Tunggu Operasi, Suasana seperti Siaran Langsung Sepak Bola
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (5)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
Setelah diberi tahu bahwa liver yang akan dipasangkan di dalam tubuh
saya ternyata baru akan tiba sekitar pukul 17.00, Robert Lai
terperangah. “Tiwas kita sudah tegang selama tiga jam. Ternyata belum
diapa-apakan,” katanya. Robert lantas menerjemahkan informasi dalam
bahasa Mandarin itu kepada istri dan anak saya.
“Berarti, baru 10 menit lagi livernya tiba?” tanya istri saya sambil melihat ke jam dinding.
Dia lantas memperhatikan pintu masuk rumah sakit dari lantai 11, dari
dalam kamar saya. Istri saya ingin melihat masuknya ambulans yang
mungkin membawa liver yang akan dipasangkan ke dalam tubuh saya. Dia
punya khayalan, bahwa kalau ada suara “nguing…nguing…” masuk ke rumah
sakit, pastilah itu suara ambulans yang membawa liver.
Dari ruang tamu di kamar saya itu, siapa pun memang bisa melihat apa
yang terjadi di luar sana. Dinding kamar tersebut terbuat dari kaca. Di
seberang kamar itu terlihat gedung pertama rumah sakit yang tingginya 17
lantai. Bangunannya dari luar mirip hotel.
Di atas gedung itu, di bagian tengahnya, terdapat tambahan tiga
lantai bulat. Lantai paling atas rata. Di situlah helikopter yang
membawa pasien darurat atau helikopter yang membawa liver yang urgen
mendarat. Istri saya juga memperhatikan puncak gedung tersebut, siapa
tahu livernya dibawa dengan helikopter.
Dari kamar itu juga terlihat simpang susun jalan layang yang
melingkar-lingkar di depan rumah sakit. Lalu, terlihat juga pemandangan
sungai yang bersih yang dipakai untuk arena mainan anak-anak serta
keluarga. Dari kamar tersebut, kalau Sabtu dan Minggu malam, sering bisa
melihat pemandangan indah. Yakni, mengudaranya kembang api berjam-jam
di berbagai tempat.
Itu pertanda malam tersebut banyak pesta perkawinan. Kalau sudah ada
pesta kembang api seperti itu, kami biasanya mematikan lampu kamar, agar
warna-warni kembang apinya lebih jelas.
Istri saya kali ini tidak memperhatikan semua itu. Dia lebih
memfokuskan perhatian ke bawah, melihat keluar masuknya ambulans di
pintu gerbang depan sana. Dia mengira salah satu ambulans yang masuk
pada jam-jam itu pastilah yang membawa liver yang akan menggantikan
liver saya yang sudah rusak.
Anak lelaki saya, katanya, jam-jam itu sibuk membalas SMS yang masuk.
Semua seperti tidak sabar menanyakan perkembangan operasi saya. Tentu
mereka tidak diberi tahu bahwa operasinya belum jadi dilaksanakan pada
pukul 14.00. Mereka hanya diberi jawaban “Belum ada kabar baru dari
kamar operasi”.
Lamanya tidak ada “kabar baru” itu rupanya semakin membuat
teman-teman di Indonesia kian tegang. Ketegangan selama menunggu
berlangsungnya operasi digambarkan oleh Yoto, Dirut grup anak perusahaan
Jawa Pos di Papua, seperti ini: Kami tiap 10 menit SMS ke Mas Azrul
(Posko di Tiongkok) atau ke Mbak Nany Wijaya (Posko di Surabaya). Kami
seperti sedang mendengarkan siaran langsung sepak bola lewat radio, tapi
dalam keadaan musuh selalu mengancam ke gawang kita!
Semua itu saya nilai wajar karena operasi penggantian liver tidaklah
gampang. Apalagi, kegagalan transplantasi liver di Tiongkok yang dialami
tokoh seperti Nurcholish Madjid mendapat pemberitaan yang sangat besar.
Kegagalan tersebut, dan kengeriannya, seperti baru terjadi beberapa
minggu lalu.
Kabar pertama dari ruang operasi masuk pukul 22.00. “Kita diminta
naik ke lantai 13. Kepada kita akan ditunjukkan sesuatu,” kata Robert
kepada istri dan anak saya dalam bahasa Melayu yang agak sulit
dimengerti. “Go!” tambahnya.
Maka, Robert, istri, anak, dan saudara angkat Guo naik lift ke lantai
13. Mereka menunggu di depan lift untuk menerima instruksi berikutnya.
Tak lama kemudian, pintu lorong tempat saya dimasukkan menuju ruang
operasi sore tadi terbuka. Sejumlah dokter membawa barang berdarah dan
meletakkannya di lantai. “Ini liver bapak yang sudah kami keluarkan,”
kata seorang dokter.
Melihat “barang” tersebut, istri saya langsung lemas dan terduduk.
Sesaat kemudian, dia bersujud di dekat seonggok daging berdarah itu.
Anak saya memotretnya dari berbagai sudut. “Waktu bersujud itu, Anda
mengucapkan doa apa?” tanya saya beberapa hari kemudian. “Doa apa saja
yang bisa saya ucapkan,” ungkapnya.
Lalu, dokter menjelaskan bagaimana keadaan liver saya yang sudah
dikeluarkan itu. Digulang-gulingkannya. Lalu, menyayat-nyayatkan pisau
di beberapa tempat untuk melihat dalamnya. “Masya Allah,” kata anak
saya. “Seperti daging yang dipanggang kematangan,” ujarnya. Liver itu
sudah begitu rusaknya.
Dokter lantas mengiris lagi bagian lain. Dibenggangkannya irisan itu
dengan jarinya yang masih terbungkus sarung karet. “Itu lihat. Ada
kanker di dalamnya,” kata dokter sambil jarinya menuding ke arah benda
yang dimaksud. “Jepret,” anak saya memotret lagi bagian itu.
Liver lama tersebut memang tidak boleh dibawa. Hanya boleh difoto.
Mengapa? Liver itu masih akan dimasukkan ke laboratorium untuk
dianalisis lagi lebih teliti. Bukan hanya mengenai apa saja yang ada di
dalamnya, melainkan juga untuk melihat sudah ada berapa kanker yang
muncul. Dan, yang lebih penting, apakah kankernya telanjur menyebar atau
tidak. Sebab, menurut hasil MRI sebelumnya, di dalam liver saya sudah
ada tiga kanker yang besar (ukuran 6 cm, 4 cm, dan 2 cm). Lalu, masih
ada dua lagi calon kanker baru. Dan, tentu mungkin masih akan terlihat
anak-anak dan cucu-cucunya.
Tapi, bagaimana persisnya keadaan liver lama saya itu, masih harus
menunggu hasil penelitian. Kami baru akan diberi tahu sekitar seminggu
kemudian. “Liver ini kami bawa kembali,” ujar dokter sambil kembali
membungkusnya.
Pintu ditutup lagi, para dokter meneruskan lagi pekerjaannya, menyelesaikan operasi terhadap saya.
Pukul 24.00, berita berikutnya disampaikan. Operasi sudah selesai.
“Pak Yu Shi Gan (baca: i-se-kan) akan segera dibawa ke ICU untuk
menunggu siuman di sana,” jelas seorang dokter kepada Robert.
“Pukul berapa akan siuman?” kata Robert. “Kira-kira 6 jam lagi,” ujar
dokter. Itu berarti saya baru akan siuman sekitar pukul 07.00 keesokan
harinya.
Keluaga saya sudah lebih tenang. Demikian pula dengan seluruh rekan
yang memonitor perkembangan operasi dari Aceh sampai Papua. Dari foto
mereka ketika mendengarkan penjelasan itu, terlihat jelas bahwa
wajah-wajah mereka sudah tidak tegang. Bahkan sudah tersenyum-senyum.
Semua disampaikan anak saya kepada teman-teman yang menanyakan
perkembangan operasi saya. Suatu berita yang menggembirakan. “Suasananya
lantas seperti mendengar siaran radio pertandingan sepak bola, di mana
lawan sudah tidak memborbardir gawang kita lagi. Bahkan, sepertinya
pemain kita anti menyerang terus. Kita lantas seperti sedang menantikan
terjadinya gol-gol ke gawang lawan,” tulis Yoto di SMS-nya dari Papua.
Keluarga di Samarinda, Madiun, dan Surabaya diberi tahu perkembangan
itu. Kabar selesainya operasi juga dikirim ke umat Buddha yang terus
bersemedi di Kenjeran, Surabaya. Diteruskan juga ke warga Sapto Dharmo
di Pujon. Mereka sudah bisa menghentikan peribadatannya.
Malam itu, istri dan anak saya langsung bisa tidur. Robert kembali ke
apartemen. Saudara ketiga Guo pulang ke rumahnya. Saya tergolek
menunggu siuman di ruang ICU di lantai 12. Di situlah berbagai jenis
kabel dan selang menempel dan menancap di tubuh saya, seperti untuk
sementara menggantikan nyawa saya. (bersambung)
No comments:
Post a Comment