Bisnis GPS Ambil Alih Tugas Joki Pemandu Tol
Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (1)
Setelah 30 tahun berlalu,
Xiao Gang, desa tempat lahir reformasi pedesaan yang mengubah sejarah
Tiongkok, termasuk belasan petani penggagasnya, masih menjadi inspirator
pesatnya kemajuan petani dan modernisasi pertanian di Tiongkok. Inilah
catatan Chairman/CEO Jawa Pos DAHLAN ISKAN yang baru kembali dari sana.
INILAH perjalanan menuju Xiao
Gang, sebuah desa terpencil yang telah diakui sebagai pelopor kemakmuran
petani di seluruh Tiongkok sekarang ini. Di desa inilah pernah terjadi
18 orang penduduknya, di tengah malam yang sunyi, di sebuah kamar yang
tersembunyi, membubuhkan cap jempol untuk melawan sistem nasional yang
berlaku saat itu dengan taruhan nyawa mereka. Berkat keberanian petani
itulah, sistem kepemilikan sawah di seluruh Tiongkok akhirnya dirombak
total.
Meski nama mereka kini menjadi buah bibir di seluruh negeri, mereka
masih tetap tinggal di desa itu. Kecuali empat orang yang sudah
meninggal dunia. Saya begitu ingin menemui mereka untuk mengetahui apa
sebenarnya yang terjadi malam itu.
Maka, meski harus saya tempuh dengan perjalanan darat selama enam jam
(dari Hangzhou), saya senang bisa sampai di sana. Kunjungan ini
merupakan keinginan lama yang selalu tertunda. Mula-mula karena tidak
mudah menuju ke sana. Apalagi ketika belum ada jalan tol. Jarak itu sama
dengan dari Surabaya ke Bandung. Setelah ada jalan tol, ganti saya yang
sakit. Maka, ketika Senin lalu saya harus rapat di Hangzhou dan
Shanghai, di antara hari kejepit itu saya manfaatkan untuk ke Xiao Gang.
Sebenarnya bisa saja dari Hangzhou saya naik pesawat dulu ke Nanjing
(ibu kota Provinsi Jiangshu) atau ke Hefei (ibu kota Provinsi Anhui).
Baru dari sini jalan darat ke desa itu selama dua jam. Namun, kalau
ditotal-total, sama saja. Menuju airport dan menunggu pesawatnya juga memakan waktu. Toh,
saya sudah mulai terbiasa jalan darat jarak jauh di Tiongkok. Sejak
jaringan jalan tol telah meluas di sana, ke mana-mana rasanya sangat
mudah.
Apalagi, di sepanjang perjalanan saya tetap bisa membicarakan banyak hal
dengan teman-teman di sana. Mulai soal rencana pembangunan tahap II
PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) di Kaltim hingga soal bagaimana
mempercepat penyelesaian PLTU di Lampung. Yang terakhir itu sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan saya. Namun, saya diminta ikut memperlancar
urusan ruwet mereka dengan pihak di Tiongkok.
Di sepanjang jalan tol, membaca berbagai dokumen (yang tercetak maupun
di laptop) juga tidak ada masalah. Jalan yang relatif lurus dan rata
membuat tubuh tidak bergoyang-goyang. Sambil membaca pun tidak membuat
kepala pusing. Demikian juga, meski kami belum pernah menempuh jalur
tersebut, tidak perlu khawatir kesasar. Kini sudah ada GPS (global positioning system) di sana, sebagaimana yang sudah agak lama digunakan di AS atau Eropa.
Bahkan, daya serap GPS di Tiongkok langsung melebihi apa yang terjadi di
negara maju. Begitu masuk pasar tiga tahun lalu, populasi pengguna GPS
langsung meluas. Membeli GPS di Tiongkok bukan hanya karena fungsinya,
melainkan sudah seperti mode. Sudah seperti membeli handphone.
Memang, mobil-mobil baru sudah banyak yang sekalian dilengkapi layar
GPS. Namun, mereka yang telanjur punya mobil pun bisa membeli GPS
sendiri. Tinggal memasang tumpuan di dashboard, lalu meletakkan layar GPS di situ. Toh,
barangnya tidak besar. Hanya layar tipis sebesar setengah buku tulis.
Layar itulah yang menerima peta dari satelit mengenai jalur perjalanan
kita hari itu.
