Bimbang Tentukan Siapa Yang Tanda Tangan Teratas
Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (3-Habis)
Saat membuat kesepakatan rahasia, 18 petani di desa amat miskin itu siap
menerima risiko, termasuk dihukum mati. Apa kaitan ide maju mereka
dengan posisi pemimpin pusat, Deng Xiaoping? Berikut catatan terakhir
Chairman/CEO Jawa Pos Dahlan Iskan.
KINI Desa Xiao Gang sudah berubah. Kampungnya masih tetap kecil dan jalannya tetap satu jlirit,
satu jalur. Tapi, sudah serbamodern. Letaknya yang dulu begitu di
pedalaman kini sudah terjangkau dengan mudah. Tinggal sekitar 10 km dari
mulut jalan tol yang menghubungkan seluruh negara. Jalan desa itu
sendiri sudah disemen dengan taman di kiri-kanannya.
Sekitar 80 rumah di kiri-kanan jalan itu juga sudah baru. Rata-rata
terbuat dari beton dua tingkat, mirip bangunan ruko. Rumah Yan Hongchang
sendiri tiga tingkat. Kalau toh masih ada satu rumah yang asli
(yang lantainya tanah, temboknya tanah, dan atapnya daun), rumah itu
memang dipertahankan keasliannya untuk monumen. Tentu dibilang asli
benar juga tidak. Halamannya sudah dibuat indah, dengan tanaman pohon
yang rindang. Di pintu masuknya juga sudah dibuatkan gerbang untuk
pemeriksaan karcis: Rp 20.000 per orang.
Tentu saya harus masuk ke rumah itu. Benar-benar masih asli. Di rumah
inilah peristiwa bersejarah 30 tahun yang lalu itu dilakukan. Tidak ada
perabotan apa pun kecuali tempat tidur dari kayu yang reot. Saya
membayangkan alangkah dinginnya di musim salju. Ruangan rumah ini
sekitar 4 x 6 meter. Di tembok kanan ada lubang sebesar orang berdiri.
Saya melongokkan kepala ke dalam lubang itu. Gelap sekali. Tapi,
ternyata inilah ruangan yang penting. Di ruang sempit dan gelap itulah
di malam akhir Desember 1978 itu 18 petani berkumpul berpepet-pepetan.
Saya membayangkan mereka pasti masuk ke ruangan ini sambil membungkukkan
badan karena lubang itu agak rendah. Bahwa di dalam ruang itu mereka
agak berimpitan, rasanya justru lebih hangat. Di ruangan ini ada satu
balai-balai kayu, meja kayu rendah, dan tiga dingklik (lonjoran
kayu panjang yang bisa dipakai untuk duduk empat orang berimpitan) dan
tiga potongan kayu yang difungsikan juga untuk tempat duduk.
Di situlah 18 petani merundingkan dan menuliskan kesepakatan rahasia
untuk mengatasi ancaman kematian akibat kelaparan yang bertahun-tahun.
Orang-orang itu mengenakan jaket dingin yang terbuat dari dua lapis kain
yang di dalamnya diisi serat-serat kayu. Tentu juga sudah penuh
tambalan di sana-sini. Mereka bersepakat membuat perjanjian rahasia yang
panjangnya (dalam versi asli, Red) satu kalimat terdiri atas 79 kata:
membagi tanah komunal per keluarga dan masing-masing bertanggung jawab
menyetorkan hasil panen ke negara dan kalau sukses sisa setoran untuk
keuntungan masing-masing dengan risiko kalau gagal siap dihukum mati
dengan kesepakatan yang tidak dihukum harus ikut membesarkan anak orang
yang dihukum sampai berumur 18 tahun.
Ketika sampai kepada siapa yang harus berkorban bila perjanjian itu
diketahui penguasa, mereka mulai bimbang. Mula-mula disepakati dua tokoh
desa itu yang mengambil risiko. Yakni, dengan menaruh tanda tangan
keduanya di posisi paling atas. Keduanyalah yang siap menerima hukuman
kalau kesepakatan mereka itu dianggap salah oleh penguasa. Yang satu
adalah Yan Hongchang dan satunya lagi orang yang paling tua di sana.
Tapi, ketika tiba waktunya masing-masing harus membubuhkan tanda tangan
atau cap jempol, orang tua itu bimbang. Dia hanya mau tanda tangan di
bagian lebih bawah bersama 17 petani lainnya.
