Tertutup Lumpur, Kota Kaifeng Sekarang Lapis Tiga
Kisah Debu Menuju Kota Seratus Juta Yuan (1)
Tiongkok,- Debu bisa terbang ke mana-mana, ikut pergi ke mana pun
angin membawa. Debu juga bisa membawa perubahan, memberi makna di balik
penderitaan.
Bulan Mei seperti ini perabot rumah harus sering dilap. Mobil tak
perlu dicuci karena sebentar lagi juga akan berdebu. Itulah debu amat
lembut kiriman dari Gurun Gobi. Yakni dari wilayah Mongolia atau Ningxia
yang baru saya kunjungi.
Gurun Gobi, salah satu gurun terkenal di dunia setelah Sahara di
Afrika, memang sering membuat warga Beijing, Tianjin, dan sekitarnya
lebih sering bersin.
Bulan depan, ketika angin mulai berubah arah dan hujan mulai turun,
barulah kaca-kaca gedung atau tembok-tembok bangunan kelihatan lebih
bersih. Sayangnya, udara juga mulai tidak enak: panas yang kering.
Sekarang pun udara sudah kurang bersahabat. Peralihan ke musim panas
datang lebih cepat. Yang alergi debu, apalagi yang mudah terkena radang
tenggorokan, sebaiknya jangan sering keluar rumah. Angin kencang yang
tiba-tiba, bercampur debu dan udara panas, bisa melemahkan sistem
pertahanan tubuh.
Tapi, gurun pasir Ningxia tidak hanya mengirim debu lembut lewat
udara. Juga lewat darat. Pada musim hujan, debu lembut berwarna kuning
itu dibawa air masuk ke sungai. Air sungai pun berwarna kuning.
Begitulah latar belakangnya mengapa sungai tersebut bernama Huang He
(Sungai Kuning).
Air sungai ini, juga pasir kuningnya, terus mengalir sampai jauh
sekali. Ke laut antara Tiongkok dan Jepang. Laut itu kemudian juga
diberi nama Huang Hai (Laut Kuning). Tentu, lautnya sendiri masih tetap
berwarna biru, tapi di muara Huang He terlihat sekali dominasi warna
kuning lumpurnya.
Huang He merupakan sungai terpanjang kedua di Tiongkok (5.464 km)
setelah Chang Jiang. Berarti lima kali panjang Pulau Jawa. Daratan
Tiongkok memang seperti dibelah tiga sungai panjang. Huang He di utara,
Chang Jiang di tengah, dan Sungai Mutiara di Selatan.
Kalau Chang Jiang membawa kemakmuran dari hulunya sampai ke Shanghai
dan Mutiara membawa kemakmuran dari pangkalnya hingga ke Guangzhou,
Huang He lebih dikenang sebagai pembawa penderitaan. Sampai-sampai,
kisah mengenai sungai ini juga disebut sebagai ”kisah derita jutaan
manusia”.
Hulu sungai ini berada di Gunung Gun Lun di Provinsi Qing Hai. Lalu
mengalir (aneh!) ke utara ke Ningxia. Terus ke Mongolia. Dari sini baru
melengkung balik lagi ke selatan. Ke arah Provinsi Henan. Mengapa sungai
ini mampir dulu ke Ningxia dan Mongolia, benar-benar seperti hanya
ingin mengambil debu dari wilayah itu.
Begitu balik mengalir ke selatan, sungai ini seperti dengan entengnya
mengangkut 1,6 miliar ton debu setiap tahun! Dari jumlah itu, 1,2
miliar ton sampai terbawa masuk ke Laut Kuning. Sisanya tentu tertinggal
di sepanjang alur. Otomatis lama-kelamaan dasar sungai itu dangkal. Dan
makin dangkal.
Akibatnya, banjir masuk ke kanan-kiri aliran sungai yang lebih rendah
dari dasar sungai itu sendiri. Begitulah terus-menerus. Beratus tahun.
Beribu tahun. Hulu Huang He yang berada di ketinggian 4.500 meter tentu
dengan lancarnya bisa menggerojokkan debu ke arah hilir yang amat
rendah.
Dalam catatan sejarah sungai itu, banjir besar pernah terjadi pada
1194. Saat itu Kerajaan Majapahit pun belum ada. Ken Arok pun belum
lahir. Begitu besarnya banjir itu (juga begitu banyaknya pasir yang
diangkut) sampai-sampai aliran sungai itu pindah lebih ke selatan. Ini
bukan perpindahan pertama. Menurut catatan sejarah, aliran Huang He
sudah berpindah-pindah sebanyak 1.500 kali. Bahkan, muaranya pun pernah
pindah sejauh 300 km.
Semula Huang He bermuara di sela-sela pegunungan bagian selatan
Provinsi Shandong. Kini bermuara di Teluk Bohai, 300 km lebih ke utara.
