Tuesday, August 28, 2007

Banyak Yang Doakan Panjang-Panjang, Saya Berdoa Pendek

28 Agustus 2007
Banyak Yang Doakan Panjang-Panjang, Saya Berdoa Pendek
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (3)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

PUKUL 12.00 Senin (6/8) siang itu saya sudah diminta melepas baju saya, pertanda waktu operasi sudah akan tiba. Diganti baju kertas biru muda. Kepala saya juga dipasangi topi kertas dengan warna yang sama. Saya pun sudah siap mental segera menuju ruang operasi di lantai 13.

Tapi, SMS masih terus mengalir masuk. Teman-teman Jawa Pos, entah siapa yang punya inisiatif, lagi berkumpul di rumah saya di belakang Graha Pena Surabaya. Mereka akan melakukan sembahyang dan doa bersama. Saya segera menelepon Misbahul Huda, Dirut Percetakan Temprina, yang akan menjadi imam pada acara itu. Saya minta suara teleponnya dibesarkan. Agar, semua yang hadir di rumah saya bisa ikut mendengar kata-kata saya. Setelah telepon siap, saya bertanya kepada yang hadir: apakah ada pertanyaan? “Saya siap menjawab pertanyaan apa pun,” kata saya.

Salah seorang di antaranya bertanya apakah saya dalam kondisi siap. Saya jawab, saya siap sekali. Ada yang bertanya, kira-kira operasinya berlangsung berapa jam? Saya jawab sekitar 12 jam. Memang begitulah yang dikatakan dokter kepada saya, berdasarkan pengalaman mereka.

Ada lagi beberapa pertanyaan dan harapan yang disampaikan dengan penuh suasana prihatin. Untuk membuat agar suasana mereka tidak sedih, saya tutup pembicaraan saya dengan kata-kata, “Sampai jumpa minggu depan.” Maksud saya, kira-kira saya perlu waktu satu minggu untuk bisa bicara lagi dengan teman-teman itu: satu hari operasi (pasti saya tidak bisa bicara), tiga hari di ICU (juga pasti belum bisa bicara), dan dua hari memulihkan badan. Genap satu minggu, saya pikir, saya sudah akan bisa bicara lagi. Setelah tidak ada pertanyaan, telepon saya tutup.

SMS terus mengalir masuk. Dari Madiun menceritakan bahwa keluarga tasawuf sathariyah lagi berkumpul untuk ber-zikir-pidak, yakni mendengungkan kata “hu” bersama-sama sebanyak 99.000 kali. Tentu dengan sistem borongan. Artinya, kalau yang mengucapkan lebih banyak orang, waktu yang diperlukan tidak perlu teralu lama. Dengungan “hu” adalah hasil compression (untuk meminjam istilah software komputer) dari kalimat syahadat. Kalau di-decompression, kata “hu” itu akan menjadi kalimat panjang: aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusam Allah. Mungkin, kalau harus mengucapkan kalimat yang begitu panjang sebanyak 99.000 kali dirasa akan memakan waktu yang lama sekali, sehingga perlu di-compress menjadi satu dengungan “hu” saja. Siapa menyangka bahwa zikir pun sejak dulu sudah di-compress seperti itu.

Tapi, sistem compression zikir seperti inilah yang banyak dikecam aliran tasawuf lain dan terutama oleh kalangan syariah formal. “Kalimat syahadat kok dipadatkan,” kata mereka. Ini seperti juga Bung Karno yang dikecam telah menyelewengkan kemurnian Pancasila yang dia temukan sendiri. Yakni, ketika Bung Karno meng-compress Pancasila yang panjang itu menjadi satu kata yang simpel dan pas: gotong royong.

SMS juga masuk dari teman-teman Kristen dan Katolik. Mereka mengirimkan doa-doa yang saya ketahui diambilkan dari Alkitab. Ibu Eric Samola, istri mendiang Pak Eric Samola, yang dulu punya inisiatif mengambil alih Jawa Pos dari keluarga The Chung Shen, mengirimkan doa paling panjang.

Tokoh Buddha Surabaya juga mengirim SMS dan memberitahukan bahwa hari itu berkumpul lebih 1.000 penganut Buddha di shi mian fo (Buddha empat wajah) di Kenjeran. Mereka akan berdoa terus selama saya dioperasi. Karena itu, dia minta dikabari kalau operasi sudah selesai. Kalau tidak, doanya tentu tidak akan dihentikan. Saya berpesan kepada istri agar jangan lupa memberi tahu mereka nanti. Tempat ibadah itu memang saya yang meresmikan beberapa tahun lalu.

Teman-teman dari penganut aliran kebatinan Sapta Dharma juga mengirim SMS, bahwa siang itu 200-an tokohnya berkumpul di Pujon, Malang. Mereka melakukan doa berdasar kepercayaan mereka untuk keberhasilan operasi saya. Demikian juga penganut aliran Sai Baba, mengirimkan doa panjang yang biasa diucapkan Sai Baba di India sana.

Pukul 14.00 kurang 15 menit, kereta brankar sudah datang dengan beberapa orang yang berbaju biru muda. Itulah petugas ruang operasi. Saya harus segera berbaring di kereta itu. Sebenarnya saya bisa berjalan sendiri ke ruang operasi. Badan saya sangat sehat. Tapi, peraturan tidak membolehkannya.

