Begitu Sadar, Teriak "Saya Hidup", tapi Tak Terucap
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (6)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
Begitu Sadar, Teriak “Saya Hidup”, tapi Tak Terucap. Suasana orang yang lagi mau siuman selalu saja begini: Mula-mula
terdengar dulu pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar kita.
Tapi, mata tidak mau membuka. Seperti orang yang ngantuknya luar biasa.
Apalagi seperti saya, yang baru saja dibius selama 18 jam. Suara-suara
itu tambah lama tambah jelas. Ingin sekali mata melihat siapa saja yang
bersuara itu, tapi tetap saja tidak punya kemampuan membuka kelopak mata
sendiri.
Sesaat kemudian, napas terasa sesak. Seperti orang yang lagi
kekurangan oksigen. Perasaan lantas seperti setengah berharap, setengah
putus asa. Berharap karena ternyata masih bisa bernapas, putus asa
karena jumlah oksigen kok seperti tidak segera cukup dan seperti
mengancam kehidupan. Rasanya kok seperti mau mati karena kekurangan
udara.
Saya yang sudah pengalaman beberapa kali dibius (meski dulu tidak
sampai 18 jam seperti saat penggantian liver kali ini), sadar bahwa saya
ini sedang dalam proses dari tidak sadar ke sadar. Saya yakin bahwa
saya segera mengatasi persoalan sesak napas itu. Tapi, kok sulit sekali
ya? Maka, saya tetap berusaha sekuat tenaga. Saya lantas memberikan
isyarat kepada perawat dengan tangan saya. Antara sadar dan tidak, saya
coba menggerakkan jari-jari tangan saya seperti sedang memutar keran.
Maksud saya, ini permintaan agar keran oksigen diperbesar.
Tapi, mungkin perawat tidak melihat isyarat di tangan saya. Saya
gerak-gerakkan terus jari-jari saya dengan gerakan seperti memutar
keran. Mungkin juga yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu. Perasaan
saya saja bahwa saya sedang menggerak-gerakkan jari, tapi sebenarnya
tidak ada jari yang bergerak sama sekali. Bahkan, sebenarnya, barangkali
juga tidak ada oksigen yang dialirkan ke hidung saya. Begitulah kalau
sadar dan tidak sadar bercampur jadi satu.
Lama-lama, rasa sesak itu berkurang. Lalu, menjadi lega. Napas bisa
ditarik dengan normal seperti biasa. Mata pun lama-lama bisa membuka.
Agak berat memang, tapi ingin sekali membuka mata sebentar agar bisa
melihat sekeliling. Kelihatanlah samar-samar bahwa saya sedang di ICU.
Di ruang perawatan khusus setelah menjalani penggantian liver. Kesadaran
ini datang tujuh jam setelah operasi.
“Saya hidup,” komentar spontan yang muncul, tapi tak terucapkan. Saya hidup. Operasi tidak gagal. Saya hidup.
Tentu saya amat bersyukur. Tapi, syukur saya tidak sampai mengabaikan
rasa hormat saya kepada mereka yang telah belajar keras di universitas
dan menggunakan akalnya secara sungguh-sungguh hingga melahirkan ilmu
pengetahuan yang sangat maju. Saya bersyukur kepada Tuhan sekaligus
hormat kepada ilmuwan.
Setelah senang karena masih hidup, barulah saya sadar bahwa begitu
banyak instrumen yang ada di sekitar tempat saya berbaring. Kabel-kabel,
selang-selang, dan saluran infus seperti bertaut-tautan. Suara
tat-tit-tat-tit dari mesin-mesin elektronik di sekitar saya mendominasi
pendengaran saya.
Rasa-rasa tidak enak mulai muncul satu per satu. Mula-mula rasa dada
penuh dengan cairan lendir. Cairan itu harus segera bisa keluar sebagai
dahak. Kalau tidak, akan membahayakan paru-paru. Begitulah bunyi
petunjuk yang saya baca sebelum operasi. Untuk mengeluarkan lendir itu,
saya harus berbuat seperti membatukkan diri keras-keras. Cara demikian
juga saya ketahui dari buku petunjuk. Bahkan, sejak beberapa hari
sebelum operasi, perawat sudah melatih cara berbatuk yang bisa
mengeluarkan dahak. Waktu latihan, saya meraskan tidak ada kesulitan.
“Apa sih sulitnya batuk?” kata saya dalam hati. “Uhuk! Uhuk!” Selesai.
Perawat menyatakan saya berhasil menjalani latihan dengan tingkat
kelulusan summa cum laude.