Begitulah ceritanya mengapa dalam dokumen itu hanya nama Yan Hongchang
yang tertera di baris paling atas. Nama-nama yang lain berjajar di
bawahnya. Dua puluh tahun kemudian, ketika perjuangan mereka dianggap
sebagai pelopor kemakmuran petani Tiongkok, terjadilah hal yang
manusiawi: salah satu di antara mereka memasang baliho di pintu masuk
kampung yang berisi fotonya yang besar sebagai orang yang telah berjasa.
''Kalau ingat apa yang terjadi malam itu, rasanya saya mau mengambil
palu dan ingin menghancurkan baliho itu,'' ujar Yan Hongchang.
Tapi, Yan tidak melakukannya. Dia cukup bijaksana. Toh semua
orang tahu peranan dirinya malam itu. Dia juga orang yang ramah dan
tidak banyak omong. Saat saya mengunjungi rumahnya, dia menyilakan saya
masuk ke rumahnya dengan sikap rendah hati yang luar biasa. Yan juga
tidak kelihatan meledak-ledak ingin menceritakan peristiwa bersejarah
itu.
Rumahnya yang seperti ruko tiga lantai itu cukup besar. Halaman
belakangnya juga cukup luas untuk parkir mobil minivan, traktor tangan,
dan menumpuk hasil-hasil pertanian. Dari tiga anaknya dia sudah punya
tiga cucu.
Yan juga menjadi jujukan kalau ada tamu. Padahal, kini terlalu banyak
tamu yang datang. Semua pimpinan puncak Tiongkok sudah ke desa ini.
Tahun lalu Presiden Hu Jintao juga ke Xiao Gang. Sebelum itu Presiden
Jiang Zheming, perdana menterinya Zhu Rongji juga ke sini.
Demikian juga perdana menteri yang sekarang, Wen Jiabao. Karena itu,
tidak ayal kalau desa ini mendapat bantuan pembangunan infrastruktur. Di
jalan masuk desa ini sudah dibangun plaza luas dengan monumen berbentuk
buku raksasa yang di salah satu halamannya berisi salinan dokumen
rahasia tersebut. Halaman di sebelahnya berisi daftar nama 18 petani
yang bersejarah itu.
Bahkan, di ujung jalan desa itu dibangun museum yang desain dan
ukurannya sangat megah. Isinya menceritakan kejadian di malam hari 30
tahun yang lalu itu beserta dampaknya terhadap kemakmuran petani sampai
sekarang. Kantor desanya juga sangat modern. Internet juga sudah tiba di
sini. Karena kian banyak tamu, kini mulai dibangun penginapan di desa
itu. Rumah-rumah makan sederhana juga bermunculan.
Sebenarnya ada faktor lain yang ikut membuat Yan Hongchang dan
kawan-kawan selamat dari ancaman subversi. Ketika di lapisan petani
terbawah muncul keberanian seperti yang terjadi di Desa Xiao Gang ini,
sebenarnya waktu itu, di pusat kekuasaan juga mulai muncul keinginan
yang sama. Waktu itu Deng Xiaoping juga mulai tampil sebagai pimpinan
negara dan lagi berusaha keras untuk mengubah arah negara. Hanya, Deng
juga harus hati-hati. Dia tidak mau mengubah haluan negara secara
drastis. Golongan konservatif di pusat kekuasaan Tiongkok masih sangat
kuat menentang Deng. Pengikut Mao Zedong masih sangat dominan.
Tapi, Deng Xiaoping terus memperluas pengaruh. Termasuk ke
daerah-daerah. Sudah banyak pejabat daerah yang sebenarnya pro-Deng
Xiaoping. Maklum, pejabat daerahlah yang paling merasakan penderitaan
rakyat. Apalagi, pejabat daerah miskin yang rakyatnya terancam mati
kelaparan seperti di Anhui.
Perjuangan rakyat Desa Xiao Gang diuntungkan dengan situasi terakhir
itu. Meski juga bisa merugikan. Tarik-menarik antara kubu konservatif
dan liberal di Tiongkok bisa membuat banyak orang dalam posisi terjepit.
Orang mulai bingung memihak ke mana. Salah-salah bisa kena gilas kalau
ternyata memilih berpihak ke kubu yang kalah.
