Monday, April 13, 2009

Mati Bersekongkol Lebih Baik daripada Mati Lapar

Senin, 13 April 2009 , 06:45:00
Mati Bersekongkol Lebih Baik daripada Mati Lapar
Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (2)

Kemiskinan yang berkarat mendorong 18 petani di Desa Xiao Gang berani melawan sistem pertanian komunis. Perlawanannya sangat cerdik lewat istilah yang dirumuskan dengan cermat. Berikut catatan lanjutan Chairman/CEO Jawa Pos Dahlan Iskan dari hasil kunjungannya ke sana.

SEKARANG semua petani di Tiongkok tidak perlu membayar pajak apa pun. Termasuk pajak bumi dan bangunan yang kalau di Indonesia disebut PBB. Bahkan, petani di sana kini menerima BLT (bantuan langsung tunai) yang dikirim langsung ke ATM mereka. Petani punya ATM? Begitulah di Tiongkok. Dalam 10 tahun terakhir penggunaan teknologi, mulai handphone, internet, TV kabel sampai GPS mendadak sangat meluas. Sudah sampai ke tingkat petani. Termasuk sistem listrik prabayar.

Semua itu tidak bisa dilepaskan dari jasa 18 petani miskin dari Desa Xiao Gang, Provinsi Anhui, ini.

Xiao Gang sebenarnya hanya sebuah desa yang amat kecil. Kalau desa-desa di Tiongkok terkenal miskin, Xiao Gang termasuk yang paling miskin. Waktu itu penduduknya hanya 20 KK. Hanya ada satu jalan di kampung itu. Rumah-rumah petaninya teronggok di kiri kanan jalan itu.

Jauhnya perjalanan saya ke Desa Xiao Gang membuat saya membayangkan bagaimana keadaan desa ini 30 tahun lalu. Yakni, saat 18 petani di sana membubuhkan cap jempol rahasia yang sangat berbahaya. Dua kepala keluarga yang lain tidak ikut cap jempol karena sudah lama berkelana menjadi pengemis.

Saya jadi tahu betapa terpencil dan terisolasinya desa ini. Jalan menuju ke sana pun berupa jalan tanah. Rumah-rumah mereka semuanya beratap daun dengan tembok tanah yang dicampur kulit padi. Lantai rumah mereka juga tanah (lihat foto yang dimuat kemarin).

Penduduk desa itu, sebagaimana umumnya petani di Tiongkok waktu itu, sudah dalam keadaan sekarat kurang makan. Mereka sudah sampai pada tingkat hanya bisa makan daun apa pun yang direbus. Bumbunya hanya satu: garam. Nasinya adalah batang pohon yang dilembutkan. Kalau musim dingin, ketika daun pun tidak ada, mereka pergi ke daerah lain untuk menjadi pengemis. Sudah sangat terkenal bahwa Provinsi Anhui adalah sumber pengemis. Sekarang pun masih ada satu-dua pengemis di kota-kota di Tiongkok, dan umumnya juga dari Anhui ini.

Anhui memang terkenal miskin. Sering kekeringan di daerah pegunungannya dan kebanjiran di dataran rendahnya. Pelosok Desa Xiao Gang adalah salah satu yang termiskin dari yang miskin itu. Kalaupun yang 18 orang itu kemudian berani membuat persekongkolan rahasia yang membahayakan nyawa mereka, itu adalah jalan yang sudah amat terpaksa. Daripada mati kelaparan. ''Sekarang tentu sulit membayangkan bagaimana rasanya kelaparan. Ketika itu seperti tidak ada gambaran untuk hidup. Sama-sama akhirnya harus mati, mencari cara lain untuk mati masih lebih baik,'' ujar Yan Hongchang, tokoh di desa itu.

Karena itu, Yan, yang juga sudah menyuruh anaknya mengemis di daerah lain, setiap malam mendatangi tetangganya. Kegiatan itu harus dilakukan malam hari untuk menghindari intaian mata-mata penguasa. Sebagai orang yang pendidikannya terbaik di desa itu (dia tamatan SMP), Yan sudah bisa menganalisis mengapa semua orang terancam mati kelaparan. (Data di kemudian hari menunjukkan di Kecamatan Fengyang saja yang terancam mati kelaparan mencapai 90.000 orang. Xiao Gang adalah salah satu desa di Kecamatan Fengyang).

