Friday, August 31, 2007

Begitu Sadar, Teriak Saya Hidup, tapi Tak Terucap

31 Agustus 2007
Begitu Sadar, Teriak "Saya Hidup", tapi Tak Terucap
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (6)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

Begitu Sadar, Teriak “Saya Hidup”, tapi Tak Terucap. Suasana orang yang lagi mau siuman selalu saja begini: Mula-mula terdengar dulu pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar kita. Tapi, mata tidak mau membuka. Seperti orang yang ngantuknya luar biasa. Apalagi seperti saya, yang baru saja dibius selama 18 jam. Suara-suara itu tambah lama tambah jelas. Ingin sekali mata melihat siapa saja yang bersuara itu, tapi tetap saja tidak punya kemampuan membuka kelopak mata sendiri.

Sesaat kemudian, napas terasa sesak. Seperti orang yang lagi kekurangan oksigen. Perasaan lantas seperti setengah berharap, setengah putus asa. Berharap karena ternyata masih bisa bernapas, putus asa karena jumlah oksigen kok seperti tidak segera cukup dan seperti mengancam kehidupan. Rasanya kok seperti mau mati karena kekurangan udara.

Saya yang sudah pengalaman beberapa kali dibius (meski dulu tidak sampai 18 jam seperti saat penggantian liver kali ini), sadar bahwa saya ini sedang dalam proses dari tidak sadar ke sadar. Saya yakin bahwa saya segera mengatasi persoalan sesak napas itu. Tapi, kok sulit sekali ya? Maka, saya tetap berusaha sekuat tenaga. Saya lantas memberikan isyarat kepada perawat dengan tangan saya. Antara sadar dan tidak, saya coba menggerakkan jari-jari tangan saya seperti sedang memutar keran. Maksud saya, ini permintaan agar keran oksigen diperbesar.

Tapi, mungkin perawat tidak melihat isyarat di tangan saya. Saya gerak-gerakkan terus jari-jari saya dengan gerakan seperti memutar keran. Mungkin juga yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu. Perasaan saya saja bahwa saya sedang menggerak-gerakkan jari, tapi sebenarnya tidak ada jari yang bergerak sama sekali. Bahkan, sebenarnya, barangkali juga tidak ada oksigen yang dialirkan ke hidung saya. Begitulah kalau sadar dan tidak sadar bercampur jadi satu.

Lama-lama, rasa sesak itu berkurang. Lalu, menjadi lega. Napas bisa ditarik dengan normal seperti biasa. Mata pun lama-lama bisa membuka. Agak berat memang, tapi ingin sekali membuka mata sebentar agar bisa melihat sekeliling. Kelihatanlah samar-samar bahwa saya sedang di ICU. Di ruang perawatan khusus setelah menjalani penggantian liver. Kesadaran ini datang tujuh jam setelah operasi.

“Saya hidup,” komentar spontan yang muncul, tapi tak terucapkan. Saya hidup. Operasi tidak gagal. Saya hidup.

Tentu saya amat bersyukur. Tapi, syukur saya tidak sampai mengabaikan rasa hormat saya kepada mereka yang telah belajar keras di universitas dan menggunakan akalnya secara sungguh-sungguh hingga melahirkan ilmu pengetahuan yang sangat maju. Saya bersyukur kepada Tuhan sekaligus hormat kepada ilmuwan.

Setelah senang karena masih hidup, barulah saya sadar bahwa begitu banyak instrumen yang ada di sekitar tempat saya berbaring. Kabel-kabel, selang-selang, dan saluran infus seperti bertaut-tautan. Suara tat-tit-tat-tit dari mesin-mesin elektronik di sekitar saya mendominasi pendengaran saya.

Rasa-rasa tidak enak mulai muncul satu per satu. Mula-mula rasa dada penuh dengan cairan lendir. Cairan itu harus segera bisa keluar sebagai dahak. Kalau tidak, akan membahayakan paru-paru. Begitulah bunyi petunjuk yang saya baca sebelum operasi. Untuk mengeluarkan lendir itu, saya harus berbuat seperti membatukkan diri keras-keras. Cara demikian juga saya ketahui dari buku petunjuk. Bahkan, sejak beberapa hari sebelum operasi, perawat sudah melatih cara berbatuk yang bisa mengeluarkan dahak. Waktu latihan, saya meraskan tidak ada kesulitan. “Apa sih sulitnya batuk?” kata saya dalam hati. “Uhuk! Uhuk!” Selesai. Perawat menyatakan saya berhasil menjalani latihan dengan tingkat kelulusan summa cum laude.