Saat saya sudah berbaring di kereta, Pak Mustofa, akuntan terkemuka Surabaya, telepon minta bicara. Ternyata, dia lagi makan siang dengan para pengusaha teman saya di Hotel Shangri-La Surabaya. Lalu, saya beri tahu bahwa saya sudah tidak punya waktu bicara. Saya sudah di atas kereta yang siap berangkat ke ruang operasi. Pak Alim Markus, yang rupanya ikut makan siang, memaksa bicara untuk memberi dorongan semangat agar saya kuat memasuki ruang operasi. Alim Markus juga pernah tiba-tiba sakit yang amat membahayakan hidupnya. Tapi, semangatnya untuk sembuh luar biasa. Saya sering mengatakan padanya, semangatnya itulah yang ikut mendorong saya punya semangat yang sama.

Istri saya terus komat-kamit. Rupanya berdoa dengan serius. Anak laki-laki saya sibuk memotret. Saudara angkat saya, Mr Guo dan sahabat karib saya Robert Lai dari Singapura, memegangi tangan saya. Kereta pun didorong keluar dari ruang saya di lantai 11 untuk dibawa ke lift naik ke lantai 13. Ketika melewati kamar pasien dari Jepang, dia terlihat mengepalkan tangan ke arah saya, tanda ikut memberi semangat.

Tak sampai 5 menit saya sudah tiba di lobi lantai 11, di depan lift yang akan membawa saya ke lantai 13. Ada lima lift di situ. Dua lift ukuran normal, tiga lift ukuran besar untuk mengangkut kereta pasien. Lift terbuka, tombol 13 dipencet, panah naik menyala. Zoom! Tibalah saya di lantai 13.

Istri, anak, saudara angkat saya, dan Robert Lai mengantar ke lantai 13, tapi hanya bisa sampai di pintu tertentu. Setelah itu semua harus melepaskan tangan dari tubuh saya. Mata istri saya kelihatan sembap. Juga mata Robert Lai.

Robert Lai adalah orang yang rajin berpesan kepada siapa pun, agar saat mengantar saya ke lantai 13 nanti, jangan ada yang menangis. Juga jangan ada yang mengeluarkan air mata. Tapi, saya lihat dia sendiri ternyata terisak-isak ketika melepas saya untuk dibawa petugas ke tempat yang dia tidak bisa lagi menyertai saya.

Sambil menahan tangis, dia akhirnya berteriak: “jia you!” tiga kali. “Jia” artinya tambah. “You” artinya bensin. Tapi, “jia you” dalam bahasa Mandarin berarti “semangatlah!” .
Lalu pintu ditutup. Saya tidak bisa lagi melihat istri, anak, Saudara Guo, dan Robert Lai. Tinggal saya dan beberapa petugas yang terus mendorong kereta itu ke ruang operasi.

***
Kereta didorong amat cepat. Rupanya saya harus segera tiba di ruang operasi, karena sedikit agak terlambat dari jadwal. Saya amati lorong-lorong apa saja yang dilewati kereta ini. Oh, harus menyeberang ke gedung sebelah, rupanya. Gedung rumah sakit ini memang terdiri atas dua tower, masing-masing berlantai 15. Di lantai 12 sampai 14, ada lorong untuk menyeberang dari gedung kiri ke gedung kanan. Saya akan dioperasi di gedung kanan.

Seluruh lantai 13 adalah ruang operasi. Rumah sakit ini, dalam waktu bersamaan, bisa melakukan 30 operasi penggantian organ. Mulai ganti ginjal, mata, jantung sampai ganti liver seperti saya.

Dalam perjalanan sepanjang lorong-lorong itu saya menyadari bahwa saya tadi belum sempat berdoa. Saya harus berdoa. Saya tidak mau ada kesan bahwa saya sombong kepada Tuhan. Tapi, segera saja saya terlibat perdebatan dengan diri saya sendiri: harus mengajukan permintaan apa kepada Tuhan? Bukankah manusia cenderung minta apa saja kepada Tuhan sehingga terkesan dia sendiri malas berusaha? Saya tidak mau Tuhan mengejek saya sebagai orang yang bisanya hanya berdoa. Saya tidak mau Tuhan mengatakan kepada saya: untuk apa kamu saya beri otak kalau sedikit-sedikit masih juga minta kepada-Ku?

Karena itu, saya memutuskan tidak akan banyak-banyak mengajukan doa. Saya tidak mau serakah. Kalau saya minta-minta terus kepada Tuhan, kapan saya menggunakan pemberian Tuhan yang paling berharga itu: otak? Maka saya putuskan akan berdoa se-simple mungkin.

Tapi, masih ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Apakah saya harus berdoa dengan biasa saja atau harus sampai menangis? Kalau doa itu saya sampaikan biasa-biasa saja, apakah Tuhan melihat saya sedang serius memintanya? Tapi, kalau harus saya ucapkan sampai menangis dan mengiba-iba, apakah Tuhan tidak akan menilai begini: lihat tuh Dahlan. Kalau sudah dalam posisi sulit saja dia merengek-rengek setengah mati. Tapi, nanti akan lupa kalau sudah dalam keadaan gembira! Saya tidak ingin Tuhan memberikan penilaian seperti itu.

Apalagi, saya juga tahu bahwa sistem file di kerajaan Tuhan tidak membedakan doa yang dikirim secara biasa, secara khusus maupun secara tangis-menangis. Tuhan punya sistem file-Nya sendiri, entah seperti apa.

Waktu terus berjalan. Perdebatan di hati saya belum selesai. Padahal, kereta sudah hampir sampai di ruang operasi. Akhirnya saya putuskan berdoa menurut keyakinan saya. Satu doa yang pendek dan mencerminkan kepribadian saya sendiri: Tuhan, terserah engkau sajalah! Terjadilah yang harus terjadi. Kalau saya harus mati, matikanlah. Kalau saya harus hidup, hidupkanlah! Selesai. Perasaan saya tiba-tiba lega sekali. Plong. Kereta pun tiba di depan ruang operasi. (iskan@jawapos.co.id) (bersambung)

No comments:

Post a Comment