Tapi, latihan dan kenyataan ternyata sangat berbeda. Dalam praktik,
ternyata saya sulit sekali lulus. Sudah saya usahakan batuk
semirip-miripnya batuk waktu summa cum laude, tapi tidak juga berhasil.
Sebagian mungkin karena saat itu saya sudah tidak lagi punya tenaga
sebaik saat latihan. Setelah hampir dua hari tidak ada makanan apa pun
yang masuk ke perut, tenaga pun rupanya ikut hilang. Namun, saya juga
takut akan bahaya dahak itu terhadap paru-paru. Saya berusaha terus
membatukkan diri. Sebatuk-batuknya.
Akhirnya broll! Dahak yang amat banyak bisa keluar. Napas terasa amat
lega. Ketika saya tanya mengapa begitu sulit saya mengeluarkan dahak
itu, perawat mengatakan bahwa itu normal saja. “Apakah saya terlalu
meremehkan saat latihan?” tanya saya. “Tidak,” kata perawat. Saya tahu,
itu hanya untuk menyenangkan hati saya. “Bagi perokok lebih sulit lagi
mengeluarkan dahak itu,” ujar perawat lebih lanjut.
Meski sudah berhasil mendapatkan dua jenis kelegaan (bisa bernapas
normal dan bisa mengeluarkan dahak dalam jumlah besar), tapi masih
banyak yang membuat badan saya sangat tidak nyaman. Karena di lubang
hidung masih ada dua selang yang dimasukkan sampai ke perut saya. Dalam
dunia kedokteran, kedua selang itu dikenal dengan sebutan sonde.
Dua selang kecil itu punya tugas sendiri-sendiri. Yang satu untuk
membuang sisa makanan dari lambung saya. Yang lain untuk mengirimkan
makanan langsung ke usus saya. Mengapa langsung ke usus? Sebab, pertama,
saya belum bisa makan sendiri. Kedua, karena pembuluh darah di esofagus
(jalan makan yang menghubungkan mulut dengan lambung), peritonium
(selaput dinding perut), dan usus saya masih rawan pecah sehingga perlu
dilindungi. Ketiga, karena liver baru saya belum bisa “cari makan”
sendiri. Sehingga perlu ada yang “mencarikan.”
Selain itu, masih ada empat selang lain yang menancap di leher saya.
Satu selang masuk lewat lubang yang sengaja dibuat di bagian depan
leher. Tiga lainnya masuk lewat pembuluh darah besar di leher kanan.
Satu selang yang dimasukkan lewat leher depan -di antara tulang
belikat- gunanya untuk mengalirkan napas bantuan dan membersihkan
kelebihan lendir di paru-paru (broncho toilet).
Saya diberi napas bantuan karena sampai beberapa jam pascaoperasi,
saya kan belum bisa bernapas sendiri. Sehingga perlu dibantu. Agar
“bantuan” itu bisa cepat sampai ke paru-paru, maka diambillah jalan
pintas, yakni lewat tenggorokan.
Dan karena belum bisa bernapas sendiri, maka sisa lendir di paru-paru
pun tidak bisa saya keluarkan sendiri dengan cara batuk atau berdahak,
seperti yang sudah diajarkan perawat.
Sedangkan tiga selang lainnya masuk lewat pembuluh darah besar, yang
dalam istilah kedokteran disebut dengan tri lumen atau central IV (baca :
ai vi) line. Gunanya untuk mengalirkan semacam infus yang mengandung
protein dan kalori tinggi. Infus jenis ini memang harus lewat pembuluh
darah besar, tidak boleh lewat pembuluh darah di tangan seperti biasanya
orang diinfus. Sebab, konsentrasinya sangat tinggi sehingga bisa
merusak dinding pembuluh yang dilewati. Dinding pembuluh darah utama
yang leher lebih kuat sehingga cukup kuat untuk dilewati infus jenis ini
meski sampai tiga bulan secara terus-menerus.
Fungsi lain tri lumen adalah untuk memasukkan obat-obat injeksi yang
harus lewat pembuluh darah dan mengambil sampel darah. Dengan begitu,
bila perawat ingin mengambil sampel darah atau menyuntikkan obat, tak
perlu lagi dengan menusuk-nusuk tangan saya.
Yang lebih istimewa dari tri lumen adalah bisa untuk memonitor kadar
air dalam tubuh (central venus pressure=CVP). Sebab, salah satu ujung
tri lumen bisa dihubungkan dengan alat monitor yang bisa menunjukkan
perubahan kadar air di tubuh saya setiap menit, secara otomatis.
