Sudah Tiga Jam Dimatikan, Belum Juga Di "Garap"
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (4)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
Ketika memasuki ruang operasi, saya tertegun. Ruangnya sangat bersih,
kinclong (karena didominasi stainless steel), dan modern. Begitu masuk,
yang terdengar adalah musik soft-rock berbahasa Mandarin yang lagi
digemari anak muda sekarang.
Belakangan saya tahu judul lagu tersebut adalah Mei Fei Se Wu yang artinya “bulu mata menari-nari”, yang dibawakan oleh penyanyi top Hongkong Zheng Xiu Wen. Suara musik itu cukup keras sehingga suasananya ingar-bingar. Rupanya, sambil menunggu kedatangan saya, beberapa petugas muda menyenangi lagu itu. Suasananya pun menjadi seperti di sebuah disko, bukan seperti di sebuah tempat yang menyeramkan.
Belakangan saya tahu judul lagu tersebut adalah Mei Fei Se Wu yang artinya “bulu mata menari-nari”, yang dibawakan oleh penyanyi top Hongkong Zheng Xiu Wen. Suara musik itu cukup keras sehingga suasananya ingar-bingar. Rupanya, sambil menunggu kedatangan saya, beberapa petugas muda menyenangi lagu itu. Suasananya pun menjadi seperti di sebuah disko, bukan seperti di sebuah tempat yang menyeramkan.
Mata saya terus beredar dari dinding ke dinding. Dari alat ke alat.
Saya ingin tahu apa saja yang ada di ruang itu agar, kalau operasi
berhasil, saya bisa menuliskan deskripsinya secara baik.
Dokter belum pada datang, karena memang pada tahap ini semua
pekerjaan masih urusan perawat. Beberapa perawat membicarakan saya. “Ini
orang asing, kita harus pakai bahasa apa?” ujar salah seorang di antara
mereka. “Dia orang Indonesia, tapi bisa berbahasa Mandarin,” jawab yang
lain.
Maka saya sela pembicaraan mereka: Ya, saya bisa bahasa Mandarin
sedikit-sedikit. Mereka merasa lega, lalu memberikan beberapa perintah
mengenai posisi badan saya. Harus bergeser sini dikit dan harus naik
sedikit. Lalu, lengan saya diperiksa seperti akan memasang selang.
Melihat tangan saya sudah dipasangi selang selama 3 bulan lebih, perawat
memutuskan tidak mau pakai itu. Maka, dia minta lengan kanan saya
dimasuki jarum untuk memasukkan beberapa zat kimia ke badan saya.
Musik soft-rock masih terus ingar-bingar. Beberapa perawat mengikuti
suara musik itu dengan suara mulutnya tanpa kata-kata. Rupanya dia
sangat menikmati lagu itu. Perawat yang lain mulai memasukkan cairan
tertentu ke lengan saya. Hanya dalam beberapa saat, saya tidak lagi
mendengar suara musik itu. Juga tidak mendengar apa-apa lagi. Saya sudah
dimatikan untuk persiapan operasi. Saya baru akan dihidupkan lagi,
nanti, 18 jam kemudian.
***
Sejak saya masuk ruang operasi pukul 14.00, istri, anak, dan sahabat
saya Robert Lai kembali ke kamar saya di lantai 11. Tepatnya kamar 1102.
Di kamar ini mereka menantikan perkembangan operasi saya. Perawat akan
selalu mengabarkan apa pun yang terjadi di ruang operasi.
Sementara menunggu kabar, Robert yang sudah 11 bulan menemani saya ke
mana pun pergi memutuskan untuk membersihkan kamar saya. Rumah sakit
ini, terutama gedung baru ini, memang sudah sangat bersih. Tapi, Robert
ingin kamar saya lebih bersih lagi. Tidak boleh ada virus atau sumber
virus yang akan membahayakan pascaoperasi saya. Sudah diketahui bahwa
virus pascaoperasi adalah pembunuh paling utama bagi pasien yang baru
melakukan transplantasi organ.
Rumah sakit juga sudah memberi kami buku panduan mengenai bagaimana
menjaga agar tidak terkena virus. Buku itu berbahasa Mandarin, lalu kami
terjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar seluruh keluarga saya memahami
isinya. Penerjemahan ini sangat bermanfaat karena banyak sekali pasien
dari negara-negara Arab dan Pakistan yang kemudian minta kopinya kepada
kami.
