Mati Bersekongkol Lebih Baik daripada Mati Lapar
Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (2)
Kemiskinan yang berkarat mendorong 18 petani di Desa Xiao Gang berani
melawan sistem pertanian komunis. Perlawanannya sangat cerdik lewat
istilah yang dirumuskan dengan cermat. Berikut catatan lanjutan
Chairman/CEO Jawa Pos Dahlan Iskan dari hasil kunjungannya ke sana.
SEKARANG semua petani di Tiongkok tidak perlu
membayar pajak apa pun. Termasuk pajak bumi dan bangunan yang kalau di
Indonesia disebut PBB. Bahkan, petani di sana kini menerima BLT (bantuan
langsung tunai) yang dikirim langsung ke ATM mereka. Petani punya ATM?
Begitulah di Tiongkok. Dalam 10 tahun terakhir penggunaan teknologi,
mulai handphone, internet, TV kabel sampai GPS mendadak sangat meluas. Sudah sampai ke tingkat petani. Termasuk sistem listrik prabayar.
Semua itu tidak bisa dilepaskan dari jasa 18 petani miskin dari Desa Xiao Gang, Provinsi Anhui, ini.
Xiao Gang sebenarnya hanya sebuah desa yang amat kecil. Kalau desa-desa
di Tiongkok terkenal miskin, Xiao Gang termasuk yang paling miskin.
Waktu itu penduduknya hanya 20 KK. Hanya ada satu jalan di kampung itu.
Rumah-rumah petaninya teronggok di kiri kanan jalan itu.
Jauhnya perjalanan saya ke Desa Xiao Gang membuat saya membayangkan
bagaimana keadaan desa ini 30 tahun lalu. Yakni, saat 18 petani di sana
membubuhkan cap jempol rahasia yang sangat berbahaya. Dua kepala
keluarga yang lain tidak ikut cap jempol karena sudah lama berkelana
menjadi pengemis.
Saya jadi tahu betapa terpencil dan terisolasinya desa ini. Jalan menuju
ke sana pun berupa jalan tanah. Rumah-rumah mereka semuanya beratap
daun dengan tembok tanah yang dicampur kulit padi. Lantai rumah mereka
juga tanah (lihat foto yang dimuat kemarin).
Penduduk desa itu, sebagaimana umumnya petani di Tiongkok waktu itu,
sudah dalam keadaan sekarat kurang makan. Mereka sudah sampai pada
tingkat hanya bisa makan daun apa pun yang direbus. Bumbunya hanya satu:
garam. Nasinya adalah batang pohon yang dilembutkan. Kalau musim
dingin, ketika daun pun tidak ada, mereka pergi ke daerah lain untuk
menjadi pengemis. Sudah sangat terkenal bahwa Provinsi Anhui adalah
sumber pengemis. Sekarang pun masih ada satu-dua pengemis di kota-kota
di Tiongkok, dan umumnya juga dari Anhui ini.
Anhui memang terkenal miskin. Sering kekeringan di daerah pegunungannya
dan kebanjiran di dataran rendahnya. Pelosok Desa Xiao Gang adalah salah
satu yang termiskin dari yang miskin itu. Kalaupun yang 18 orang itu
kemudian berani membuat persekongkolan rahasia yang membahayakan nyawa
mereka, itu adalah jalan yang sudah amat terpaksa. Daripada mati
kelaparan. ''Sekarang tentu sulit membayangkan bagaimana rasanya
kelaparan. Ketika itu seperti tidak ada gambaran untuk hidup. Sama-sama
akhirnya harus mati, mencari cara lain untuk mati masih lebih baik,''
ujar Yan Hongchang, tokoh di desa itu.
Karena itu, Yan, yang juga sudah menyuruh anaknya mengemis di daerah
lain, setiap malam mendatangi tetangganya. Kegiatan itu harus dilakukan
malam hari untuk menghindari intaian mata-mata penguasa. Sebagai orang
yang pendidikannya terbaik di desa itu (dia tamatan SMP), Yan sudah bisa
menganalisis mengapa semua orang terancam mati kelaparan. (Data di
kemudian hari menunjukkan di Kecamatan Fengyang saja yang terancam mati
kelaparan mencapai 90.000 orang. Xiao Gang adalah salah satu desa di
Kecamatan Fengyang).
Menurut analisis Yan, kelaparan masal itu bersumber dari kebijaksanaan
pemerintah pusat mengenai sistem pertanian komunis (pertanian komunal).
