Sunday, May 27, 2007

Dulu Dikenal karena Nama, Kini Terkenal karena Kaya

27 Mei 2007
Dulu Dikenal karena Nama, Kini Terkenal karena Kaya
Kisah Debu Menuju Kota Seratus Juta Yuan (2-Habis)

Tiongkok,- Bukan hanya debu yang mengembara dari Ningxia. Orang-orangnya juga “mengalir” ke mana-mana. Meski jumlah total orang Hui hanya sembilan juta, komunitasnya ada di kota mana pun di Tiongkok.

Beda dengan suku minoritas Uygur yang juga Islam, suku Hui sulit dibedakan dengan suku Han yang menjadi mayoritas di Tiongkok. Kalau Hui mayoritas tinggal di Ningxia, Uygur tinggal di Xinjiang, sebelah baratnya.

Wajah orang Hui, sosok badannya, dan bicaranya tak ubahnya orang Han. Apalagi, kalau mereka sedang tidak mengenakan identitas Hui yang khas itu: Topi putih di ubun-ubun.

Suku Hui merupakan pengembara yang tangguh. Di Tiongkok, suku ini dikenal sebagai pedagang dan hidupnya hanya untuk bisnis. Karena itu, di kota mana pun, orang Hui dikenal lebih berada dibanding rata-rata penduduk setempat.

Mereka juga hidup mengelompok sesama orang Hui yang Islam. Begitu jaringan usaha mereka berkembang, lalu datang yang lain-lain sehingga jumlah mereka meningkat. Setelah itu, otomatis mereka membangun masjid. Karena itu, di mana pun ada masjid, di situlah kelompok orang Hui bermukim.

Dulu memang ada kesulitan bagaimana mengakui orang Hui ini dalam sistem politik negara. Apakah mereka akan diakui sebagai pemeluk Islam (yang tidak identik dengan suku Hui), atau akan diakui sebagai suku Hui (yang tidak identik dengan Islam). Akhirnya, pada 1979, seiring dengan berubahnya sistem di Tiongkok, Hui diakui sebagai suku minoritas.

Bagaimana orang Hui secara ekonomi hidup lebih baik dibanding suku mayoritas, dicatat dalam sebuah penelitian The Waning of The Communist State. Menarik sekali.

Contohnya di Provinsi Fujian. Tepatnya di pinggiran Kota Quanzhou. Kota ini berada dua jam perjalanan mobil dari Kota Xiamen. Ke arah Fuzhou, ibu kota Provinsi Fujian.

Ini menarik karena Fujian adalah provinsi di pantai timur, berseberangan dengan Taiwan. Sedangkan Ningxia, tempat asal suku Hui, tergolong provinsi paling barat.

Mengapa orang Hui sampai ke Kota Quanzhou ada latar belakangnya yang khusus. Kota ini amat vital di zaman seribu tahun lalu. Yakni, sebagai salah satu pelabuhan terbesar di dunia. Khususnya di zaman perdagangan jalur sutera.

Lalu, 200-300 tahun lalu menjadi miskin dan kian miskin. Sejak inilah banyak penduduk (orang Hui maupun Han) dari kawasan Fujian yang berimigrasi ke selatan. Termasuk ke wilayah yang kelak bernama Indonesia (waktu itu tentu belum ada Indonesia). Salah satunya kini menjadi pemilik pabrik kopi terbesar di Indonesia.

Pada 1979, kemiskinan di Quanzhou mendapat jalan keluar. Ekonomi Tiongkok dibuka oleh Deng Xiaping. Perorangan mulai boleh memiliki usaha sendiri. Industri pun berkembang. Terutama sepatu.
Quanzhou-lah kota pertama di Tiongkok yang mengekspor sepatu. Tahun lalu saya ke Quanzhou melihat industri mesin press, siapa tahu cocok untuk modernisasi pabrik genting Perusahaan Daerah Jatim di Karangpilang.

Di Quanzhou ini ada satu kampung lama disebut Chengdai. Sebagaimana wilayah Tiongkok yang lain, kampung ini amat luohou (miskin dan terbelakang). Dihuni oleh 16 ribu orang yang semuanya bernama depan “Ding”. Gara-gara nama yang sama ini, kampung tersebut lantas lebih dikenal dengan sebutan barunya: Wan Ren Ding. Artinya: “Kampung 10 Ribu Ding”.