Menurut analisis Yan, kelaparan masal itu bersumber dari kebijaksanaan pemerintah pusat mengenai sistem pertanian komunis (pertanian komunal). Yakni, sejak menjelang 1960-an ketika semua tanah harus dimiliki negara. Sejak itu petani harus menyerahkan semua tanahnya ke negara. Batas-batas tanah pun dihilangkan. Mereka memang tetap bekerja di sawah, namun sistem kerjanya komunal. Sebidang tanah dikerjakan bersama yang hasilnya harus sepenuhnya diserahkan kepada negara. Negaralah yang kemudian memberikan jatah makanan kepada rakyatnya. Jatah makanan ini tidak cukup. Petani, seperti di Xiao Gang itu, sudah menderita luar biasa hampir 20 tahun.

Meski begitu, harapan untuk membaik tidak pernah datang. Kian tahun hasil pertanian masih kian merosot. Orang-orang kaya mulai menjual perabot yang bisa mereka jual. Lama-lama perabot pun habis dan mereka jatuh miskin. Yang miskin hanya bisa menjual anak mereka. Tapi, setiap anak hanya bisa dijual sekali. Padahal, makan harus dilakukan setiap hari.

Sistem komunal ternyata membuat petani tidak produktif. Tidak ada semangat untuk menghasilkan panen yang setinggi-tingginya. Yan Hongchang sudah sampai pada kesimpulan itu. Tapi, semua orang di Tiongkok dalam keadaan takut dan tidak berdaya. Sistem pemerintahan ketika itu membuat siapa pun yang menentang kebijaksanaan pemerintah akan dianggap ''setan desa'' yang harus dibasmi. Memupuk kekayaan adalah kapitalisme yang dianggap sebagai pengisap darah petani.

Tiap malam Yan menyampaikan analisisnya itu kepada para tetangga. Dia tahu risikonya yang berat. Apalagi kalau sampai ada satu orang saja di desa itu yang menjadi kaki tangan pihak penguasa. Pasti Yan sudah dilaporkan sebagai orang yang melakukan subversi. Untungnya, mayoritas penduduk di situ masih memiliki hubungan keluarga. Lebih separo bermarga Yan.

Tapi, tidak ada pilihan bagi Yan. Ancaman mati kelaparan terlihat di mana-mana. Semua orang dalam keadaan kurus, lunglai, dan kekurangan gizi. Demikian juga seluruh penduduk Desa Xiao Gang. Kenyataan itulah yang membuat Yan meneguhkan diri untuk mengambil risiko.

Namun, Yan sungguh orang yang bijaksana. Dia mencari istilah yang kelihatannya tidak menentang kebijaksanaan negara, tapi sebenarnya menentang juga. Yan ingin tanah di situ dibagi-bagi menjadi 20 petak dan masing-masing KK bertanggung jawab atas petak ''milik''-nya. Masing-masing juga harus bertanggung jawab menyerahkan hasil panen sesuai dengan target negara, lalu dikumpulkan seolah-olah sebagai hasil komunal. Yan menginginkan hasil panen jauh di atas target itu sehingga masing-masing masih bisa memperoleh kelebihan dari target negara untuk diambil sendiri.

Karena ketentuan yang ada mengharuskan petani menyerahkan semua hasil ke negara, sangat sulit menemukan cara untuk menghindarinya. Karena itu, semua petani di situ harus sepakat menjaga rahasia bahwa hasil panen mereka sebenarnya melebihi target. Ada satu orang saja yang berkhianat, tamatlah riwayat gerakan itu.

Semula saya heran mengapa perjanjian rahasia itu bisa tidak bocor. Bukankah sistem mata-mata waktu itu sangat kuat mengawasi segala gerak-gerik penduduk? Termasuk penduduk di desa sekali pun? Bagaimana mereka bisa menjaga rahasia itu? Setelah saya ke Xiao Gang, barulah saya tahu. Pertama, mayoritas mereka masih ada hubungan keluarga. Kedua, desa ini benar-benar terpencil. Sebuah kampung kecil dengan hanya 20 rumah reot yang berada di tengah-tengah lautan sawah.

Akhirnya Yan berhasil menemukan satu istilah yang unik. Gerakannya itu akan dia beri nama da bao gan (.........). Istilah da bao gan saya nilai unik karena bisa memiliki multitafsir. Lalu Yan berusaha meyakinkan para tetangganya bahwa dengan istilah da bao gan kemungkinan besar bisa selamat. Maka, pada puncak musim dingin akhir Desember 1978, mereka menyepakati sebuah perjanjian rahasia itu.