Yakni, sejak menjelang 1960-an ketika semua tanah harus dimiliki negara.
Sejak itu petani harus menyerahkan semua tanahnya ke negara.
Batas-batas tanah pun dihilangkan. Mereka memang tetap bekerja di sawah,
namun sistem kerjanya komunal. Sebidang tanah dikerjakan bersama yang
hasilnya harus sepenuhnya diserahkan kepada negara. Negaralah yang
kemudian memberikan jatah makanan kepada rakyatnya. Jatah makanan ini
tidak cukup. Petani, seperti di Xiao Gang itu, sudah menderita luar
biasa hampir 20 tahun.
Meski begitu, harapan untuk membaik tidak pernah datang. Kian tahun
hasil pertanian masih kian merosot. Orang-orang kaya mulai menjual
perabot yang bisa mereka jual. Lama-lama perabot pun habis dan mereka
jatuh miskin. Yang miskin hanya bisa menjual anak mereka. Tapi, setiap
anak hanya bisa dijual sekali. Padahal, makan harus dilakukan setiap
hari.
Sistem komunal ternyata membuat petani tidak produktif. Tidak ada
semangat untuk menghasilkan panen yang setinggi-tingginya. Yan Hongchang
sudah sampai pada kesimpulan itu. Tapi, semua orang di Tiongkok dalam
keadaan takut dan tidak berdaya. Sistem pemerintahan ketika itu membuat
siapa pun yang menentang kebijaksanaan pemerintah akan dianggap ''setan
desa'' yang harus dibasmi. Memupuk kekayaan adalah kapitalisme yang
dianggap sebagai pengisap darah petani.
Tiap malam Yan menyampaikan analisisnya itu kepada para tetangga. Dia
tahu risikonya yang berat. Apalagi kalau sampai ada satu orang saja di
desa itu yang menjadi kaki tangan pihak penguasa. Pasti Yan sudah
dilaporkan sebagai orang yang melakukan subversi. Untungnya, mayoritas
penduduk di situ masih memiliki hubungan keluarga. Lebih separo bermarga
Yan.
Tapi, tidak ada pilihan bagi Yan. Ancaman mati kelaparan terlihat di
mana-mana. Semua orang dalam keadaan kurus, lunglai, dan kekurangan
gizi. Demikian juga seluruh penduduk Desa Xiao Gang. Kenyataan itulah
yang membuat Yan meneguhkan diri untuk mengambil risiko.
Namun, Yan sungguh orang yang bijaksana. Dia mencari istilah yang
kelihatannya tidak menentang kebijaksanaan negara, tapi sebenarnya
menentang juga. Yan ingin tanah di situ dibagi-bagi menjadi 20 petak dan
masing-masing KK bertanggung jawab atas petak ''milik''-nya.
Masing-masing juga harus bertanggung jawab menyerahkan hasil panen
sesuai dengan target negara, lalu dikumpulkan seolah-olah sebagai hasil
komunal. Yan menginginkan hasil panen jauh di atas target itu sehingga
masing-masing masih bisa memperoleh kelebihan dari target negara untuk
diambil sendiri.
Karena ketentuan yang ada mengharuskan petani menyerahkan semua hasil ke
negara, sangat sulit menemukan cara untuk menghindarinya. Karena itu,
semua petani di situ harus sepakat menjaga rahasia bahwa hasil panen
mereka sebenarnya melebihi target. Ada satu orang saja yang berkhianat,
tamatlah riwayat gerakan itu.
Semula saya heran mengapa perjanjian rahasia itu bisa tidak bocor.
Bukankah sistem mata-mata waktu itu sangat kuat mengawasi segala
gerak-gerik penduduk? Termasuk penduduk di desa sekali pun? Bagaimana
mereka bisa menjaga rahasia itu? Setelah saya ke Xiao Gang, barulah saya
tahu. Pertama, mayoritas mereka masih ada hubungan keluarga. Kedua,
desa ini benar-benar terpencil. Sebuah kampung kecil dengan hanya 20
rumah reot yang berada di tengah-tengah lautan sawah.
Akhirnya Yan berhasil menemukan satu istilah yang unik. Gerakannya itu akan dia beri nama da bao gan (.........). Istilah da bao gan saya nilai unik karena bisa memiliki multitafsir. Lalu Yan berusaha meyakinkan para tetangganya bahwa dengan istilah da bao gan
kemungkinan besar bisa selamat. Maka, pada puncak musim dingin akhir
Desember 1978, mereka menyepakati sebuah perjanjian rahasia itu.