Tapi, latihan dan kenyataan ternyata sangat berbeda. Dalam praktik, ternyata saya sulit sekali lulus. Sudah saya usahakan batuk semirip-miripnya batuk waktu summa cum laude, tapi tidak juga berhasil. Sebagian mungkin karena saat itu saya sudah tidak lagi punya tenaga sebaik saat latihan. Setelah hampir dua hari tidak ada makanan apa pun yang masuk ke perut, tenaga pun rupanya ikut hilang. Namun, saya juga takut akan bahaya dahak itu terhadap paru-paru. Saya berusaha terus membatukkan diri. Sebatuk-batuknya.

Akhirnya broll! Dahak yang amat banyak bisa keluar. Napas terasa amat lega. Ketika saya tanya mengapa begitu sulit saya mengeluarkan dahak itu, perawat mengatakan bahwa itu normal saja. “Apakah saya terlalu meremehkan saat latihan?” tanya saya. “Tidak,” kata perawat. Saya tahu, itu hanya untuk menyenangkan hati saya. “Bagi perokok lebih sulit lagi mengeluarkan dahak itu,” ujar perawat lebih lanjut.

Meski sudah berhasil mendapatkan dua jenis kelegaan (bisa bernapas normal dan bisa mengeluarkan dahak dalam jumlah besar), tapi masih banyak yang membuat badan saya sangat tidak nyaman. Karena di lubang hidung masih ada dua selang yang dimasukkan sampai ke perut saya. Dalam dunia kedokteran, kedua selang itu dikenal dengan sebutan sonde.

Dua selang kecil itu punya tugas sendiri-sendiri. Yang satu untuk membuang sisa makanan dari lambung saya. Yang lain untuk mengirimkan makanan langsung ke usus saya. Mengapa langsung ke usus? Sebab, pertama, saya belum bisa makan sendiri. Kedua, karena pembuluh darah di esofagus (jalan makan yang menghubungkan mulut dengan lambung), peritonium (selaput dinding perut), dan usus saya masih rawan pecah sehingga perlu dilindungi. Ketiga, karena liver baru saya belum bisa “cari makan” sendiri. Sehingga perlu ada yang “mencarikan.”

Selain itu, masih ada empat selang lain yang menancap di leher saya. Satu selang masuk lewat lubang yang sengaja dibuat di bagian depan leher. Tiga lainnya masuk lewat pembuluh darah besar di leher kanan.

Satu selang yang dimasukkan lewat leher depan -di antara tulang belikat- gunanya untuk mengalirkan napas bantuan dan membersihkan kelebihan lendir di paru-paru (broncho toilet).

Saya diberi napas bantuan karena sampai beberapa jam pascaoperasi, saya kan belum bisa bernapas sendiri. Sehingga perlu dibantu. Agar “bantuan” itu bisa cepat sampai ke paru-paru, maka diambillah jalan pintas, yakni lewat tenggorokan.

Dan karena belum bisa bernapas sendiri, maka sisa lendir di paru-paru pun tidak bisa saya keluarkan sendiri dengan cara batuk atau berdahak, seperti yang sudah diajarkan perawat.

Sedangkan tiga selang lainnya masuk lewat pembuluh darah besar, yang dalam istilah kedokteran disebut dengan tri lumen atau central IV (baca : ai vi) line. Gunanya untuk mengalirkan semacam infus yang mengandung protein dan kalori tinggi. Infus jenis ini memang harus lewat pembuluh darah besar, tidak boleh lewat pembuluh darah di tangan seperti biasanya orang diinfus. Sebab, konsentrasinya sangat tinggi sehingga bisa merusak dinding pembuluh yang dilewati. Dinding pembuluh darah utama yang leher lebih kuat sehingga cukup kuat untuk dilewati infus jenis ini meski sampai tiga bulan secara terus-menerus.

Fungsi lain tri lumen adalah untuk memasukkan obat-obat injeksi yang harus lewat pembuluh darah dan mengambil sampel darah. Dengan begitu, bila perawat ingin mengambil sampel darah atau menyuntikkan obat, tak perlu lagi dengan menusuk-nusuk tangan saya.