Agar sopir tidak perlu selalu melihat GPS, salah seorang di antara kami menjadi co-pilot:
mencopot GPS itu dan memegangnya secara gantian. Sebenarnya juga tidak
perlu dipegang. Ditaruh begitu saja juga tidak apa-apa. Toh, di
samping menampilkan jalur-jalur jalan, alat ini juga bersuara: selalu
memberi tahu kita apa saja yang segera kita lewati. Misalnya, 500 meter
lagi akan ada jembatan (lengkap menyebut nama jembatan itu), 1 kilometer
lagi akan ada jalan bercabang dan Anda harus belok ke kanan. Sesekali
suara itu seperti menegur kita: Anda telah melebihi kecepatan yang
diperbolehkan. Suara itu bisa dikeraskan (kalau mau) sampai seluruh
penumpang bisa mendengar jelas. Tentu dalam bahasa Mandarin.
Sebelum berangkat, sopir kami memang sudah men-set-up alat itu:
mau pergi ke mana. Di situ ada tombol-tombol pilihan: provinsi apa,
kota apa, jalan apa, dan mau ke bangunan nomor berapa. Setelah itu,
secara otomatis, jalan-jalan yang akan dilewati berwarna merah. Kita
tinggal menuruti saja jalur merah itu. Maka, biarpun di depan ada
persimpangan yang banyak, atau interchange yang ruwet, tidak
perlu takut salah arah. Alat ini juga memberi tahu masih berapa
kilometer jarak tempuh kita dan masih perlu berapa menit atau jam lagi.
Perkiraan waktu tersebut tentu disesuaikan dengan kecepatan saat itu.
Tidak disangka bahwa pengembangan jalan tol di Tiongkok telah
menimbulkan bisnis yang semula tidak masuk perencanaan: mode menggunakan
GPS.
Saya masih ingat ketika Tiongkok baru mulai memiliki jalan tol
(Indonesia sebenarnya lebih dulu punya jalan tol di Jagorawi). Saya
melihat waktu itu tiba-tiba saja ada wabah baru: bepergian ke kota lain
dengan mobil sendiri. Tentu ada problem baru: banyak sekali mobil yang
kesasar. Maklum belum mengenal jalur-jalur di kota lain itu. Banyaknya
kasus salah jalan itu ternyata bukan saja membuat penjualan buku peta
meledak, tapi juga mampu menciptakan lapangan kerja baru: profesi
penunjuk jalan. Saya selalu melihat di setiap mulut jalan tol berjajar
orang-orang yang menawarkan jasa sebagai penunjuk jalan. Mereka memegang
tulisan berbahasa Mandarin ''pemandu jalan''. Seperti joki di Jakarta,
tapi dengan tugas yang benar-benar fungsional.
Banyaknya penjual jasa di mulut-mulut jalan tol itu rupanya dilihat
sebagai peluang baru oleh pihak lain. Terutama oleh perusahaan
komunikasi dan penerbit peta. Dua pihak itu berkolaborasi menciptakan
GPS. Harganya Rp 700.000 hingga Rp 5.000.000, bergantung mutunya.
Merasakan begitu jauhnya perjalanan ini, saya bayangkan betapa
terpencilnya Desa Xiao Gang sebelum jaringan jalan tol dibuat. Juga
betapa sulitnya mencapai desa itu. Pasti jalannya sempit, padat, dan
berbelok-belok. Banyak sekali gunung, sungai, dan danau. Dengan jalan
tol, semua itu diterabas. Gunung ditembus, sungai besar seperti Yang Tze
(Chang Jiang), danau sebesar Dai Hu dilompati. Tentu kami juga lapar.
Karena itu, sekali waktu kami keluar jalan tol masuk ke kota Nanjing
untuk makan siang. Ketika kami berbelok ke arah kota, tiba-tiba ada
suara melengking: Anda salah jalan. Rupanya itu suara GPS. Kami memang
lupa men-set-up kalau di tengah jalan harus mampir untuk makan.
Saya benar-benar membayangkan betapa terpencilnya desa itu. Saya juga
membayangkan bagaimana para petani di desa yang begitu terpelosok berani
berinisiatif untuk melakukan perubahan yang kemudian diakui sangat
menentukan arah negara. Mereka bukan saja berani, tapi juga sangat
bijaksana: tidak demo, tidak mengamuk, tidak ngambek, tapi juga tidak
menyerah. Mereka melakukan sesuatu yang amat mendasar: da bao gan! (bersambung)
No comments:
Post a Comment