Sebenarnya sulit menjelaskan istilah da bao gan dalam bahasa Indonesia. Tidak bisa diterjemahkan dengan gotong royong, juga tidak bisa diartikan borongan.

Intinya adalah: mereka akan menggarap bersama-sama sawah itu untuk memenuhi kewajiban bersama. "Menggarap bersama-sama" adalah istilah yang aman di mata penguasa. Orang bisa menilai menggarap bersama-sama adalah sama dengan komunal. Tapi, petani sendiri bisa saja menafsirkan dengan "menggarap bersama-sama di kavlingnya sendiri-sendiri". Demikian juga istilah "memenuhi kebutuhan bersama". Istilah ini sangat aman di mata penguasa. Artinya, kebutuhan target penguasa pasti terpenuhi. Padahal, petani juga boleh menafsirkan "kebutuhan bersama itu termasuk kebutuhan petani sendiri yang juga harus dipenuhi".

Istilah bao gan, semua orang yang bisa berbahasa Mandarin pasti tahu: artinya borongan. Tapi, da bao gan terasa aneh. Arti letter lijk-nya adalah: borongan besar. Tapi, tidak pernah ada istilah seperti itu sebelumnya. Yan Hongchang dari Xiao Ganglah yang menciptakannya. Kelak, setelah ide penduduk Xiao Gang itu diterima oleh negara dan menjadi kebijaksanaan nasional, istilah da bao gan menjadi amat populer. Di mana-mana orang bicara hebatnya da bao gan. Bahkan, ada lagu da bao gan segala.

Orang Tiongkok memang pandai menciptakan istilah yang bisa membuat persoalan rumit menjadi mudah. Ketika Hongkong harus masuk ke Tiongkok, mestinya juga sulit. Yang satu (Tiongkok) komunis dan yang satunya (Hongkong) demokrasi penuh. Bagaimana dua wilayah yang bertolak belakang ideologinya itu bisa jadi satu negara. Di negara lain persoalan ideologi demikian bisa menjadi ketegangan yang gawat. Tapi, Tiongkok memecahkan persoalan rumit itu dengan menciptakan istilah baru: satu negara dua sistem. Beres.

Demikian juga ketika tahun lalu para pimpinan Tiongkok harus bertemu para pimpinan Taiwan. Apa dong nama pertemuan itu. Pertemuan pimpinan dua negara? Pasti Tiongkok marah. Sebab, Taiwan masih tetap dianggap salah satu provinsinya. Ini harga mati. Tapi, kalau disebut pertemuan pusat-daerah, Taiwan pasti marah. Taiwan merasa sudah menjadi negara sendiri.

Ternyata pertemuan itu bisa berlangsung dengan sangat sukses, tanpa menyebut Taiwan itu negara atau provinsi. Pertemuan itu diberi nama dengan sangat unik: liang bian (.......). Dua pantai. Artinya, pertemuan itu adalah pertemuan para pimpinan dari dua pantai. Maklum, dua wilayah ini sama-sama punya pantai yang saling berhadapan. Dengan menyebut istilah dua pantai, terhindarlah penyebutan Taiwan itu negara atau provinsi.

Begitu seringnya saya menyaksikan fleksibilitas seperti itu, saya tertawa ketika belum lama ini membaca perdebatan di koran Surabaya: sepeda motor akan boleh melintasi jembatan Madura atau tidak?

Ada yang beralasan bahwa sebaiknya sepeda motor dilarang melewati jembatan yang hampir jadi itu karena status jembatan Madura adalah tol. Orang itu sama sekali tidak mengemukakan alasan yang ilmiah. Alasan yang dikemukakan hanyalah: UU mengatakan sepeda motor dilarang lewat jalan tol. Kalau memang mau, UU-nya harus diubah dulu. Atau jembatannya yang jangan dijadikan jembatan tol.

Saya tertegun: betapa rumitnya negeri ini. Untuk membuat sepeda motor boleh lewat jembatan saja tidak bisa menemukan jalannya! Maka, kalau saja nanti pemda tidak bisa menemukan istilah yang bisa membuat sepeda motor boleh lewat jembatan Madura, saya akan memberikan anjuran ini: agar semua sepeda motor ditambahi dua roda (roda pura-pura juga boleh) agar kendaraan itu bisa disebut roda empat sesuai dengan undang-undang jalan tol. (bersambung)

No comments:

Post a Comment