Bahwa di tangan saya masih ada semacam pentil yang biasa dihubungkan
dengan selang infus, itu bukan disiapkan untuk cairan infus atau
injeksi. Melainkan untuk transfusi (tambah darah) bila diperlukan.
Ketidaknyamanan lain yang saya rasakan saat itu adalah adanya alat
pengukur tekanan darah yang dipasang di lengan kiri. Alat itu secara
otomatis akan mencengkeram lengan saya sangat kuat setiap setengah jam
sekali. Angka-angka tekanan darah otomatis keluar di layar monitor.
Itu belum semuanya. Karena masih ada sejumlah alat dan kabel yang
ditempelkan di dada kiri dan kanan untuk mengecek denyut jantung. Kabel
itu juga terhubung dengan layar monitor. Ujung jari tangan dan kaki juga
dijepit dengan alat yang dihubungkan dengan kabel ke layar yang lain
lagi.
Lengan kanan saya juga sedang dipasang jarum untuk mengalirkan
berbagai jenis infus. Ujung selang infus itu bercabang-cabang karena
lima macam cairan dari botol yang berbeda harus mengalir ke tubuh saya
lewat satu jarum tersebut.
Melihat keruwetan di sekitar tubuh saya, saya mencoba untuk tidak
merasa terganggu. Saya berusaha tidak memikirkan itu. Saya justru
teringat humornya rekan Zainal Muttaqien, Dirut anak perusahan di Grup
Kalimantan yang kini jadi direktur Jawa Pos. Yakni mengenai susah
payahnya seseorang untuk menyelamatkan hidup (mungkin seperti saya ini),
tapi meninggal oleh penyebab yang amat sepele.
“Jangan sampai nanti meninggalnya justru hanya gara-gara kejatuhan singkong di jalan raya.”
Apa kejatuhan singkong di jalan raya bisa membuat orang sampai meninggal?
“Lha singkongnya satu truk. Lalu, truknya nabrak kita!”
Humor khas orang Surabaya. Humor ludrukan. Tapi, itu bisa mengalihkan
perhatian saya dari rasa ruwet dibeliti selang dan kabel. Setidaknya
untuk sementara.
***
Pagi tanggal 7 Agustus 2007 itu, sebenarnya, saya ingin menghitung
berapa banyak selang, botol, dan kabel yang saling berhubungan di tubuh
saya. Ini agar saya bisa menggambarkannya dengan baik kalau kelak harus
menuliskannya untuk pembaca. Namun, kesadaran saya dan tenaga saya tidak
terlalu komplet pagi itu. Orang yang baru siuman setelah dibius selama
18 jam tidak memiliki tingkat konsentrasi yang sempurna.
Bahkan, saya tidak sepenuhnya mengerti apakah ketika saya mulai sadar
itu, waktunya sudah siang atau masih malam. Lama sekali saya
menebak-nebak: siangkah ini? Malamkah ini? Memang suasana ruang ICU
sangat terang. Tapi, saya ragu apakah itu terangnya matahari atau
terangnya lampu? Saya berusaha melihat jauh ke dinding, ke arah jam
besar dipasang. Tapi, pandangan saya lamur. Pertama, sedang tidak
menggunakan kacamata. Kedua, ya memang saya belum sepenuhnya punya
kemampuan normal.
Ingin sekali saya berusaha mengalihkan pandangan ke kiri atau ke
kanan, namun tidak bisa. Saya tidak mungkin bisa menoleh karena begitu
banyak selang di leher. Apalagi kalau harus mendongakkan kepala untuk
melihat sumber terang di belakang kepala saya. Tidak mungkin. Maka, saya
tidak tahu apakah terang di balik kepala itu karena dinding kaca atau
karena ada lampu yang dipasang di situ.
Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui situasi waktu, ya hanya
dengan melihat jam di dinding sana itu. Tapi, sulit sekali untuk bisa
melihat dengan jelas. Kelopak mata berat sekali. Hanya secara timbul
tenggelam saya melihat secara kabur bahwa itu seperti jam 11.00-an. Tapi
11 malam atau 11 siang, saya sungguh ragu dengan kemampuan saya
memperkirakan.
Ketika saya lihat ada perawat mendekat, saya bertanya, “Ji dian?”
Jawabnya, “Jam sembilan”. Lalu, saya tanya lagi, “Wan shang, hai shi
shang wu?” Dia jawab, jam sembilan siang! Tahulah saya bahwa saat itu
sudah pagi hari. Berarti sudah satu malam saya tidak sadar sama sekali.
Dan tahulah saya bahwa pandangan saya benar-benar gak sempurna. Jarum
yang menunjuk jam 9 saya kira menunjuk angka 11. (bersambung)
No comments:
Post a Comment