti dan mempelajari setiap step transplantasi, ahli ini mengatakan bahwa tim dokter RSUD dr Soetomo Surabaya sudah sangat siap melakukan transplantasi liver sendiri.   

Namun, ketika diminta mendampingi kasus perdana kami nanti, ayatollah transplantasi liver ini menyatakan kesediaannya. Dia akan membawa serta tim andalannya. Penilaian dan dukungan itu membuat semangat kami untuk bisa segera menjadikan Surabaya pusat transplantasi liver semakin membara. Dengan cita-cita besar itu kami kembali ke tanah air.

Semangat kami semakin besar setelah mendapat arahan yang lebih detail dari jagoan transplan liver Singapura, Dr dr Prema Raj. Ahli bedah ini juga siap mem-back up tim Surabaya saat melakukan transplantasi liver dengan donor hidup pada orang dewasa, yang semoga tak lama lagi bisa dilaksanakan. Kami menemui Dr Prema di RS Mount Elizabeth, sepulang dari Beijing.

Sedikit catatan yang membanggakan tentang tim kami selama dalam perjalanan itu adalah: keberhasilan dr Philia menyelamatkan seorang perempuan tua asal Beijing yang mendapat serangan stroke ringan, saat berada di pesawat ke Singapura bersama kami. (kum)

No comments:

Post a Comment