Pandai Mengincar Uang Gratis Rp 45 Triliun
Perjalanan di Sekitar Libur Emas Tiongkok (2)
Pergi ke gurun sebaiknya jangan punya target waktu yang ketat. Meski
sudah kaya Tiongkok masih kerja keras. Kita debat yang makin keras.
UNTUK negara-negara miskin, tahun lalu, dunia menyediakan dana subsidi Rp 4,5 triliun khusus bagi yang mau membuat program pengurangan emisi. Itu satu alasan mengapa saya ingin sekali ke wilayah barat Tiongkok. Saya ingin sekali melihat ”perkebunan” pembangkit listrik tenaga angin.
UNTUK negara-negara miskin, tahun lalu, dunia menyediakan dana subsidi Rp 4,5 triliun khusus bagi yang mau membuat program pengurangan emisi. Itu satu alasan mengapa saya ingin sekali ke wilayah barat Tiongkok. Saya ingin sekali melihat ”perkebunan” pembangkit listrik tenaga angin.
Saya setuju dengan istilah ”perkebunan” karena pembangkit listrik
tenaga angin itu berupa ”pohon-pohon” besar terbuat dari baja, yang di
atasnya terdapat ”daun-daun” berupa kipas angin. Jumlah ”pohon” itu
begitu banyak, sehingga seperti hutan saja.
Tiongkok memang sedang menggalakkan pembukaan ”perkebunan” jenis ini. Khususnya di wilayah barat seperti Ningxia dan Xinjiang. Atau di Provinsi Mongolia Dalam. Maka, kelak, kalau ”perkebunan” itu sudah menghutan, wilayah barat tidak hanya bisa menerbangkan debu gurun sampai ke Beijing dan Tianjin (di musim angin barat, terasa benar betapa Beijing dan Tianjin amat berdebu). Kelak, wilayah barat juga bisa menyumbang tenaga listrik.
Bermobil di tengah gurun yang berbukit-bukit terasa aneh. Suatu saat,
kita sudah bisa melihat tiang-tiang pembangkit listrik itu dari jauh.
Tapi kita tidak tahu bagaimana jalan menuju ke sana.
Memang ada beberapa jalur yang seperti sering dilalui mobil. Tapi
apakah jalur itu benar atau tidak, kita tidak bisa memastikan. Apalagi
kalau tiba-tiba ada simpang tiga. Kita benar-benar pusing mana arah yang
harus dilalui.
Mau bertanya, kepada siapa? Rumput pun tidak bergoyang di situ karena
yang ada adalah rumput-rumput bonsai. Yang sudah beberapa kali ke situ
pun, seperti teman saya itu, juga penuh dengan keraguan.
Maka, pergi ke gurun, sebaiknya memang jangan punya target waktu yang
ketat. Kapan harus tiba dan jam berapa harus kembali. Sambil menunggu
ada mobil yang lewat, entah berapa jam lagi, kita bisa main-main di
gurun. Mengamati uniknya rumput dan tumbuhan gurun.
Begitu kecilnya tanaman itu, sehingga mengamatinya harus sambil
jongkok. Tapi, hati-hati kalau mau jongkok. Bisa-bisa tiba-tiba Anda
mengaduh. Pantat tercucuk duri yang tidak kelihatan. Tajam dan sakit
sekali.
Ketika mengamati tanaman yang tingginya tidak lebih dari 10 cm
itulah, mata akan semakin asyik. Ternyata, banyak sekali jenis binatang
kecil yang hilir mudik di sekitar pokok pohon itu. Yakni, jenis binatang
merayap yang berumah di dalam pasir.
Rumah-rumah mereka semuanya di bawah pokok tanaman itu. Binatang mini
seperti kalajengking kecil (scorpion), berbagai jenis semut, dan kepik,
semua ada. Saya lantas menyadari sesuatu. Oh, dari gurun seperti inilah
sumber terbanyak obat-obat tradisional Tiongkok.
Teman saya pun bercerita, mengapa daging kambing gurun tidak berbau
penguk. Ini karena makanan kambing itu sangat khas: Rumput dan tanaman
gurun. Kandungan tanaman itu sendiri amat berbeda dengan kandungan
tanaman di daerah basah.
Berkali-kali kami menemukan simpang tiga di tengah gurun. Itu
artinya, berkali-kali juga harus bermain-main dengan tanaman gurun,
sambil menunggu ada mobil lewat.
