Thursday, August 30, 2007

Tunggu Operasi, Suasana seperti Siaran Langsung Sepak Bola

30 Agustus 2007
Tunggu Operasi, Suasana seperti Siaran Langsung Sepak Bola
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (5)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

Setelah diberi tahu bahwa liver yang akan dipasangkan di dalam tubuh saya ternyata baru akan tiba sekitar pukul 17.00, Robert Lai terperangah. “Tiwas kita sudah tegang selama tiga jam. Ternyata belum diapa-apakan,” katanya. Robert lantas menerjemahkan informasi dalam bahasa Mandarin itu kepada istri dan anak saya.

“Berarti, baru 10 menit lagi livernya tiba?” tanya istri saya sambil melihat ke jam dinding.

Dia lantas memperhatikan pintu masuk rumah sakit dari lantai 11, dari dalam kamar saya. Istri saya ingin melihat masuknya ambulans yang mungkin membawa liver yang akan dipasangkan ke dalam tubuh saya. Dia punya khayalan, bahwa kalau ada suara “nguing…nguing…” masuk ke rumah sakit, pastilah itu suara ambulans yang membawa liver.

Dari ruang tamu di kamar saya itu, siapa pun memang bisa melihat apa yang terjadi di luar sana. Dinding kamar tersebut terbuat dari kaca. Di seberang kamar itu terlihat gedung pertama rumah sakit yang tingginya 17 lantai. Bangunannya dari luar mirip hotel.

Di atas gedung itu, di bagian tengahnya, terdapat tambahan tiga lantai bulat. Lantai paling atas rata. Di situlah helikopter yang membawa pasien darurat atau helikopter yang membawa liver yang urgen mendarat. Istri saya juga memperhatikan puncak gedung tersebut, siapa tahu livernya dibawa dengan helikopter.

Dari kamar itu juga terlihat simpang susun jalan layang yang melingkar-lingkar di depan rumah sakit. Lalu, terlihat juga pemandangan sungai yang bersih yang dipakai untuk arena mainan anak-anak serta keluarga. Dari kamar tersebut, kalau Sabtu dan Minggu malam, sering bisa melihat pemandangan indah. Yakni, mengudaranya kembang api berjam-jam di berbagai tempat.

Itu pertanda malam tersebut banyak pesta perkawinan. Kalau sudah ada pesta kembang api seperti itu, kami biasanya mematikan lampu kamar, agar warna-warni kembang apinya lebih jelas.

Istri saya kali ini tidak memperhatikan semua itu. Dia lebih memfokuskan perhatian ke bawah, melihat keluar masuknya ambulans di pintu gerbang depan sana. Dia mengira salah satu ambulans yang masuk pada jam-jam itu pastilah yang membawa liver yang akan menggantikan liver saya yang sudah rusak.

Anak lelaki saya, katanya, jam-jam itu sibuk membalas SMS yang masuk. Semua seperti tidak sabar menanyakan perkembangan operasi saya. Tentu mereka tidak diberi tahu bahwa operasinya belum jadi dilaksanakan pada pukul 14.00. Mereka hanya diberi jawaban “Belum ada kabar baru dari kamar operasi”.

Lamanya tidak ada “kabar baru” itu rupanya semakin membuat teman-teman di Indonesia kian tegang. Ketegangan selama menunggu berlangsungnya operasi digambarkan oleh Yoto, Dirut grup anak perusahaan Jawa Pos di Papua, seperti ini: Kami tiap 10 menit SMS ke Mas Azrul (Posko di Tiongkok) atau ke Mbak Nany Wijaya (Posko di Surabaya). Kami seperti sedang mendengarkan siaran langsung sepak bola lewat radio, tapi dalam keadaan musuh selalu mengancam ke gawang kita!

Semua itu saya nilai wajar karena operasi penggantian liver tidaklah gampang. Apalagi, kegagalan transplantasi liver di Tiongkok yang dialami tokoh seperti Nurcholish Madjid mendapat pemberitaan yang sangat besar. Kegagalan tersebut, dan kengeriannya, seperti baru terjadi beberapa minggu lalu.

Kabar pertama dari ruang operasi masuk pukul 22.00. “Kita diminta naik ke lantai 13. Kepada kita akan ditunjukkan sesuatu,” kata Robert kepada istri dan anak saya dalam bahasa Melayu yang agak sulit dimengerti. “Go!” tambahnya.