Hanya dalam waktu satu tahun petani Xiao Gang bisa meningkatkan produksi pertanian secara menakjubkan. Perjanjian da bao gan
ternyata berhasil. Mereka tidak hanya bisa menyerahkan hasil pertanian
sesuai target negara, bahkan masih menyisakan hasil pertanian yang cukup
untuk kehidupan mereka sendiri. Desa ini mulai tidak terancam
kelaparan. Namun, akibat buruknya, rahasia da bao gan juga terbongkar. Orang seperti Yan Hongchang berada di ujung tanduk.
Ketika terdengar selentingan bahwa Yan Hongchang akan ditangkap karena
menentang kebijaksanaan negara, dia mulai berpikir apa yang harus
diperbuat. Sebagai pengurus partai komunis di Desa Xiao Gang, Yan
Hongchang segera mencari tahu kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dia
berkonsultasi ke jenjang partai yang lebih atas.
Dari situlah Yan Hongchang mendengar ada seorang pengurus partai di
tingkat kabupaten yang cara berpikirnya maju. Namanya Chen. Yan ingin
menghadap ke Chen untuk menjelaskan apa itu da bao gan. Setelah
melalui tahap pemeriksaan satu malam, Yan berhasil menghadap ke Chen.
Karena satu malam Yan tidak pulang, sudah ada yang mengira bahwa Yan
sudah ditangkap.
Singkat cerita, Chen merestui langkah para petani di Xiao Gang dengan da bao gan-nya
itu. Dengan syarat: jangan sampai merembet ke desa-desa lain. Tapi,
Chen rupanya juga sudah punya jalur ke jenjang partai tingkat provinsi.
Di sana ada tokoh bernama Wan Li yang pikirannya juga maju. Wan Li
inilah yang kelak berjuang di tingkat pusat agar inisiatif petani di
Xiao Gang yang terbukti berhasil meningkatkan produksi itu bisa disahkan
sebagai kebijaksanaan nasional. Usaha ini berhasil, antara lain karena
kubu Deng Xiaoping juga sudah berhasil memperkuat posisi di pusat
kekuasaan.
Memang, perjuangan Wan Li tidak mulus. Harian terbesar milik partai komunis Ren Min Ri Bao mulai mempersoalkan bahwa da bao gan
sangat membahayakan negara. Tapi, seirama dengan semakin menangnya kubu
Deng Xiaoping, akhirnya diputuskanlah kebijaksanaan nasional ini:
sistem pertanian komunal diakhiri. Petani boleh mengelola tanah secara
sendiri-sendiri. Negara lalu membagi-bagi tanah komunal itu ke
masing-masing petani dengan sistem sewa untuk jangka waktu 30 tahun.
Sewa itu bisa terus diperpanjang lagi setiap 30 tahun. Wan Li sendiri di
kemudian hari posisinya sangat kuat, bahkan sampai menjadi ketua DPR
pusat. Kini Wan Li sudah pensiun, tapi tetap dihormati sebagai tokoh
utama di Tiongkok.
Sejak itulah pertanian di Tiongkok sangat maju. Petani juga kian makmur.
Namun, karena hasil pertanian melimpah, akibatnya harga hasil bumi
terus menurun. Penghasilan petani tidak seimbang lagi dengan harga-harga
kebutuhan lain. Lama-lama petani tidak kuat lagi membayar sewa tanah
dan pajak-pajak lain. Kebutuhan petani juga kian banyak: menyekolahkan
anak, membangun rumah, membeli TV, kulkas, rice cooker, dan seterusnya.
Perjuangan petani Xiao Gang memang berhasil. Tapi, sampai tahap tertentu
nasib petani ternyata kembali miskin. Terutama bila dibandingkan dengan
perkembangan kemakmuran di kota. Di mana-mana mulai timbul persoalan
sosial. Pemerintah pun tanggap. Dua tahun lalu pemerintah memutuskan
petani tidak perlu lagi membayar apa pun: baik sewa tanah maupun pajak
pertanian. Bahkan, sekarang petani mendapat BLT Rp 50.000 per bulan per
jiwa yang dikirim langsung ke ATM mereka. Ditambah diskon harga 50
persen untuk setiap pembelian barang apa pun yang menggunakan listrik.
Tujuannya agar di masa krisis ini pabrik-pabrik di sana tetap hidup dan
tidak mem-PHK karyawan mereka. (*)
No comments:
Post a Comment