Tiga Jam Jelang Operasi Masih Ditawari "Take Over" Koran
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (2)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
Mudah-mudahan rencana operasi kali ini tidak gagal lagi. Yu Shi Gan
Xian Sheng (nama saya di Tiongkok), besok mendapat giliran operasi. Itu
kata seorang dokter di rumah sakit ini pada Minggu 5 Agustus 2007 kepada
saya. Dia memakai istilah “mudah-mudahan tidak gagal lagi” karena
memang sudah beberapa kali saya diberi tahu dapat giliran operasi, tapi
selalu tertunda karena liver yang datang tidak cocok untuk mengganti
liver saya.
Kali ini kelihatannya cocok. Golongan darahnya sama. Juga sudah dinilai akan memenuhi syarat untuk ditransplantasikan ke saya. Harapan bahwa kali ini tidak gagal lagi kian besar setelah sore harinya, petugas cukur datang ke kamar saya. Dia harus mencukur rambut yang ada di badan saya, sebagai salah satu syarat dilakukannya operasi besar. Tugasnya sore itu ringan sekali karena hanya perlu mencukur rambut di sekitar kemaluan. Saya tidak punya rambut di dada atau di paha.
Saya lalu membayangkan bagaimana dengan pasien yang punya bulu dada
lebat dan cepat tumbuh kembali. Misalnya, seperti yang banyak dimiliki
pasien dari negara-negara Arab.
Saya juga membayangkan bagaimana kalau bulu dada itu cepat tumbuh,
sementara luka akibat sayatan yang panjang di situ belum menyatu
kembali. Tapi, bayangan-bayangan saya itu lenyap karena tiba-tiba tukang
cukur menyatakan tugasnya sudah selesai. Sebentar dan sederhana sekali
tugasnya untuk saya malam itu.
Meski itulah malam menghadapi operasi besar, saya tidak punya
kekhawatiran apa-apa. Malam itu saya tidur nyenyak sebagaimana biasa.
Tidak punya perasaan galau sedikit pun, meski saya akan menjalani
penggantian organ terbesar dalam tubuh seorang manusia. Sore sebelum
tidur, saya potong rambut. Pendek sekali, nyaris gundul. Saya ingin agar
setelah operasi kelak, kalau mau cuci rambut lebih gampang.
Bangun pagi 6 Agustus 2007, saya bertanya kepada perawat kira-kira
operasinya jam berapa. Setidaknya jam berapa harus berangkat ke ruang
operasi. Perawat belum bisa menjawab. Memang jadwal transplantasi besar
seperti ini tidak gampang dibuat.
Karena itu, saya lantas mandi lebih bersih daripada biasanya. Saya
tidak ingin ada kuman yang menempel di badan saya yang akan menjadi
penyebab infeksi setelah operasi. Tentu ini kurang masuk akal, karena
dalam proses operasi ada prosedur sterilisasi di badan saya. Yakni,
seluruh badan saya akan diolesi cairan antiinfeksi yang biasanya
berwarna merah kecokelatan itu.
Pagi itu saya sudah tidak boleh makan apa pun. Perut harus kosong
sejak malamnya. Namun, sekitar pukul 09.00 perut saya masih harus
dibesihkan dari kotoran dengan cara dimasuki cairan bening sekitar
seperempat liter melalui pantat. Kurang dari lima menit kemudian saya
lari ke toilet karena semua isi perut seperti mau keluar.
Setengah jam kemudian dilakukan lagi hal yang sama. Di toilet saya
lihat tak ada lagi benda apa pun yang keluar kecuali air bening yang
dimasukkan tadi. Maka saat itu dianggap perut saya sudah bersih.
Beberapa sahabat penting saya di Tiongkok datang. Terutama Mr Guo yang
sejak 10 tahun lalu mengangkat saya sebagai adik kelima, dan saya
mengangkatnya sebagai kakak ketiga. Kakak pertama adalah seorang
pensiunan jenderal polisi yang juga tinggal di kota ini.
Pukul 09.30 saya diberi tahu tentang kepastian operasi. “Bapak harus
masuk ruang operasi pukul 14.00,” kata seorang perawat. Alhamdulillah,
kata saya dalam hati. Kalau tidak, bagaimana dengan rambut yang telanjur
dicukur? Apa saya akan minta ditempelkan lagi?
