Tuesday, February 16, 2010

Pola Penyelesaian Nasional Lokal

16 Februari 2010
Pola Penyelesaian Nasional Lokal

Rekan Karyawan PT PLN (Persero) di seluruh Indonesia,

Menyelesaikan persoalan listrik di Indonesia tidak bisa hanya dengan menggunakan kacamata nasional. Ketimpangan persoalan kita di bidang listrik sangat nyata. Diagnosa yang didasari hanya pada angka-angka nasional bukan saja tidak tepat, bahkan bisa menjerumuskan. Diagnosa seperti itu bahkan hanya akan membuat ketimpangan tersebut semakin menjurang.

Keadaan di Jawa, misalnya, sangat berbeda dengan yang di Sumatera. Juga berbeda dengan Kalimantan. Berbeda lagi dengan Sulawesi, NTB/NTT, Maluku dan Papua. Karena itu pemikiran penyelesaian masalah listrik di Indonesia, di samping pola berpikir “serba nasional” juga harus “serba lokal” sekaligus.

Maka kalau dalam dunia bisnis kita mengenal jargon yang sangat populer dalam 10 tahun terakhir, yakni “glokal” (globalisasi sekaligus lokalisasi), maka dalam menyelesaikan masalah listrik di Indonesia kita harus berpikir “naskal” (nasional-lokal).

Semula ide “glokal” diangap bertentangan dengan metamorfosis bisnis. Kalau pada awalnya semua bisnis bersifat lokal, lalu berkembang berskala nasional dan akhirnya mendunia, maka diyakini bahwa bisnis yang bersifat lokal akan kalah dengan yang bersifat nasional. Dan yang bersifat nasional pun akan hilang karena digulung oleh yang serba global.

Tapi ternyata yang global-global juga mengalami kesulitan. Serba global ternyata belum tentu effisien. Kegemukan. Tidak bisa lari. Sejak itulah ditemukan satu kiat baru: berpikirlah secara global, tapi berbuatlah secara lokal. lngat moto bank HSBC? “Local world bank”.

Maka Direksi PLN kini juga berpikir seperti itu. Sudah merupakan kenyataan bahwa di Jawa kini tidak ada lagi persoalan daya. Meski orang di Jawa masih terus ngomongin krisis listrik, tapi sebenarnya sama sekali sudah tidak ada krisis listrik di Jawa. Pasokan daya sudah menunjukkan memiliki cadangan 30 persen tahun ini. jajaran manajemen PLN yang bertugas di Jawa sudah boleh naik kelas dari persoalan “syariat” ke jenjang “tarekat”. Dua tahun lagi harus naik lebih tinggi: ke jenjang “hakekat”.

Sedang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB/NTT, Maluku dan Papua, jajaran manajemen dl wilayah ini masih harus berkutat di level “tarekat”. Di wilayah ini, belum cukup daya, sehingga belum berdaya. Jajaran manajemen di wilayah-wilayah itu masih harus mengerjakan lima hal sekaligus, sebagaimana orang Islam harus bersyariat lima kali sehari. Memikirkan ketidak cukupan daya, memikirkan lemahnya jaringan, memikirkan sulitnya distribusi, memikirkan bagaimana bisa effisien dan memikirkan “pemberontakan” rakyat yang menderita karena listrik. Alangkah repotnya!

Di Jawa, memang masih harus memikirkan daya: tapi sudah dalam tataran yang lebih “bermartabat”: bagaimana agar semua pembangkit menghasilkan listrik sesuai dengan desain kapasitas agar modal yang ditanam bisa kembali, bagaimana pemeliharaan dan menjaganya. Di Jawa, dengan cadangan 30 persen, manajemennya tinggal dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang mudah: pembangkit mana yang lebih mahal HPP-nya sehingga bisa di off kan saat beban tidak memerlukannya.

Karena itu, kita sekarang harus berpikir “naskal” (hati-hati jangan sampai hilang “s” nya!). Sejak dari perencanaan dan pembuatan RUPTL, sampai ke soal capex dan opex. Bahkan sampai ke soal pengaturan sumber daya manusia. Bahkan sampai ke soal strategi pemikirannya. Ibaratnya, kita harus ber “naskal” sejak dari hati, sampai otak dan sampai perbuatan.

Itulah sebabnya, tim perencanaan segera melakukan tour ke daerah-daerah. Langkah pertama ke Sumatera: Sumsel, Riau, Sumut. Mereka akan bertemu gubernur dan Bappeda di masing-masing daerah. Mereka akan menyerap dan merasakan denyut perubahan perekonomian di daerah itu. Dengan demikian maka ketika mereka menyusun perencanaan, maka tidak hanya data yang tersedia di meja, tapi juga hati, perasaan dan realitas di lapangan.

Ada lagi contoh ini: Di Timika akan ada proyek 10.000 MW dengan kapasitas 2 x 7 MW. Tender pertama tidak ada yang berminat karena HPS dianggap terlalu murah. Tender kedua ada penawarnya tapi USD 65 juta. Ini berarti sekitar Rp 600 miliar. Berarti setiap kwh berharga Rp 4,5 juta. Gila!

Melihat kenyataan itu beberapa Direksi langsung punya pemikiran yang “liar”‘. Mengapa dana Rp 600 miliar itu tidak dibagi dua saja? Yang Rp 300 miliar untuk membangun jaringan 150 KV sepanjang 100 kms. Lalu kita cari sumber PLTA kecil di radius 100 km dari Timika. Masih ada “alokasi” Rp 300 miliar untuk membangunnya. Dengan demikian maka sama-sama Rp 600 miliar, kita bisa mendapatkan sumber listrik yang lebih murah, tidak repot tiap minggu angkut batubara dan banyak hal baik lainnya.

Bahkan, tentu saja, dengan Rp 4,5 juta/kwh, bukankah tenaga surya juga masih lebih murah?

Itu adalah contoh pemikiran “naskal” yang luar biasa. Tidak boleh lagi, meski Timika ini masuk proyek 10.000, maka harus diterima begitu saja!

Saya yakin, semua jajaran manajemen dan staff kita di seluruh Indonesia memiliki kemampuan berpikir yang relatif sama. Yang membedakan hanyalah satu: kesempatan untuk mengaktualisasikannya. Kesempatan itulah yang harus mengemuka sekarang ini.

Dahlan Iskan
CEO PLN

No comments:

Post a Comment