Pasar Induk Pemkot Lebih Realistis
Pilih pasar induk yang mana? Yang akan dibangun provinsi atau yang akan dibangun Kota Surabaya?
Bagi saya, yang mana pun, yang penting cepat selesai.
Soal pasar induk ini kita sudah kehilangan waktu empat tahun.
Surabaya sudah sangat ketinggalan dengan kota seperti Tanjungredep
sekalipun! Tanjungredep adalah satu kota kabupaten yang letaknya nun di
pelosok Kaltim. Jangan sampai Surabaya harus belajar ke Tanjungredep,
Berau!
Yang realistis adalah menyilakan wali kota Surabaya merealisasikan
rencana pasar induk 15 ha di Dupak itu. Perencanaannya sudah lebih
matang. Lokasinya juga lebih strategis. Luasannya, meski tidak 50 ha,
cukup memadai: 15 ha. Bahkan, lebih realistis karena tidak memakan biaya
yang sangat besar sebagaimana membangun lahan 50 ha.
Lalu, bagaimana rencana pasar induk milik provinsi di Jemundo itu?
Lupakan sementara. Jangan paksakan membangun di sana hanya dengan
alasan sudah telanjur membeli tanahnya. Tanah itu tidak akan hilang.
Juga tidak akan turun nilainya. Tanah 50 ha tersebut akan tetap jadi
aset berharga. Masa depan tetap memerlukan tanah yang luasnya memadai.
Kelak semakin sulit mencari tanah seluas itu di sekitar Surabaya.
Biarkan saja tanah tersebut jadi aset yang terawat dan terjaga.
Dalam bisnis, ada doktrin ”rugi Rp 10 miliar lebih baik daripada rugi
Rp 500 miliar”. Semua kerugian adalah jelek. Tapi, rugi kecil tetap
lebih baik daripada rugi besar. Karena itu, dalam bisnis, ada doktrin
”harus tahu kapan harus exit”. Soal pasar induk Jemundo, pemerintah
provinsi harus tahu bahwa kini saatnyalah ”exit”. Pemprov memang sudah
rugi Rp 50 miliaran, namun kalau pasar induk itu dipaksakan, akan rugi
lebih banyak lagi. Toh, kerugian Rp 50 miliar tersebut bukan kerugian
yang nyata. Bahkan, saya menyebutnya tidak rugi sama sekali. Menyimpan
lahan seluas 50 ha itu sama dengan menyimpan emas.
Memang ada alasan idealisme yang kuat untuk membangun pasar induk
itu. Yakni, untuk menolong petani se-Jatim. Tapi, idealisme tersebut
bukan hilang kalau pasar induk dibangun oleh wali kota. Wali kota punya
kepentingan lebih: mengatasi pasar-pasarnya yang terus meluber di tengah
kota. Wali kota tidak bisa menunggu sesuatu yang di luar kewenangannya
untuk membenahi semua itu. Idealisme pemprov untuk membantu petani
se-Jatim toh bisa diakomodasikan di sini.
Tapi, yang lebih utama adalah: jangan lagi provinsi punya terlalu
banyak perusahaan daerah. Sejak awal, saya sudah menentang kebijakan
menambah terus perusahaan daerah. Bukan tugas pemerintah mengurus
perusahaan. Tugas pemerintah adalah mengurus rakyat. Waktu pembentukan
PT PWU dulu (dan karena itu saya mau jadi Dirutnya yang selama tujuh
tahun ini tidak mau digaji sama sekali) dimaksudkan agar perusda yang
banyak itu jadi satu saja. Tapi, kini jumlah perusda sudah banyak lagi!
Idealnya, pemprov hanya punya PT PWU (ini pun kelak harus
di-IPO-kan), Bank Jatim, dan BPR. Sudah lama saya meneriakkan ini. Tapi,
kenyataannya sekarang pemprov punya perusahaan banyak sekali, bahkan
termasuk di bidang jual beli saham. Saya sering menegaskan, sama sekali
bukan urusan pemerintah daerah untuk terjun ke bisnis. Apalagi sampai ke
bisnis saham.
Lalu, mau diapakan semua perusahaan itu? Saya sering mengatakan harus
di bawah PT PWU. Kalau keengganan itu hanya karena sayalah Dirut PT
PWU, saya saja yang diganti. Sudah banyak kali saya mengatakan itu. Toh,
sudah sejak tiga tahun yang lalu, saya selalu mengajukan permintaan
untuk berhenti.
Kini ada momentum. Wali kota Surabaya mau membangun pasar induk
sendiri yang bisa lebih cepat terwujud. Sebaiknya, semua pihak mendukung
dan memberi kesempatan kepada wali kota Surabaya untuk mewujudkannya.
(*)
No comments:
Post a Comment