Sebenarnya sulit menjelaskan istilah da bao gan dalam bahasa Indonesia. Tidak bisa diterjemahkan dengan gotong royong, juga tidak bisa diartikan borongan.
Intinya adalah: mereka akan menggarap bersama-sama sawah itu untuk memenuhi kewajiban bersama.
"Menggarap bersama-sama" adalah istilah yang aman di mata penguasa.
Orang bisa menilai menggarap bersama-sama adalah sama dengan komunal.
Tapi, petani sendiri bisa saja menafsirkan dengan "menggarap
bersama-sama di kavlingnya sendiri-sendiri". Demikian juga istilah
"memenuhi kebutuhan bersama". Istilah ini sangat aman di mata penguasa.
Artinya, kebutuhan target penguasa pasti terpenuhi. Padahal, petani juga
boleh menafsirkan "kebutuhan bersama itu termasuk kebutuhan petani
sendiri yang juga harus dipenuhi".
Istilah bao gan, semua orang yang bisa berbahasa Mandarin pasti tahu: artinya borongan. Tapi, da bao gan terasa aneh. Arti letter lijk-nya
adalah: borongan besar. Tapi, tidak pernah ada istilah seperti itu
sebelumnya. Yan Hongchang dari Xiao Ganglah yang menciptakannya. Kelak,
setelah ide penduduk Xiao Gang itu diterima oleh negara dan menjadi
kebijaksanaan nasional, istilah da bao gan menjadi amat populer. Di mana-mana orang bicara hebatnya da bao gan. Bahkan, ada lagu da bao gan segala.
Orang Tiongkok memang pandai menciptakan istilah yang bisa membuat
persoalan rumit menjadi mudah. Ketika Hongkong harus masuk ke Tiongkok,
mestinya juga sulit. Yang satu (Tiongkok) komunis dan yang satunya
(Hongkong) demokrasi penuh. Bagaimana dua wilayah yang bertolak belakang
ideologinya itu bisa jadi satu negara. Di negara lain persoalan
ideologi demikian bisa menjadi ketegangan yang gawat. Tapi, Tiongkok
memecahkan persoalan rumit itu dengan menciptakan istilah baru: satu
negara dua sistem. Beres.
Demikian juga ketika tahun lalu para pimpinan Tiongkok harus bertemu para pimpinan Taiwan. Apa dong
nama pertemuan itu. Pertemuan pimpinan dua negara? Pasti Tiongkok
marah. Sebab, Taiwan masih tetap dianggap salah satu provinsinya. Ini
harga mati. Tapi, kalau disebut pertemuan pusat-daerah, Taiwan pasti
marah. Taiwan merasa sudah menjadi negara sendiri.
Ternyata pertemuan itu bisa berlangsung dengan sangat sukses, tanpa
menyebut Taiwan itu negara atau provinsi. Pertemuan itu diberi nama
dengan sangat unik: liang bian (.......). Dua pantai. Artinya,
pertemuan itu adalah pertemuan para pimpinan dari dua pantai. Maklum,
dua wilayah ini sama-sama punya pantai yang saling berhadapan. Dengan
menyebut istilah dua pantai, terhindarlah penyebutan Taiwan itu negara
atau provinsi.
Begitu seringnya saya menyaksikan fleksibilitas seperti itu, saya
tertawa ketika belum lama ini membaca perdebatan di koran Surabaya:
sepeda motor akan boleh melintasi jembatan Madura atau tidak?
Ada yang beralasan bahwa sebaiknya sepeda motor dilarang melewati
jembatan yang hampir jadi itu karena status jembatan Madura adalah tol.
Orang itu sama sekali tidak mengemukakan alasan yang ilmiah. Alasan yang
dikemukakan hanyalah: UU mengatakan sepeda motor dilarang lewat jalan
tol. Kalau memang mau, UU-nya harus diubah dulu. Atau jembatannya yang
jangan dijadikan jembatan tol.
Saya tertegun: betapa rumitnya negeri ini. Untuk membuat sepeda motor
boleh lewat jembatan saja tidak bisa menemukan jalannya! Maka, kalau
saja nanti pemda tidak bisa menemukan istilah yang bisa membuat sepeda
motor boleh lewat jembatan Madura, saya akan memberikan anjuran ini:
agar semua sepeda motor ditambahi dua roda (roda pura-pura juga boleh)
agar kendaraan itu bisa disebut roda empat sesuai dengan undang-undang
jalan tol. (bersambung)
No comments:
Post a Comment