Friday, April 3, 2009

Bernostalgia dengan Foto-Foto Hitam Putih Bung Karno

Jum’at, 03 April 2009 , 06:26:00 
Bernostalgia dengan Foto-Foto Hitam Putih Bung Karno
Mencoba Hotel "Kempinski" Indonesia yang Baru (3-Habis)

Usai mandi, saya ingin turun ke lobi. Teman saya sudah menunggu di lobi Hotel Kempinski Indonesia (d/h Hotel Indonesia) ini. Begitu keluar kamar, saya kembali terpikir bagaimana bisa membuat koridor ini lebih nyaman. Saya pun menyusuri koridor itu dengan perhatian penuh ke jendela-jendela tipuan yang terbuat dari kaca itu.

Sampai tiba di lift terdekat, tetap saja tidak keluar ide bagaimana membuat koridor itu terasa lebih lapang. Saya langsung masuk ke salah satu dari dua lift yang berjajar di situ. Lalu saya pencet tombol “L” yang dugaan saya pasti singkatan dari lobby. Eh, ternyata bukan. Tiba di lantai itu saya tidak mendapatkan lobby.

Saya naik kembali ke lantai enam. Keluar dari lift saya perhatikan tanda-tanda, jangan-jangan saya salah memilih lift. Logika saya mestinya tidak salah. Semua orang, menurut akal sehat, tentu akan selalu mencari lift terdekat. Maka itulah lift terdekat. Jadi, akal saya sebenarnya masih sehat. Apalagi, tidak ada petunjuk sama sekali bahwa penghuni tidak boleh menggunakan lift terdekat itu.

Saya pun mencari-cari lift yang lain. Oh, di sebelahnya ada dua lift lagi yang juga berjajar. Saya pun masuk. Kali ini saya merasa pasti inilah lift yang benar. Ternyata saya salah lagi. Lift ini lift barang yang juga tidak bisa dipakai ke lobi. Sekali lagi saya tidak melihat tanda apa pun bahwa lift itu lift barang, kecuali dinding-dindingnya yang tahan benturan. Apalagi, saya juga baru melihat banyak orang keluar dari lift itu. Logika saya: ini bukan lift barang.

Saya pun naik lagi ke lantai 6. Barulah saya benar di langkah ketiga. Saya gunakan lift yang benar-benar benar. Di lokasi itu ternyata ada enam lift, berjajar dua-dua. Tidak ada petunjuk apa pun mana lift yang ke mana. Setelah bertanya, barulah saya tahu, jajaran lift terdekat tadi adalah lift untuk apartemen. Jajaran lift yang tengah untuk barang. Sedangkan jajaran yang satunya lagi barulah untuk penghuni hotel.

Besok paginya, ketika akan makan pagi, saya tidak salah lagi. Saya sudah bisa memilih lift dengan benar. Bukan karena sudah ada petunjuknya, melainkan karena saya selalu mengingat-ingatnya sejak sebelum tidur. Besok pagi saya tidak boleh salah lagi dalam memilih lift yang mana. Sampai-sampai terbawa ke mimpi. Saya ingat ketika menjadi anggota MPR dulu, pernah diinapkan di Hotel Indonesia. Rasanya waktu itu memang banyak sekali lift di situ. Rupanya lift-lift tersebut masih sama tempatnya, hanya kali ini dibeda-bedakan penggunaannya.

Pagi itu sebenarnya saya mengharapkan bisa makan pagi agak banyak. Maklum, harganya juga Rp 350.000 per orang. Tapi, makanan yang ada sangat standar “untuk ukuran hotel dengan tarif Rp 2,5 juta semalam. Jadi, tidak banyak pilihan. Tidak apa-apa. Toh saya harus segera ke bandara menuju ke Balikpapan. Baik makanan maupun tata ruang coffee shop itu sangat biasa. Kecuali ada beberapa kursi yang ditata di luar ruang sehingga ada pilihan bagi orang yang mau udara bebas atau barangkali mau merokok. Tapi, karena kolam airnya belum selesai, kursi-kursi itu hanya menghadap plester-plester semen di sana-sini.

Oh, ada yang mengesankan. Ada tiga foto besar hitam putih yang menghiasi dinding coffee shop itu. Foto-foto itu pun bisa menimbulkan nostalgia yang jauh. Paling kiri ada foto Bung Karno dengan kegagahan uniform kepresidenannya dan tongkat komandonya. Bung Karno dalam foto itu lagi dalam posisi seperti berbisik kepada gadis cantik berambut pirang. Ya, semua orang tahu: dialah Marilyn Monroe. Bintang film simbol seks yang mati bunuh diri justru ketika masih seksi-seksinya.

Melihat foto itu kesan yang muncul adalah: siapa yang sebenarnya jago seks” Yang berbisik atau yang lagi mendengarkan?

Di bagian tengah barulah foto yang menimbulkan kesan bertemunya dua jagoan dunia: Bung Karno dan Kennedy. Sayangnya, Kennedy mati tertembak tidak lama setelah itu dan presiden AS berikutnya tidak mau meneruskan komitmen Kennedy kepada Indonesia. Jadilah Bung Karno “patah hati” dan berpaling ke Uni Soviet dan memusuhi Amerika. Lalu Amerika memusuhi Bung Karno dan kelak pada 1965 ikut menggulingkannya.

Foto yang paling kanan adalah Bung Karno dengan para penari cilik dari Bali. Tiga-tiganya menimbulkan kesan sendiri-sendiri yang sangat jauh. Saya sempat berfoto di dekat situ. Itulah, bagi saya, bagian yang paling mengesankan dari hotel baru yang asal usulnya dibangun dengan harta pampasan perang dari Jepang itu.(*)

No comments:

Post a Comment