Suatu saat, saya melihat di dekat situ ada gundukan seperti batu
setinggi sepuluh meteran. Saya tanya, gundukan apa itu? Ternyata, teman
saya lupa menjelaskan bahwa itulah sisa-sisa tembok besar Tiongkok.
Zaman dulu, tembok besar dibangun sampai ke Ningxia, bahkan sampai ke
Gansu. Tapi, di wilayah-wilayah gurun seperti ini, temboknya sudah
hancur. Tinggal gundukan-gundukan. Itu pun belum tentu setiap sepuluh
kilometer ada tanda-tanda sisa bangunan.
Tembok sepanjang 6.000 km tersebut, di bagian Ningxia, kalah dengan
angin. Begitu kerasnya angin gurun, apa pun digerus. Termasuk tembok
besar. Termasuk mampu menerbangkan debu sampai ke Beijing dan
seterusnya.
Itulah sebabnya, ”perkebunan” listrik tenaga angin dibangun di gurun
pasir. Tapi, kalau jumlahnya tidak banyak, tidak akan ekonomis. Sebab,
dari situ harus dibangun jaringan untuk mengalirkan listrik itu ke gardu
induk. Membangun jaringan bisa Rp 20 miliar per kilometer. Apalagi
harus ratusan kilometer.
”Perkebunan” yang saya lihat ini umumnya menggunakan teknologi
Spanyol. Masih kelas Eropa, tapi tidak semahal Jerman. Tiap-tiap ”pohon”
menghasilkan listrik 1,5 MW. Sebagai bandingan, seluruh Pulau Madura
kira-kira sekarang hanya memerlukan listrik 10 MW. Jadi, sudah cukup
kalau menanam tujuh atau delapan ”pohon” seperti itu.
Dalam ”perkebunan”, jarak satu ”pohon” ke ”pohon” lain 0,4 km. Ini
untuk keamanan dan produktivitas. Maklum, setiap ”pohon” tingginya 55
meter. Ini karena daun kipasnya sepanjang 23 meter. Garis tengah pokok
pohon itu saja 4 meter. ”Pohon” itu harus besar, karena generator yang
ditumpangkan di atas beratnya mencapai 9,5 ton.
”Pohon” itu terbuat dari baja pelat yang di-roll. Jadi, di dalamnya
kosong. Ruang hampa itu dimanfaatkan untuk menaruh panel-panel, kontrol,
dan tangga. Di sebelah masing-masing ”pohon” dibangun stasiun kecil
yang mengubah tegangan dari pembangkit angin (0,69 kv) ke jaringan (10
kv).
Keberhasilan Tiongkok membangun listrik tenaga angin itu bisa dilihat
dari disetujuinya proyek 24,6 MW. Teknologi yang digunakan dari mana
saja yang ada di dunia. Dari mana biayanya? Bukankah membangun listrik
tenaga angin seperti ini tiga kali lipat lebih mahal daripada tenaga
batubara? Inilah Tiongkok.
Mereka tahu bahwa dunia sedang menyediakan dana besar-besaran bagi
siapa saja yang mau membangun tenaga listrik tanpa membuang emisi yang
bisa merusak ozon. Tiongkok pintar memanfaatkan dana gratis itu.
Tahun lalu, dunia menyediakan dana sekitar Rp 45 triliun, gratis.
Tanpa bunga dan tanpa harus mengembalikan. Dari jumlah itu, Tiongkok
berhasil menggunakan Rp 30 triliun. Sekitar 60 persen sendiri.
Negara-negara miskin lainnya juga tahu adanya dana itu. Tapi tidak
banyak negara (termasuk kita) yang pintar memanfaatkan dana gratis yang
amat besar itu. Maka, dunia kini juga heran. Kok bantuan dana gratis ini
sebagian besar jatuh ke Tiongkok, yang mestinya, sekarang, sudah tidak
bisa disebut miskin lagi. Terbukti, cadangan devisanya saja sudah USD
1,3 triliun.
Persoalannya, Tiongkok, meski sudah kaya, masih mau bekerja keras
untuk meminta dana itu. Intinya, ya siapa yang mau kerja lebih keras
itu. Kita juga ”keras”, tapi bukan dalam bekerja, melainkan dalam
berdebat! (bersambung)
No comments:
Post a Comment