Maka, Robert, istri, anak, dan saudara angkat Guo naik lift ke lantai 13. Mereka menunggu di depan lift untuk menerima instruksi berikutnya. Tak lama kemudian, pintu lorong tempat saya dimasukkan menuju ruang operasi sore tadi terbuka. Sejumlah dokter membawa barang berdarah dan meletakkannya di lantai. “Ini liver bapak yang sudah kami keluarkan,” kata seorang dokter.

Melihat “barang” tersebut, istri saya langsung lemas dan terduduk. Sesaat kemudian, dia bersujud di dekat seonggok daging berdarah itu. Anak saya memotretnya dari berbagai sudut. “Waktu bersujud itu, Anda mengucapkan doa apa?” tanya saya beberapa hari kemudian. “Doa apa saja yang bisa saya ucapkan,” ungkapnya.

Lalu, dokter menjelaskan bagaimana keadaan liver saya yang sudah dikeluarkan itu. Digulang-gulingkannya. Lalu, menyayat-nyayatkan pisau di beberapa tempat untuk melihat dalamnya. “Masya Allah,” kata anak saya. “Seperti daging yang dipanggang kematangan,” ujarnya. Liver itu sudah begitu rusaknya.

Dokter lantas mengiris lagi bagian lain. Dibenggangkannya irisan itu dengan jarinya yang masih terbungkus sarung karet. “Itu lihat. Ada kanker di dalamnya,” kata dokter sambil jarinya menuding ke arah benda yang dimaksud. “Jepret,” anak saya memotret lagi bagian itu.

Liver lama tersebut memang tidak boleh dibawa. Hanya boleh difoto. Mengapa? Liver itu masih akan dimasukkan ke laboratorium untuk dianalisis lagi lebih teliti. Bukan hanya mengenai apa saja yang ada di dalamnya, melainkan juga untuk melihat sudah ada berapa kanker yang muncul. Dan, yang lebih penting, apakah kankernya telanjur menyebar atau tidak. Sebab, menurut hasil MRI sebelumnya, di dalam liver saya sudah ada tiga kanker yang besar (ukuran 6 cm, 4 cm, dan 2 cm). Lalu, masih ada dua lagi calon kanker baru. Dan, tentu mungkin masih akan terlihat anak-anak dan cucu-cucunya.

Tapi, bagaimana persisnya keadaan liver lama saya itu, masih harus menunggu hasil penelitian. Kami baru akan diberi tahu sekitar seminggu kemudian. “Liver ini kami bawa kembali,” ujar dokter sambil kembali membungkusnya.

Pintu ditutup lagi, para dokter meneruskan lagi pekerjaannya, menyelesaikan operasi terhadap saya.
Pukul 24.00, berita berikutnya disampaikan. Operasi sudah selesai. “Pak Yu Shi Gan (baca: i-se-kan) akan segera dibawa ke ICU untuk menunggu siuman di sana,” jelas seorang dokter kepada Robert.
“Pukul berapa akan siuman?” kata Robert. “Kira-kira 6 jam lagi,” ujar dokter. Itu berarti saya baru akan siuman sekitar pukul 07.00 keesokan harinya.

Keluaga saya sudah lebih tenang. Demikian pula dengan seluruh rekan yang memonitor perkembangan operasi dari Aceh sampai Papua. Dari foto mereka ketika mendengarkan penjelasan itu, terlihat jelas bahwa wajah-wajah mereka sudah tidak tegang. Bahkan sudah tersenyum-senyum.

Semua disampaikan anak saya kepada teman-teman yang menanyakan perkembangan operasi saya. Suatu berita yang menggembirakan. “Suasananya lantas seperti mendengar siaran radio pertandingan sepak bola, di mana lawan sudah tidak memborbardir gawang kita lagi. Bahkan, sepertinya pemain kita anti menyerang terus. Kita lantas seperti sedang menantikan terjadinya gol-gol ke gawang lawan,” tulis Yoto di SMS-nya dari Papua.

Keluarga di Samarinda, Madiun, dan Surabaya diberi tahu perkembangan itu. Kabar selesainya operasi juga dikirim ke umat Buddha yang terus bersemedi di Kenjeran, Surabaya. Diteruskan juga ke warga Sapto Dharmo di Pujon. Mereka sudah bisa menghentikan peribadatannya.

Malam itu, istri dan anak saya langsung bisa tidur. Robert kembali ke apartemen. Saudara ketiga Guo pulang ke rumahnya. Saya tergolek menunggu siuman di ruang ICU di lantai 12. Di situlah berbagai jenis kabel dan selang menempel dan menancap di tubuh saya, seperti untuk sementara menggantikan nyawa saya. (bersambung)

No comments:

Post a Comment