Dulu Dikenal karena Nama, Kini Terkenal karena Kaya
Kisah Debu Menuju Kota Seratus Juta Yuan (2-Habis)
Tiongkok,- Bukan hanya debu yang mengembara dari Ningxia.
Orang-orangnya juga “mengalir” ke mana-mana. Meski jumlah total orang
Hui hanya sembilan juta, komunitasnya ada di kota mana pun di Tiongkok.
Beda dengan suku minoritas Uygur yang juga Islam, suku Hui sulit dibedakan dengan suku Han yang menjadi mayoritas di Tiongkok. Kalau Hui mayoritas tinggal di Ningxia, Uygur tinggal di Xinjiang, sebelah baratnya.
Beda dengan suku minoritas Uygur yang juga Islam, suku Hui sulit dibedakan dengan suku Han yang menjadi mayoritas di Tiongkok. Kalau Hui mayoritas tinggal di Ningxia, Uygur tinggal di Xinjiang, sebelah baratnya.
Wajah orang Hui, sosok badannya, dan bicaranya tak ubahnya orang Han.
Apalagi, kalau mereka sedang tidak mengenakan identitas Hui yang khas
itu: Topi putih di ubun-ubun.
Suku Hui merupakan pengembara yang tangguh. Di Tiongkok, suku ini
dikenal sebagai pedagang dan hidupnya hanya untuk bisnis. Karena itu, di
kota mana pun, orang Hui dikenal lebih berada dibanding rata-rata
penduduk setempat.
Mereka juga hidup mengelompok sesama orang Hui yang Islam. Begitu
jaringan usaha mereka berkembang, lalu datang yang lain-lain sehingga
jumlah mereka meningkat. Setelah itu, otomatis mereka membangun masjid.
Karena itu, di mana pun ada masjid, di situlah kelompok orang Hui
bermukim.
Dulu memang ada kesulitan bagaimana mengakui orang Hui ini dalam
sistem politik negara. Apakah mereka akan diakui sebagai pemeluk Islam
(yang tidak identik dengan suku Hui), atau akan diakui sebagai suku Hui
(yang tidak identik dengan Islam). Akhirnya, pada 1979, seiring dengan
berubahnya sistem di Tiongkok, Hui diakui sebagai suku minoritas.
Bagaimana orang Hui secara ekonomi hidup lebih baik dibanding suku
mayoritas, dicatat dalam sebuah penelitian The Waning of The Communist
State. Menarik sekali.
Contohnya di Provinsi Fujian. Tepatnya di pinggiran Kota Quanzhou.
Kota ini berada dua jam perjalanan mobil dari Kota Xiamen. Ke arah
Fuzhou, ibu kota Provinsi Fujian.
Ini menarik karena Fujian adalah provinsi di pantai timur,
berseberangan dengan Taiwan. Sedangkan Ningxia, tempat asal suku Hui,
tergolong provinsi paling barat.
Mengapa orang Hui sampai ke Kota Quanzhou ada latar belakangnya yang
khusus. Kota ini amat vital di zaman seribu tahun lalu. Yakni, sebagai
salah satu pelabuhan terbesar di dunia. Khususnya di zaman perdagangan
jalur sutera.
Lalu, 200-300 tahun lalu menjadi miskin dan kian miskin. Sejak inilah
banyak penduduk (orang Hui maupun Han) dari kawasan Fujian yang
berimigrasi ke selatan. Termasuk ke wilayah yang kelak bernama Indonesia
(waktu itu tentu belum ada Indonesia). Salah satunya kini menjadi
pemilik pabrik kopi terbesar di Indonesia.
Pada 1979, kemiskinan di Quanzhou mendapat jalan keluar. Ekonomi
Tiongkok dibuka oleh Deng Xiaping. Perorangan mulai boleh memiliki usaha
sendiri. Industri pun berkembang. Terutama sepatu.
Quanzhou-lah kota pertama di Tiongkok yang mengekspor sepatu. Tahun
lalu saya ke Quanzhou melihat industri mesin press, siapa tahu cocok
untuk modernisasi pabrik genting Perusahaan Daerah Jatim di
Karangpilang.
Di Quanzhou ini ada satu kampung lama disebut Chengdai. Sebagaimana
wilayah Tiongkok yang lain, kampung ini amat luohou (miskin dan
terbelakang). Dihuni oleh 16 ribu orang yang semuanya bernama depan
“Ding”. Gara-gara nama yang sama ini, kampung tersebut lantas lebih
dikenal dengan sebutan barunya: Wan Ren Ding. Artinya: “Kampung 10 Ribu
Ding”.
Pekerjaan “Wan Ren Ding” umumnya petani atau nelayan. Maklum, dekat
laut. Tapi, begitu pada 1979 negara memperbolehkan perorangan punya
usaha, di kampung ini mulailah muncul pabrik kecil dengan buruh sepuluh
orang. Lalu hampir tiap bulan muncul pabrik sejenis. Bikin sandal
plastik warna-warni. Lalu ada pabrik alas sepatu. Pabrik ikat sepatu.
Pabrik penjahitan sepatu. Lalu muncullah pabrik sepatu. Kian lama kian
banyak dan kian besar. Dalam waktu sepuluh tahun, sudah ada 60 pabrik di
kampung yang 92 persen orang Hui ini.
Maka di akhir 1980-an, sebutan kampung ini berubah. Tidak lagi “Wan
Ren Ding”, tapi “Wan Yuan Hu” (kampung yang tiap orangnya memiliki
penghasilan 10 ribu yuan). Penghasilan segitu, bukan main menggiurkannya
saat itu. Apalagi di tengah lautan masyarakat yang masih amat miskin.
Kemajuan itu kian tahun kian pesat. Ekonomi Kota Chengdai tak
terbendung lagi. Pabrik apa pun bermunculan. Hasil penelitian
menyebutkan, meski orang Hui hanya sepertujuh penduduk Chengdai, mereka
menguasai seperlima ekonominya. Rumah-rumah mereka bertingkat semua.
Lalu muncul bangunan masjid yang bagus.
Pertengahan 1980-an, Kota Chengdai sendiri (bukan hanya kampung “Wan
Ren Ding” yang ada di pinggiran Kota Chengdai), mendapat penghargaan
sebagai kota pertama di Provinsi Fujian yang mencapai pendapatan 100
juta yuan. Maka kota ini pun mendapat julukan baru: Yi Yuan Zhen (kota
seratus juta yuan).
Julukan-julukan dan penghargaan-penghargaan seperti ini yang membuat
situasi bersaing antarkota menjadi meriah. Akhirnya bukan hanya kampung
“Wan Ren Ding” atau kota “Yi Yuan Zhen” yang maju, tapi seluruh
Kabupaten Quanzhou juga maju. Baik yang minoritas Hui maupun yang
mayoritas Han. Rata-rata semua makmur. Kabupaten ini sekarang punya
lapangan terbang internasional sendiri, meski hanya 1,5 jam bermobil
dari bandara internasional Xiamen dan dua jam bermobil dari bandara
internasional Fuzhou.
Keberadaan suku Hui dan peran ekonominya memang banyak jadi bahan
penelitian. Karena itu, sudah agak lama memang saya ingin ke Ningxia
yang disebut sebagai “provinsi khusus suku Hui”. Baru awal bulan ini
bisa ke sana. Itu pun karena ada daya tarik lain: Melihat perkebunan
listrik tenaga angin di gurun pasirnya.
Kita di Indonesia, rupanya tidak banyak mengenal keberadaan suku ini.
Mongolia sangat kita kenal. Ini karena pernah mengirimkan utusan ke
kerajaan di Jawa. Kisah yang amat terkenal karena telinga utusan itu
dipotong dan disuruh balik ke Mongol. Ketika tentara Mongol kembali ke
Jawa untuk membalas dendam, eh, kerajaan yang memotong telinga tadi
sebenarnya sudah tidak ada. Tentara itu pun dibelokkan untuk membantu
Raden Wijaya menyerang Kadiri. Setelah membantu, tentara Mongol ini
justru ditumpas.
Jawa, mungkin, daerah terjauh yang pernah didatangi tentara Mongol.
Sampai-sampai bubarnya sebuah kerajaan pun tidak mereka dengar. Maklum,
belum ada handphone.
Begitu jauhnya Jawa di mata mereka, sehingga sampai sekarang ada satu
kata “Jawa” dalam slang orang utara di Tiongkok. Kalau mereka tidak
berhasil mengingat suatu kejadian karena kejadian itu sudah amat lama,
mereka akan mengatakan, “Saya sudah lupa. Lupa saya sudah sangat jawa”
(wo wang le hen zhua wa).
Kecuali minoritas Mongolia, kita juga masih mengenal minoritas Uygur
dari Xinjiang. Ini karena promosi Xinjiang di negara-negara berpenduduk
Islam lebih gencar. Tapi, meski Hui juga Islam, kita tidak begitu
mengenal mereka. Kecuali, barangkali, satu hal: Laksamana Cheng He (di
Indonesia mungkin lebih dikenal sebagai Cheng Hoo). Itu pun kalau Anda
tahu bahwa Cheng He adalah orang Hui. (habis)
No comments:
Post a Comment