Muara baru itu masih di Shandong, tapi sudah mendekati Tianjin.
Begitulah. Alam terus berubah. Jalan Darmo Surabaya pun dulunya masih
laut dan Mojokerto tidak sejauh ini dari muara. Pulau Sumatera pun dulu
agak bundar, sebelum pelan-pelan sisi selatannya tergerus gelombang dan
entah berapa kali tsunami. Muara Huang He yang pindah sejauh 300 km itu
sama artinya pindah dari Porong ke Tuban. Atau dari Palu ke Mamuju.
Bahwa Huang He dari Ningxia membelok jauh ke selatan sejauh 1.300 km,
karena wilayah tengah Tiongkok ini memang rendah. Bagian terendah
berada di Provinsi Henan, sebuah provinsi dengan penduduk sekarang 120
juta orang. Kini Henan menjadi provinsi dengan penduduk terbesar setelah
Provinsi Sichuan dibelah dua, menjadi Sichuan dan Chongqing.
Provinsi Henan-lah yang jadi ”bulan-bulanan” Huang He. Padahal, Henan
dulunya sangat makmur. Ibu kota Tiongkok lama beberapa kali berada di
provinsi ini, seperti di Kota Anyang atau Kaifeng. Shaolin Temple juga
di dekat Zhengzhou, ibu kota provinsi ini.
Tapi, karena datarannya yang rendah, ketika Huang He membawa lumpur
dari ”atas”, ke sinilah sasarannya. Sampai-sampai Kota Kaifeng (kotanya
Judge Bao dalam film seri itu) pernah terendam lumpur sehingga kota itu
terbenam dan hilang dari peta.
Sekian ratus tahun kemudian, di atas kota itu dibangun kota lagi
dengan daratan yang baru. Namun, karena masih lebih rendah daripada
dasar sungai, suatu saat tenggelam lagi. Kota Kaifeng yang sekarang
adalah kota ketiga. Artinya, di bawah Kota Kaifeng yang sekarang, kalau
digali, masih ada kota kedua. Dan kalau digali lebih dalam lagi, akan
ditemukan Kota Kaifeng yang pertama.
Untuk menanggulangi agar kejadian serupa tidak terulang, kini di sisi
kanan-kiri sungai dibangun tanggul. Karena dasar sungainya kian tinggi,
tanggulnya kian lama juga kian tinggi. Begitu tingginya tanggul itu,
sehingga di dekat Kaifeng yang sekarang, dasar sungai itu berada 21
meter di atas sawah dan permukiman penduduk.
Berbagai dam dibangun di hulu sungai. Tapi tidak sanggup melawan 1,5
miliar ton lumpur setiap tahun. Pembangunan dam terbesar dilakukan tahun
1950. Biayanya ditanggung Rusia (waktu itu bernama Uni Soviet). Tapi
karena dua negara komunis ini berseteru, bantuan itu dihentikan.
Bendungan itu tahun 1970 diteruskan sendiri oleh Tiongkok hingga selesai. Kini di bawah pemerintahan Tiongkok modern, banyak sekali rencana
untuk mengendalikan sungai ini. Juga untuk mendapatkan manfaat yang
besar. Baik bagi listrik, irigasi, maupun sumber air minum.
Nanti ada tiga sungai buatan yang amat besar dari arah selatan ke
utara. Proyek raksasa kedua setelah Tiongkok berhasil membangun
bendungan Lembah Tiga Ngarai di Sungai Chang Jiang. Proyek Huang He ini
akan memakan waktu 100 tahun.
Pada bulan-bulan seperti ini, praktis Huang He tidak mengalirkan air.
Kering. Terutama di hilirnya. Semua air sudah dibendung di hulu untuk
mendapatkan listrik dan irigasi bagi orang di hulu sungai. Provinsi
Ningxia pun bergantung pada sungai ini. Kota-kotanya, maupun
penduduknya, praktis semuanya berada di dataran rendah sepanjang 100 km
di kanan kiri sungai ini. Masjid-masjid terbanyak juga di jalur 100 km
ini (di Ningxia terdapat lebih dari 1.800 masjid).
Ningxia, yang istilah resminya sebagai ”Daerah khusus orang Hui”
dengan status setingkat provinsi, tentu tidak hanya mengirimkan pasir
lembut ke wilayah lain.
Daerah ini juga memiliki hasil kerajinan pakaian dari bulu domba yang
amat istimewa. Baik yang masih dengan kulitnya maupun hanya dari
bulunya. Pada musim dingin, pakaian ini tidak hanya jadi penghangat,
tapi juga jadi simbol kualitas. Itulah bulu domba yang diambil ketika si
domba masih guniang -remaja berumur enam bulan. Lagi baik-baiknya
bulunya. Lagi halus-halusnya bulunya. ***
No comments:
Post a Comment