Yang lebih istimewa dari tri lumen adalah bisa untuk memonitor kadar air dalam tubuh (central venus pressure=CVP). Sebab, salah satu ujung tri lumen bisa dihubungkan dengan alat monitor yang bisa menunjukkan perubahan kadar air di tubuh saya setiap menit, secara otomatis.
Bahwa di tangan saya masih ada semacam pentil yang biasa dihubungkan dengan selang infus, itu bukan disiapkan untuk cairan infus atau injeksi. Melainkan untuk transfusi (tambah darah) bila diperlukan.
Ketidaknyamanan lain yang saya rasakan saat itu adalah adanya alat pengukur tekanan darah yang dipasang di lengan kiri. Alat itu secara otomatis akan mencengkeram lengan saya sangat kuat setiap setengah jam sekali. Angka-angka tekanan darah otomatis keluar di layar monitor.

Itu belum semuanya. Karena masih ada sejumlah alat dan kabel yang ditempelkan di dada kiri dan kanan untuk mengecek denyut jantung. Kabel itu juga terhubung dengan layar monitor. Ujung jari tangan dan kaki juga dijepit dengan alat yang dihubungkan dengan kabel ke layar yang lain lagi.
Lengan kanan saya juga sedang dipasang jarum untuk mengalirkan berbagai jenis infus. Ujung selang infus itu bercabang-cabang karena lima macam cairan dari botol yang berbeda harus mengalir ke tubuh saya lewat satu jarum tersebut.

Melihat keruwetan di sekitar tubuh saya, saya mencoba untuk tidak merasa terganggu. Saya berusaha tidak memikirkan itu. Saya justru teringat humornya rekan Zainal Muttaqien, Dirut anak perusahan di Grup Kalimantan yang kini jadi direktur Jawa Pos. Yakni mengenai susah payahnya seseorang untuk menyelamatkan hidup (mungkin seperti saya ini), tapi meninggal oleh penyebab yang amat sepele.

“Jangan sampai nanti meninggalnya justru hanya gara-gara kejatuhan singkong di jalan raya.”
Apa kejatuhan singkong di jalan raya bisa membuat orang sampai meninggal?
“Lha singkongnya satu truk. Lalu, truknya nabrak kita!”

Humor khas orang Surabaya. Humor ludrukan. Tapi, itu bisa mengalihkan perhatian saya dari rasa ruwet dibeliti selang dan kabel. Setidaknya untuk sementara.

***
Pagi tanggal 7 Agustus 2007 itu, sebenarnya, saya ingin menghitung berapa banyak selang, botol, dan kabel yang saling berhubungan di tubuh saya. Ini agar saya bisa menggambarkannya dengan baik kalau kelak harus menuliskannya untuk pembaca. Namun, kesadaran saya dan tenaga saya tidak terlalu komplet pagi itu. Orang yang baru siuman setelah dibius selama 18 jam tidak memiliki tingkat konsentrasi yang sempurna.

Bahkan, saya tidak sepenuhnya mengerti apakah ketika saya mulai sadar itu, waktunya sudah siang atau masih malam. Lama sekali saya menebak-nebak: siangkah ini? Malamkah ini? Memang suasana ruang ICU sangat terang. Tapi, saya ragu apakah itu terangnya matahari atau terangnya lampu? Saya berusaha melihat jauh ke dinding, ke arah jam besar dipasang. Tapi, pandangan saya lamur. Pertama, sedang tidak menggunakan kacamata. Kedua, ya memang saya belum sepenuhnya punya kemampuan normal.

Ingin sekali saya berusaha mengalihkan pandangan ke kiri atau ke kanan, namun tidak bisa. Saya tidak mungkin bisa menoleh karena begitu banyak selang di leher. Apalagi kalau harus mendongakkan kepala untuk melihat sumber terang di belakang kepala saya. Tidak mungkin. Maka, saya tidak tahu apakah terang di balik kepala itu karena dinding kaca atau karena ada lampu yang dipasang di situ.

Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui situasi waktu, ya hanya dengan melihat jam di dinding sana itu. Tapi, sulit sekali untuk bisa melihat dengan jelas. Kelopak mata berat sekali. Hanya secara timbul tenggelam saya melihat secara kabur bahwa itu seperti jam 11.00-an. Tapi 11 malam atau 11 siang, saya sungguh ragu dengan kemampuan saya memperkirakan.

Ketika saya lihat ada perawat mendekat, saya bertanya, “Ji dian?” Jawabnya, “Jam sembilan”. Lalu, saya tanya lagi, “Wan shang, hai shi shang wu?” Dia jawab, jam sembilan siang! Tahulah saya bahwa saat itu sudah pagi hari. Berarti sudah satu malam saya tidak sadar sama sekali. Dan tahulah saya bahwa pandangan saya benar-benar gak sempurna. Jarum yang menunjuk jam 9 saya kira menunjuk angka 11. (bersambung)

No comments:

Post a Comment