Prioritas saya kemudian adalah menghubungi kantor, kakak saya yang di
Samarinda, adik saya yang di Madiun, dan beberapa pemegang saham. “Saya
akan operasi jam 14.00 nanti,” tulis saya di sms.
Kepada kakak saya yang di Samarinda, saya bicara langsung melalui
telepon. Saya harus hati-hati menjelaskannya. Itu kakak saya yang amat
baik hatinya. Dia pernah menyerahkan seluruh gajinya sebagai guru SD
untuk biaya sekolah dan hidup saya selama lebih dari lima tahun. Itu
sebagai tanggung jawabnya karena dia harus pergi meninggalkan kami tanpa
ibu di Magetan untuk pergi ke Kaltim, ikut paman saya. Dia merasa
kasihan saya hidup dengan Bapak yang tidak punya penghasilan tetap.
Apalagi, masih ada satu adik lagi yang masih kecil. Di Kaltim dia harus
mengajar di dua sekolah agar masih punya penghasilan untuk hidupnya
sendiri.
“Mbakyu, nanti sore saya harus operasi,” kata saya. “Operasi apa?”
tanyanya. Saya tidak berani menjelaskan apa adanya, khawatir mengganggu
pikirannya.
“Saya akan operasi, agar tidak sampai terjadi seperti yang mengakibatkan ibu dan Mbak Sofwati meninggal muda,” kata saya.
Mbak Sofwati adalah kakak saya yang meninggal umur 32 tahun setelah
muntah darah. Padahal, dia kami jagokan sebagai tokoh keluarga. Orangnya
pintar dan karirnya bagus. Saat mahasiswa, dia jadi ketua Korps
Himpunan Mahasiswa Islam Wanita Jatim.
“Ya, saya doakan semoga berhasil,” katanya datar. Dia tidak saya beri tahu betapa berisikonya penggantian liver ini.
Dalam waktu sekejap sms pemberitahuan operasi itu rupanya menyebar,
sampai ke anak perusahaan. Mulai Aceh sampai Jayapura. Juga beredar di
antara teman-teman. Ini saya ketahui dari sms yang segera mengalir ke
telepon saya.
Semua mengirimkan doa untuk keberhasilan operasi saya. Bahkan, SMS
dari Bambang Sujiyono, seniman Surabaya itu, sangat dramatik. Dia kaget
saya kok tiba-tiba memberitahunya akan operasi besar. Dia menangis dalam
SMS-nya.
“Allah,” tulisnya, “Selamatkan nyawa rekan saya ini. Kalau perlu,
tukar dengan kematian saya.” Bambang memang orang yang sangat humanis.
Dia sendiri dalam keadaan sakit jantung.
Saya balas tangisannya itu dengan tegar dan setengah guyon. “Mas
Bambang, di rumah sakit ini hampir tiap hari juga dilakukan operasi
penggantian jantung,” tulis saya.
“Juga operasi penggantian ginjal dan organ yang lain,” tambah saya.
Lalu dia tidak emosional lagi. Dia justru bertanya berat mana
transplantasi ginjal dibanding liver. “Transplantasi ginjal itu sekarang
sudah dianggap biasa. Liver paling sulit,” jawab saya.
Sekitar pukul 10.30 saya terima sms dari Jakarta. Seorang teman lama
menawarkan agar saya membeli tabloidnya yang mengalami kesulitan. Dia
bilang, tabloid itu akan sukses kalau di tangan saya. Saya balas sms
itu, agar dia menunggu keputusan saya beberapa minggu lagi.
Setengah jam kemudian, teman lama yang lain, juga kirim sms. Isinya:
apakah saya berminat mengambil alih koran berbahasa Inggris yang terbit
di Jakarta? Saya jawab: saya perlu informasi lebih lengkap, dan dia saya
minta kirim email.
Tanpa tahu bahwa saya segera memasuki meja operasi yang bisa memakan
waktu 12 jam dan entah apa hasilnya, seorang direksi saya di Jakarta
menanyakan lewat sms apakah dokumen tender listrik yang disiapkan sudah
saya tanda tangani.
Sesaat sebelum saya berganti baju dengan baju operasi, saya masih
sempat membalas sms itu: tidak perlu saya yang tanda tangan. Saya lantas
memberi tahu siapa yang bisa menggantikan tanda tangan saya. Lalu
petugas pembawa baju operasi saya datang membuka bungkusan sterilnya.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment