Berdesain Minimalis dengan Dominasi Bahan Kaca
Mencoba Hotel ”Kempinski” Indonesia yang Baru (1)
Saya suka mencoba hotel baru. Termasuk ketika Hotel Indonesia dibuka
kembali dengan nama baru: Kempinski Indonesia. Namanya saja mencoba,
saya siap dengan dua kemungkinan: kekurangan dan kelebihan.
Saya tidak akan komplain kalau saja menemukan kekurangan. Saya
sendiri yang sudah mendirikan begitu banyak surat kabar (100 lebih?),
juga selalu mengecewakan pembaca setiap kali surat kabar baru itu mulai
terbit. Lama-lama kekurangan itu dikoreksi dan akhirnya menjadi baik.
Demikian juga ketika kami membuka usaha gedung perkantoran, pabrik
kertas, dan PLTU. Di awal-awalnya selalu saja banyak kekurangan.
Kemungkinan kedua, saya akan langsung mengaguminya. Siapa tahu
kehebatan hotel ini sama dengan mall Grand Indonesia yang lebih dulu
dibuka. Toh hotel ini bukan saja menjadi bagian dari kompleks
Grand Indonesia yang megah itu, pemiliknya pun sama: kelompok Djarum.
Apalagi ada nama Kempinski di situ. Inilah jaringan hotel dari Jepang
yang sudah sangat terkenal reputasinya. Saya juga sudah sering menginap
di berbagai Hotel Kempinski di banyak negara. Saya sudah tahu standar
dan reputasinya.
Saya sudah beberapa kali ke mall Grand Indonesia sebelum hotel ini
dibuka. Biasanya untuk makan di restoran Jepang atau Korea di lantai 5
itu. Sambil makan saya bercita-cita kalau hotelnya sudah dibuka saya
akan langsung merasakannya. Ternyata saya terlambat tahu. Hotel itu
sudah dibuka pada 1 Maret lalu, tapi saya baru punya kesempatan
mencobanya 24 hari kemudian.
Lalu apa yang saya alami ketika menginap di Hotel Indonesia yang baru ini?
Saya memperoleh dua-duanya. Kekurangannya dan kelebihannya.
Meski tempatnya di kompleks Grand Indonesia, hotel ini ternyata
tergolong “hotel bisnis”. Hanya, hotel bisnis yang mewah. Karena hotel
bisnis, jangan mengharapkan lobi yang wah, atau kamar yang besar, atau coffee shop yang grand.
Hotel ini menganut konsep minimalis, tapi minimalisnya sebuah hotel
bintang lima. Lobinya penuh dengan pilar yang besar-besar. Untuk mencari
di mana resepsionisnya saya harus melongok-longok di antara pilar-pilar
itu. Oh, di sana: membelakangi taman dengan sekat kaca penuh yang
terang benderang.
Bahan kaca memang mendominasi semua hal. Rupanya inilah memang yang
menjadi ciri khas baru Hotel Indonesia. Ini juga yang membuat citranya
sebagai hotel bisnis sangat menonjol. Pilar-pilarnya, kolom-kolomnya,
dinding-dindingnya serba berkaca.
Kelihatannya bahan kaca ini sekaligus untuk mengatasi persoalan
“ruang” yang menjadi penghambat utama desainernya. Sebagai hotel lama
yang direnovasi, tentu Hotel Indonesia tidak bisa menghindari “warisan”
lama itu. Misalnya, pilar-pilar, kolom-kolom dan ukuran kamar yang
terkait dengan fondasi asal bangunan itu. Semua harus terikat dengan
konstruksi lama yang untuk ukuran sekarang tentu tidak akan memuaskan
para perancang. Kolom-kolom besar di lobi itu, misalnya, bagaimana bisa
membuangnya? Tidak mungkin. Karena itu, mereka mengatasinya dengan
membalutnya dengan kaca-kaca.
Demikian juga kolom rendah di dalam kamar. Yakni, kolom di antara
ranjang dan meja kerja. Kolom itu begitu rendahnya sehingga seperti
memotong kamar menjadi dua bagian. Tapi, desainer berhasil mengurangi
kesan itu dengan cara membungkus kolom tersebut dengan kaca cermin.
Dengan demikian kamar itu kesannya masih cukup luas.
Hari itu saya mendapat kamar di lantai 6, agak di ujung lorong. Dan,
memang kelihatannya baru dua lantai (lantai 5 dan 6) yang diuji coba.
Begitu keluar dari lift di lantai 6, saya belok kiri menuju lorong untuk
ke kamar. Di koridor inilah saya baru merasakan ketidakcocokan antara
harga dengan kenyamanan yang disajikan. Kamar ini harus saya bayar
dengan tarif Rp 2,5 juta/malam. Itu pun sudah harga travel. Kalau go show, pasti lebih mahal lagi.
Untuk tarif segitu tinggi, koridor ini kurang memberikan kesan mahal.
Memang saya sendiri agak sulit kalau harus ikut memikirkan bagaimana
sebaiknya koridor itu didesain. Sebab, sisi kiri koridor tersebut adalah
dinding. Dinding mall, rupanya. Desainer lantas menutupi kelemahan itu
dengan membuat jendela-jendela tipuan di sepanjang koridor. Yakni,
jendela-jendela kaca. Meski begitu, tetap saja muncul kesan bahwa di
balik kaca itu adalah dinding. Apalagi koridor ini terasa sangat sempit
untuk ukuran kamar seharga Rp 2,5 juta. Kelihatannya koridor ini
memerlukan sentuhan desainer sekali lagi. (bersambung)
No comments:
Post a Comment