Monday, November 10, 2008

Pasar Induk Pemkot Lebih Realistis

Senin, 10 November 2008
Pasar Induk Pemkot Lebih Realistis

Pilih pasar induk yang mana? Yang akan dibangun provinsi atau yang akan dibangun Kota Surabaya?
Bagi saya, yang mana pun, yang penting cepat selesai.

Soal pasar induk ini kita sudah kehilangan waktu empat tahun. Surabaya sudah sangat ketinggalan dengan kota seperti Tanjungredep sekalipun! Tanjungredep adalah satu kota kabupaten yang letaknya nun di pelosok Kaltim. Jangan sampai Surabaya harus belajar ke Tanjungredep, Berau!

Yang realistis adalah menyilakan wali kota Surabaya merealisasikan rencana pasar induk 15 ha di Dupak itu. Perencanaannya sudah lebih matang. Lokasinya juga lebih strategis. Luasannya, meski tidak 50 ha, cukup memadai: 15 ha. Bahkan, lebih realistis karena tidak memakan biaya yang sangat besar sebagaimana membangun lahan 50 ha.

Lalu, bagaimana rencana pasar induk milik provinsi di Jemundo itu?
Lupakan sementara. Jangan paksakan membangun di sana hanya dengan alasan sudah telanjur membeli tanahnya. Tanah itu tidak akan hilang. Juga tidak akan turun nilainya. Tanah 50 ha tersebut akan tetap jadi aset berharga. Masa depan tetap memerlukan tanah yang luasnya memadai. Kelak semakin sulit mencari tanah seluas itu di sekitar Surabaya. Biarkan saja tanah tersebut jadi aset yang terawat dan terjaga.

Dalam bisnis, ada doktrin ”rugi Rp 10 miliar lebih baik daripada rugi Rp 500 miliar”. Semua kerugian adalah jelek. Tapi, rugi kecil tetap lebih baik daripada rugi besar. Karena itu, dalam bisnis, ada doktrin ”harus tahu kapan harus exit”. Soal pasar induk Jemundo, pemerintah provinsi harus tahu bahwa kini saatnyalah ”exit”. Pemprov memang sudah rugi Rp 50 miliaran, namun kalau pasar induk itu dipaksakan, akan rugi lebih banyak lagi. Toh, kerugian Rp 50 miliar tersebut bukan kerugian yang nyata. Bahkan, saya menyebutnya tidak rugi sama sekali. Menyimpan lahan seluas 50 ha itu sama dengan menyimpan emas.

Memang ada alasan idealisme yang kuat untuk membangun pasar induk itu. Yakni, untuk menolong petani se-Jatim. Tapi, idealisme tersebut bukan hilang kalau pasar induk dibangun oleh wali kota. Wali kota punya kepentingan lebih: mengatasi pasar-pasarnya yang terus meluber di tengah kota. Wali kota tidak bisa menunggu sesuatu yang di luar kewenangannya untuk membenahi semua itu. Idealisme pemprov untuk membantu petani se-Jatim toh bisa diakomodasikan di sini.

Tapi, yang lebih utama adalah: jangan lagi provinsi punya terlalu banyak perusahaan daerah. Sejak awal, saya sudah menentang kebijakan menambah terus perusahaan daerah. Bukan tugas pemerintah mengurus perusahaan. Tugas pemerintah adalah mengurus rakyat. Waktu pembentukan PT PWU dulu (dan karena itu saya mau jadi Dirutnya yang selama tujuh tahun ini tidak mau digaji sama sekali) dimaksudkan agar perusda yang banyak itu jadi satu saja. Tapi, kini jumlah perusda sudah banyak lagi!

Idealnya, pemprov hanya punya PT PWU (ini pun kelak harus di-IPO-kan), Bank Jatim, dan BPR. Sudah lama saya meneriakkan ini. Tapi, kenyataannya sekarang pemprov punya perusahaan banyak sekali, bahkan termasuk di bidang jual beli saham. Saya sering menegaskan, sama sekali bukan urusan pemerintah daerah untuk terjun ke bisnis. Apalagi sampai ke bisnis saham.

Lalu, mau diapakan semua perusahaan itu? Saya sering mengatakan harus di bawah PT PWU. Kalau keengganan itu hanya karena sayalah Dirut PT PWU, saya saja yang diganti. Sudah banyak kali saya mengatakan itu. Toh, sudah sejak tiga tahun yang lalu, saya selalu mengajukan permintaan untuk berhenti.

Kini ada momentum. Wali kota Surabaya mau membangun pasar induk sendiri yang bisa lebih cepat terwujud. Sebaiknya, semua pihak mendukung dan memberi kesempatan kepada wali kota Surabaya untuk mewujudkannya. (*)

No comments:

Post a Comment