Saturday, May 19, 2007

Menunggu Pesawat Pribadi Boleh Berseliweran

19 Mei 2007
Menunggu Pesawat Pribadi Boleh Berseliweran
Perjalanan di Sekitar Libur Emas Tiongkok (3)

Hindari pergi ke kawasan wisata utama Tiongkok di hari-hari libur panjang. Sebab, dengan penduduk di atas 1 miliar, bisa dipastikan tempat-tempat itu akan penuh sesak dengan turis domestik.

JANGAN ke Hangzhou di hari-hari libur panjang. Seperti di sekitar hari buruh awal Mei lalu, saya yang sudah berkali-kali ke sana kaget melihat kota turis terkemuka di Tiongkok di hari-hari seperti itu.

Padatnya bukan main. Wilayah sekitar Danau Xihu yang indah dan bersih itu penuh dengan manusia. Termasuk jalan-jalan yang bermuara di danau itu. Maklum, seminggu sejak 1 Mei lalu, Tiongkok “libur emas”. Yakni libur satu minggu untuk hari buruh.

Saya pun terjebak di kepadatan turis lokal itu. Mau mendekat ke danau saja tidak bisa. Padahal, danau yang berada di dalam kota Hangzhou itu luas sekali. Tapi di semua sisinya penuh. Apalagi yang berdekatan dengan Hotel Hyatt yang baru.

Dari tepian, kini, orang memang bisa melihat atraksi air muncrat menari yang berada di tengah danau. Saya hanya melihatnya dari kejauhan. Tidak punya nyali untuk ikut berdesakan.

Sebagai negara komunis, Tiongkok memang menganggap penting hari buruh. Namun, bahwa liburan hari buruh diadakan selama seminggu bukan karena pentingnya hari buruh. Melainkan pentingnya membuat orang lebih banyak menggunakan uangnya untuk kegairahan ekonomi negara.

Libur seperti ini baru diadakan sekitar delapan tahun terakhir. Yakni ketika Tiongkok sudah mulai maju dan rakyatnya sudah mampu berwisata. Maka, terjadilah arus uang dari kota ke desa secara besar-besaran selama seminggu itu.

Di Tiongkok, setiap tahun berlangsung tiga kali libur panjang. Yakni ketika hari buruh (awal Mei), hari kemerdekaan (1-7 Oktober), dan Tahun Baru Imlek. Kita harus tahu hari-hari itu agar rencana perjalanan jadi lancar. Pada hari libur seperti itu semua angkutan di dalam negeri Tiongkok seperti saat Lebaran di Indonesia.

Saya sendiri, dalam perjalanan kali ini, sebenarnya ingin merasakan naik kereta api jarak jauh. Sebab, sejak bulan lalu, Tiongkok membuat langkah ke-6 dalam mempercepat laju keretanya. Sejak bulan lalu, sudah ada ruas jalur 1.000 km kereta dengan kecepatan di atas 250 km/jam. Misalnya dari Shanghai ke Beijing, dari Guangzhou ke Beijing, dari Nanchang ke Shanghai, dan dari Guangzhou ke Shenzhen. Lalu sudah ada 6.000 km yang kecepatannya antara 200-250 km/jam.

Sisanya, yang 14.000 km sudah berkecepatan 150-200 km/jam. Sedang yang 22.000 km masih berkecepatan 120-150 km/jam. (Bandingkan dengan laju kecepatan rata-rata kereta kita yang di bawah 90 km/jam).

Rel kereta api di Tiongkok memang terus diperbaiki sehingga mampu dilalui kereta dengan kecepatan tinggi. Pada 2010 nanti, sudah harus ada 20 ribu kilometer jalan kereta api yang ditingkatkan untuk 250 km/jam. Di samping meningkatkan kualitas kecepatan, rel baru juga terus dibangun. Pada 2020 nanti, di Tiongkok akan terhampar 100 ribu kilometer jalan kereta api rel ganda.

Memang, biaya untuk semua itu tidak kecil. Untuk mengubah semua jalan kereta menjadi 250 km/jam diperlukan dana 2 triliun yuan (hampir Rp 250 triliun). Kini, pemerintah Tiongkok baru menganggarkan 1 triliun yuan. Sisanya masih akan dicarikan akal. Misalnya apakah dengan cara go public, menambah anggaran pemerintah, atau menarik investor.

Untuk go public dan mengundang investor memang masih ada kendala besar. Yakni status aset itu nanti bagaimana –selama ini jalan KA adalah milik negara– dan apakah manajemennya bisa dipegang swasta.

Kini, Tiongkok sudah mengambil kesimpulan akan lebih mengutamakan meningkatkan kecepatan kereta api umum daripada membangun kereta supercepat seperti Maglev di Shanghai. Rencana membangun kereta Maglev (kecepatan 340 km/jam) dari Shanghai ke Beijing sudah pasti dibatalkan. Manfaatnya untuk rakyat banyak dirasa kurang. Cukuplah Maglev membuktikan bahwa Tiongkok mampu memilikinya. Meski hanya di Shanghai. Meski hanya dari bandara baru Shanghai ke kota baru Shanghai Pudong.

Adakah kereta yang masih cepat itu akan berpengaruh pada angkutan udaranya? Mungkin ya, sedikit. Sebab jumlah orang yang bepergian kian tahun kian banyak saja. Dan lagi, harga karcis kereta juga tidak murah di Tiongkok. Dari Shanghai ke Beijing sekitar Rp 500 ribu. Lalu lintas udara masih terus kian padat.

Melihat perkembangan lalu-lintas udara di Tiongkok, memang bisa dibayangkan bagaimana padatnya dalam lima tahun ke depan. Karena itu pemerintah kini sudah siap untuk mengubah kebijaksanaan lalu-lintas udara. Perubahan itu akan berlaku mulai 2010 mendatang. Dan sangat mendasar.

Misalnya saja, soal aturan terbang di bawah 3.000 meter. Selama ini tidak boleh ada pesawat yang terbang di bawah 3.000 meter. Ini karena udara seluruh Tiongkok masih dikuasai angkatan udara. Kalau ada pesawat yang terbang dengan ketinggian itu bisa dianggap membahayakan keamanan nasional.

Namun, kemajuan dan modernisasi Tiongkok tampaknya mau tidak mau akan mengizinkan kepemilikan pesawat pribadi. Tentu saja akan ada aturan ketinggian terbang yang umumnya lebih rendah dari pesawat komersial. Misalnya, karena pesawatnya memang lebih kecil.

Sekarang, sebenarnya sudah terlalu banyak orang Tiongkok yang mampu beli pesawat pribadi. Tapi, karena peraturan belum membolehkan sehingga belum ada orang yang punya pesawat pribadi.

Pada tahun 2010 nanti tentu akan banyak pesawat pribadi yang berseliweran. Ini juga bisa dilihat dari betapa mobil seperti Rolls-Royce atau Ferrari amat laku di Tiongkok. Kota-kota menengah seperti Qingdao, Hangzhou, dan Wuhan, misalnya, sudah punya dealer Ferrari. Apalagi kota seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou (pusat Ferrari Asia Pasifik ada di Shanghai).

Peraturan mengenai jarak antara pesawat komersial satu dengan yang lain juga akan diubah. Selama ini, jarak antar pesawat itu tidak boleh kurang dari sepuluh menit. Ini untuk menjaga keamanan penerbangan sendiri. Nanti jarak itu akan boleh lebih singkat lagi.

Demikian juga ketinggian satu pesawat dengan pesawat yang lain akan diubah. Selama ini, kalau ada pesawat yang terbang di ketinggian 19 ribu kaki, misalnya, pesawat lain yang terbang di atasnya minimal harus 25 ribu kaki. Selisihnya bisa 6.000 kaki. Tahun 2010 nanti cukup kalau selisihnya 3.000 kaki saja.

Semua itu tentu karena lalu lintas penerbangan di Tiongkok semakin ramai. Kalau jarak-jarak tersebut tidak diubah, tentu akan banyak pesawat yang terlambat terbang (menunggu giliran). Namun perubahan itu nanti juga tidak akan melebihi aturan internasional.

Tiongkok, sekarang, termasuk nomor 4 negara yang paling aman penerbangannya. Artinya, jumlah kecelakaannya amat sedikit. Padahal, 10 tahun yang lalu masih berada di urutan papan bawah.

Tiga tahun lalu, sebenarnya, akan ada acara penting dalam dunia penerbangan di Tiongkok. Hari itu sudah dipersiapkan “selamatan” karena tidak ada satu pun kecelakaan selama lima tahun. Namun ketika persiapan perayaan mendekati akhir, dan “lima tahun tanpa kecelakaan” tinggal menunggu tiga hari lagi, tiba-tiba ada kecelakaan di wilayah utara Tiongkok. Terpaksa “selamatan” dibatalkan.

Kini sudah hampir lima tahun tidak ada kecelakaan pesawat di sana. Saya tidak tahu apakah juga sedang dipersiapkan acara yang sama seperti yang batal tempo hari. (bersambung)

No comments:

Post a Comment