Friday, May 18, 2007

Pandai Mengincar Uang Gratis Rp 45 Triliun

18 Mei 2007
Pandai Mengincar Uang Gratis Rp 45 Triliun
Perjalanan di Sekitar Libur Emas Tiongkok (2)

Pergi ke gurun sebaiknya jangan punya target waktu yang ketat. Meski sudah kaya Tiongkok masih kerja keras. Kita debat yang makin keras.

UNTUK negara-negara miskin, tahun lalu, dunia menyediakan dana subsidi Rp 4,5 triliun khusus bagi yang mau membuat program pengurangan emisi. Itu satu alasan mengapa saya ingin sekali ke wilayah barat Tiongkok. Saya ingin sekali melihat ”perkebunan” pembangkit listrik tenaga angin.

Saya setuju dengan istilah ”perkebunan” karena pembangkit listrik tenaga angin itu berupa ”pohon-pohon” besar terbuat dari baja, yang di atasnya terdapat ”daun-daun” berupa kipas angin. Jumlah ”pohon” itu begitu banyak, sehingga seperti hutan saja.

Tiongkok memang sedang menggalakkan pembukaan ”perkebunan” jenis ini. Khususnya di wilayah barat seperti Ningxia dan Xinjiang. Atau di Provinsi Mongolia Dalam. Maka, kelak, kalau ”perkebunan” itu sudah menghutan, wilayah barat tidak hanya bisa menerbangkan debu gurun sampai ke Beijing dan Tianjin (di musim angin barat, terasa benar betapa Beijing dan Tianjin amat berdebu). Kelak, wilayah barat juga bisa menyumbang tenaga listrik.

Bermobil di tengah gurun yang berbukit-bukit terasa aneh. Suatu saat, kita sudah bisa melihat tiang-tiang pembangkit listrik itu dari jauh. Tapi kita tidak tahu bagaimana jalan menuju ke sana.

Memang ada beberapa jalur yang seperti sering dilalui mobil. Tapi apakah jalur itu benar atau tidak, kita tidak bisa memastikan. Apalagi kalau tiba-tiba ada simpang tiga. Kita benar-benar pusing mana arah yang harus dilalui.

Mau bertanya, kepada siapa? Rumput pun tidak bergoyang di situ karena yang ada adalah rumput-rumput bonsai. Yang sudah beberapa kali ke situ pun, seperti teman saya itu, juga penuh dengan keraguan.

Maka, pergi ke gurun, sebaiknya memang jangan punya target waktu yang ketat. Kapan harus tiba dan jam berapa harus kembali. Sambil menunggu ada mobil yang lewat, entah berapa jam lagi, kita bisa main-main di gurun. Mengamati uniknya rumput dan tumbuhan gurun.

Begitu kecilnya tanaman itu, sehingga mengamatinya harus sambil jongkok. Tapi, hati-hati kalau mau jongkok. Bisa-bisa tiba-tiba Anda mengaduh. Pantat tercucuk duri yang tidak kelihatan. Tajam dan sakit sekali.

Ketika mengamati tanaman yang tingginya tidak lebih dari 10 cm itulah, mata akan semakin asyik. Ternyata, banyak sekali jenis binatang kecil yang hilir mudik di sekitar pokok pohon itu. Yakni, jenis binatang merayap yang berumah di dalam pasir.

Rumah-rumah mereka semuanya di bawah pokok tanaman itu. Binatang mini seperti kalajengking kecil (scorpion), berbagai jenis semut, dan kepik, semua ada. Saya lantas menyadari sesuatu. Oh, dari gurun seperti inilah sumber terbanyak obat-obat tradisional Tiongkok.

Teman saya pun bercerita, mengapa daging kambing gurun tidak berbau penguk. Ini karena makanan kambing itu sangat khas: Rumput dan tanaman gurun. Kandungan tanaman itu sendiri amat berbeda dengan kandungan tanaman di daerah basah.

Berkali-kali kami menemukan simpang tiga di tengah gurun. Itu artinya, berkali-kali juga harus bermain-main dengan tanaman gurun, sambil menunggu ada mobil lewat.

Suatu saat, saya melihat di dekat situ ada gundukan seperti batu setinggi sepuluh meteran. Saya tanya, gundukan apa itu? Ternyata, teman saya lupa menjelaskan bahwa itulah sisa-sisa tembok besar Tiongkok. Zaman dulu, tembok besar dibangun sampai ke Ningxia, bahkan sampai ke Gansu. Tapi, di wilayah-wilayah gurun seperti ini, temboknya sudah hancur. Tinggal gundukan-gundukan. Itu pun belum tentu setiap sepuluh kilometer ada tanda-tanda sisa bangunan.

Tembok sepanjang 6.000 km tersebut, di bagian Ningxia, kalah dengan angin. Begitu kerasnya angin gurun, apa pun digerus. Termasuk tembok besar. Termasuk mampu menerbangkan debu sampai ke Beijing dan seterusnya.

Itulah sebabnya, ”perkebunan” listrik tenaga angin dibangun di gurun pasir. Tapi, kalau jumlahnya tidak banyak, tidak akan ekonomis. Sebab, dari situ harus dibangun jaringan untuk mengalirkan listrik itu ke gardu induk. Membangun jaringan bisa Rp 20 miliar per kilometer. Apalagi harus ratusan kilometer.

”Perkebunan” yang saya lihat ini umumnya menggunakan teknologi Spanyol. Masih kelas Eropa, tapi tidak semahal Jerman. Tiap-tiap ”pohon” menghasilkan listrik 1,5 MW. Sebagai bandingan, seluruh Pulau Madura kira-kira sekarang hanya memerlukan listrik 10 MW. Jadi, sudah cukup kalau menanam tujuh atau delapan ”pohon” seperti itu.

Dalam ”perkebunan”, jarak satu ”pohon” ke ”pohon” lain 0,4 km. Ini untuk keamanan dan produktivitas. Maklum, setiap ”pohon” tingginya 55 meter. Ini karena daun kipasnya sepanjang 23 meter. Garis tengah pokok pohon itu saja 4 meter. ”Pohon” itu harus besar, karena generator yang ditumpangkan di atas beratnya mencapai 9,5 ton.

”Pohon” itu terbuat dari baja pelat yang di-roll. Jadi, di dalamnya kosong. Ruang hampa itu dimanfaatkan untuk menaruh panel-panel, kontrol, dan tangga. Di sebelah masing-masing ”pohon” dibangun stasiun kecil yang mengubah tegangan dari pembangkit angin (0,69 kv) ke jaringan (10 kv).

Keberhasilan Tiongkok membangun listrik tenaga angin itu bisa dilihat dari disetujuinya proyek 24,6 MW. Teknologi yang digunakan dari mana saja yang ada di dunia. Dari mana biayanya? Bukankah membangun listrik tenaga angin seperti ini tiga kali lipat lebih mahal daripada tenaga batubara? Inilah Tiongkok.

Mereka tahu bahwa dunia sedang menyediakan dana besar-besaran bagi siapa saja yang mau membangun tenaga listrik tanpa membuang emisi yang bisa merusak ozon. Tiongkok pintar memanfaatkan dana gratis itu.

Tahun lalu, dunia menyediakan dana sekitar Rp 45 triliun, gratis. Tanpa bunga dan tanpa harus mengembalikan. Dari jumlah itu, Tiongkok berhasil menggunakan Rp 30 triliun. Sekitar 60 persen sendiri.

Negara-negara miskin lainnya juga tahu adanya dana itu. Tapi tidak banyak negara (termasuk kita) yang pintar memanfaatkan dana gratis yang amat besar itu. Maka, dunia kini juga heran. Kok bantuan dana gratis ini sebagian besar jatuh ke Tiongkok, yang mestinya, sekarang, sudah tidak bisa disebut miskin lagi. Terbukti, cadangan devisanya saja sudah USD 1,3 triliun.

Persoalannya, Tiongkok, meski sudah kaya, masih mau bekerja keras untuk meminta dana itu. Intinya, ya siapa yang mau kerja lebih keras itu. Kita juga ”keras”, tapi bukan dalam bekerja, melainkan dalam berdebat! (bersambung)

No comments:

Post a Comment