Bernostalgia dengan Foto-Foto Hitam Putih Bung Karno
Mencoba Hotel "Kempinski" Indonesia yang Baru (3-Habis)
Usai mandi, saya ingin turun ke lobi. Teman saya sudah menunggu di
lobi Hotel Kempinski Indonesia (d/h Hotel Indonesia) ini. Begitu keluar
kamar, saya kembali terpikir bagaimana bisa membuat koridor ini lebih
nyaman. Saya pun menyusuri koridor itu dengan perhatian penuh ke
jendela-jendela tipuan yang terbuat dari kaca itu.
Sampai tiba di lift terdekat, tetap saja tidak keluar ide bagaimana
membuat koridor itu terasa lebih lapang. Saya langsung masuk ke salah
satu dari dua lift yang berjajar di situ. Lalu saya pencet tombol “L”
yang dugaan saya pasti singkatan dari lobby. Eh, ternyata bukan. Tiba di
lantai itu saya tidak mendapatkan lobby.
Saya naik kembali ke lantai enam. Keluar dari lift saya perhatikan
tanda-tanda, jangan-jangan saya salah memilih lift. Logika saya mestinya
tidak salah. Semua orang, menurut akal sehat, tentu akan selalu mencari
lift terdekat. Maka itulah lift terdekat. Jadi, akal saya sebenarnya
masih sehat. Apalagi, tidak ada petunjuk sama sekali bahwa penghuni
tidak boleh menggunakan lift terdekat itu.
Saya pun mencari-cari lift yang lain. Oh, di sebelahnya ada dua lift
lagi yang juga berjajar. Saya pun masuk. Kali ini saya merasa pasti
inilah lift yang benar. Ternyata saya salah lagi. Lift ini lift barang
yang juga tidak bisa dipakai ke lobi. Sekali lagi saya tidak melihat
tanda apa pun bahwa lift itu lift barang, kecuali dinding-dindingnya
yang tahan benturan. Apalagi, saya juga baru melihat banyak orang keluar
dari lift itu. Logika saya: ini bukan lift barang.
Saya pun naik lagi ke lantai 6. Barulah saya benar di langkah ketiga.
Saya gunakan lift yang benar-benar benar. Di lokasi itu ternyata ada
enam lift, berjajar dua-dua. Tidak ada petunjuk apa pun mana lift yang
ke mana. Setelah bertanya, barulah saya tahu, jajaran lift terdekat tadi
adalah lift untuk apartemen. Jajaran lift yang tengah untuk barang.
Sedangkan jajaran yang satunya lagi barulah untuk penghuni hotel.
Besok paginya, ketika akan makan pagi, saya tidak salah lagi. Saya
sudah bisa memilih lift dengan benar. Bukan karena sudah ada
petunjuknya, melainkan karena saya selalu mengingat-ingatnya sejak
sebelum tidur. Besok pagi saya tidak boleh salah lagi dalam memilih lift
yang mana. Sampai-sampai terbawa ke mimpi. Saya ingat ketika menjadi
anggota MPR dulu, pernah diinapkan di Hotel Indonesia. Rasanya waktu itu
memang banyak sekali lift di situ. Rupanya lift-lift tersebut masih
sama tempatnya, hanya kali ini dibeda-bedakan penggunaannya.
Pagi itu sebenarnya saya mengharapkan bisa makan pagi agak banyak.
Maklum, harganya juga Rp 350.000 per orang. Tapi, makanan yang ada
sangat standar “untuk ukuran hotel dengan tarif Rp 2,5 juta semalam.
Jadi, tidak banyak pilihan. Tidak apa-apa. Toh saya harus segera ke
bandara menuju ke Balikpapan. Baik makanan maupun tata ruang coffee shop
itu sangat biasa. Kecuali ada beberapa kursi yang ditata di luar ruang
sehingga ada pilihan bagi orang yang mau udara bebas atau barangkali mau
merokok. Tapi, karena kolam airnya belum selesai, kursi-kursi itu hanya
menghadap plester-plester semen di sana-sini.
Oh, ada yang mengesankan. Ada tiga foto besar hitam putih yang
menghiasi dinding coffee shop itu. Foto-foto itu pun bisa menimbulkan
nostalgia yang jauh. Paling kiri ada foto Bung Karno dengan kegagahan
uniform kepresidenannya dan tongkat komandonya. Bung Karno dalam foto
itu lagi dalam posisi seperti berbisik kepada gadis cantik berambut
pirang. Ya, semua orang tahu: dialah Marilyn Monroe. Bintang film simbol
seks yang mati bunuh diri justru ketika masih seksi-seksinya.
Melihat foto itu kesan yang muncul adalah: siapa yang sebenarnya jago seks” Yang berbisik atau yang lagi mendengarkan?
Di bagian tengah barulah foto yang menimbulkan kesan bertemunya dua
jagoan dunia: Bung Karno dan Kennedy. Sayangnya, Kennedy mati tertembak
tidak lama setelah itu dan presiden AS berikutnya tidak mau meneruskan
komitmen Kennedy kepada Indonesia. Jadilah Bung Karno “patah hati” dan
berpaling ke Uni Soviet dan memusuhi Amerika. Lalu Amerika memusuhi Bung
Karno dan kelak pada 1965 ikut menggulingkannya.
Foto yang paling kanan adalah Bung Karno dengan para penari cilik
dari Bali. Tiga-tiganya menimbulkan kesan sendiri-sendiri yang sangat
jauh. Saya sempat berfoto di dekat situ. Itulah, bagi saya, bagian yang
paling mengesankan dari hotel baru yang asal usulnya dibangun dengan
harta pampasan perang dari Jepang itu.(*)
No comments:
Post a Comment