Pekerjaan “Wan Ren Ding” umumnya petani atau nelayan. Maklum, dekat laut. Tapi, begitu pada 1979 negara memperbolehkan perorangan punya usaha, di kampung ini mulailah muncul pabrik kecil dengan buruh sepuluh orang. Lalu hampir tiap bulan muncul pabrik sejenis. Bikin sandal plastik warna-warni. Lalu ada pabrik alas sepatu. Pabrik ikat sepatu. Pabrik penjahitan sepatu. Lalu muncullah pabrik sepatu. Kian lama kian banyak dan kian besar. Dalam waktu sepuluh tahun, sudah ada 60 pabrik di kampung yang 92 persen orang Hui ini.

Maka di akhir 1980-an, sebutan kampung ini berubah. Tidak lagi “Wan Ren Ding”, tapi “Wan Yuan Hu” (kampung yang tiap orangnya memiliki penghasilan 10 ribu yuan). Penghasilan segitu, bukan main menggiurkannya saat itu. Apalagi di tengah lautan masyarakat yang masih amat miskin.

Kemajuan itu kian tahun kian pesat. Ekonomi Kota Chengdai tak terbendung lagi. Pabrik apa pun bermunculan. Hasil penelitian menyebutkan, meski orang Hui hanya sepertujuh penduduk Chengdai, mereka menguasai seperlima ekonominya. Rumah-rumah mereka bertingkat semua. Lalu muncul bangunan masjid yang bagus.

Pertengahan 1980-an, Kota Chengdai sendiri (bukan hanya kampung “Wan Ren Ding” yang ada di pinggiran Kota Chengdai), mendapat penghargaan sebagai kota pertama di Provinsi Fujian yang mencapai pendapatan 100 juta yuan. Maka kota ini pun mendapat julukan baru: Yi Yuan Zhen (kota seratus juta yuan).

Julukan-julukan dan penghargaan-penghargaan seperti ini yang membuat situasi bersaing antarkota menjadi meriah. Akhirnya bukan hanya kampung “Wan Ren Ding” atau kota “Yi Yuan Zhen” yang maju, tapi seluruh Kabupaten Quanzhou juga maju. Baik yang minoritas Hui maupun yang mayoritas Han. Rata-rata semua makmur. Kabupaten ini sekarang punya lapangan terbang internasional sendiri, meski hanya 1,5 jam bermobil dari bandara internasional Xiamen dan dua jam bermobil dari bandara internasional Fuzhou.

Keberadaan suku Hui dan peran ekonominya memang banyak jadi bahan penelitian. Karena itu, sudah agak lama memang saya ingin ke Ningxia yang disebut sebagai “provinsi khusus suku Hui”. Baru awal bulan ini bisa ke sana. Itu pun karena ada daya tarik lain: Melihat perkebunan listrik tenaga angin di gurun pasirnya.

Kita di Indonesia, rupanya tidak banyak mengenal keberadaan suku ini. Mongolia sangat kita kenal. Ini karena pernah mengirimkan utusan ke kerajaan di Jawa. Kisah yang amat terkenal karena telinga utusan itu dipotong dan disuruh balik ke Mongol. Ketika tentara Mongol kembali ke Jawa untuk membalas dendam, eh, kerajaan yang memotong telinga tadi sebenarnya sudah tidak ada. Tentara itu pun dibelokkan untuk membantu Raden Wijaya menyerang Kadiri. Setelah membantu, tentara Mongol ini justru ditumpas.

Jawa, mungkin, daerah terjauh yang pernah didatangi tentara Mongol. Sampai-sampai bubarnya sebuah kerajaan pun tidak mereka dengar. Maklum, belum ada handphone.

Begitu jauhnya Jawa di mata mereka, sehingga sampai sekarang ada satu kata “Jawa” dalam slang orang utara di Tiongkok. Kalau mereka tidak berhasil mengingat suatu kejadian karena kejadian itu sudah amat lama, mereka akan mengatakan, “Saya sudah lupa. Lupa saya sudah sangat jawa” (wo wang le hen zhua wa).

Kecuali minoritas Mongolia, kita juga masih mengenal minoritas Uygur dari Xinjiang. Ini karena promosi Xinjiang di negara-negara berpenduduk Islam lebih gencar. Tapi, meski Hui juga Islam, kita tidak begitu mengenal mereka. Kecuali, barangkali, satu hal: Laksamana Cheng He (di Indonesia mungkin lebih dikenal sebagai Cheng Hoo). Itu pun kalau Anda tahu bahwa Cheng He adalah orang Hui. (habis)

No comments:

Post a Comment