Kamar saya di lantai 11 terdiri atas dua ruang. Ada ruang tidur
pasien dengan kamar mandi khusus dan ruang pakaian. Lalu, ada satu ruang
tamu yang besar di sebelahnya. Di ruang tamu ini ada satu set TV besar,
dispenser air mineral, satu set sofa, lemari es besar, dan satu set
dapur kering. Di dapur kering ini ada microwave, rice cooker, water
boiler, dan keran panas dingin.
Di ruang tamu ini ada kamar mandi dan toiletnya. Istri saya tidur di
ruang ini. Yakni, di sebuah kursi yang kalau siang bisa untuk menambah
kapasitas sofa, tapi kalau malam bisa dipanjangkan menjadi tempat tidur
biasa. Di belakang sofa, ada satu meja makan dari kaca besar untuk makan
bersama. Tapi, kami tidak makan di situ. Meja ini saya pakai untuk
“kantor dalam pengasingan”. Kami pasang komputer, laptop, printer, dan
internet. Saya memang dapat menggunakan internet kecepatan tinggi di
ruang saya ini.
Dari kamar inilah saya bisa membaca semua laporan perusahaan,
mengirim dan menjawab e-mail, dan tak jarang juga mengadakan rapat.
Terutama rapat dengan partner-partner usaha yang dari Tiongkok.
Misalnya, saya harus panggil partner yang membangun pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) di Kalimantan untuk mencari jalan agar proyek selesai
sesuai dengan jadwal. Sebab, krisis listrik di daerah itu sudah tidak
ketulungan.
Di dinding-dinding kamar tamu yang kosong, lantas saya pasangi
asesori. Dinding sebelah kanan saya tempeli peta Tiongkok yang besar
sehingga mudah bagi saya untuk melihat negara ini secara keseluruhan. Di
dinding satunya saya pasang peta Indoensia. Lalu, di belakang meja
besar saya pasangi white board. Bukan saja untuk rapat, juga untuk saya
pakai belajar bahasa Mandarin.
Sambil menunggu giliran operasi yang tidak menentu waktunya, saya
memang memutuskan untuk meneruskan belajar bahasa Mandarin. Sehari empat
jam: pagi dua jam, sore dua jam. Saya mendatangkan guru dari IKIP di
kota ini. Tiga orang guru secara bergantian mengajari saya bahasa
Mandarin.
Saya juga beli proyektor yang saya hubungkan dengan laptop yang
software-nya Mandarin. Ini saya pakai untuk latihan menulis cerita dalam
bahasa dan tulisan Mandarin. Lalu, dari kursi di sebelah saya, guru
saya tinggal melihat sorotan proyektor. Lalu, memberikan koreksi mana
yang saya salah dalam menggunakan kata-kata, atau salah memilih huruf.
Sampai sehari sebelum operasi saya masih “masuk kelas”, seperti besok
tidak akan terjadi apa-apa. Ada juga sedikit tebersit perasaan, untuk
apa ya saya susah-susah belajar begini. Toh, kalau operasi gagal, besok
saya sudah tidak akan bisa lagi memanfaatkan hasil belajar saya ini.
Malaikat toh akan bertanya kepada saya di akhirat sana dengan (eh, pakai
bahasa apa, ya?) bahasa malaikat sendiri.
Tapi, ketika saya berada di ruang operasi, semua peralatan yang ada
di kamar ini dibersihkan. Buku-buku, koran-koran, dan kertas-kertas yang
selama ini di mana-mana diangkut ke apartemen. Semua kursi dan meja
dicuci. Tempat tidur saya lebih-lebih lagi, disterilkan. Lantainya
menjadi mengilap. Bersih dan kinclong.
Dua jam setelah operasi bersih-bersih itu, perawat masuk memberikan
kabar bahwa sampai menjelang pukul 17.00 itu saya belum dioperasi.
“Hah?” gumam Robert seperti tidak percaya. Berarti sudah hampir tiga jam
saya di ruang operasi dan sudah dalam keadaan dimatikan, tapi belum
juga di-”garap”.
“Livernya baru akan datang sekitar pukul 17.00,” ujar perawat itu. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment