Kamar Bersih dan Nyaman, Sayang Sulit Buang Kulit Pisang
Mencoba Hotel “Kempinski” Indonesia yang Baru (2)
Begitu masuk kamar, bau cat masih terasa. Tidak apa-apa. Memang Hotel
Kempinski Indonesia ini (d/h Hotel Indonesia) masih belum genap satu
bulan. Semuanya masih serba baru.
Begitu membuka pintu saya langsung terpana oleh lantainya yang
kinclong. Seirama dengan hal-hal yang serba kaca di luarnya. Lantai
kamar yang terbuat dari kayu itu juga sangat menyenangkan. Di samping
nyaman, kesannya juga sangat bersih. Apalagi di sekitar ranjang dilapisi
karpet. Saya suka lantai kamar seperti ini. TV-setnya juga sangat
besar. Meja dan kursi kerjanya juga simple dan enak. Patung-patung kecil
putih yang menjadi hiasan di kamar itu juga cocok sekali.
Tapi adanya dua lampu di samping tempat tidur itu terasa berlebihan.
Di sisi kiri ada lampu duduk yang besar sekali, tapi masih juga ada
lampu baca yang tangkai besinya terasa amat panjang. Di sisi kanan juga
sama. Jadi, ada empat lampu di sisi ranjang. Apalagi lampu duduknya
besar sekali. Begitu besarnya lampu duduk itu sampai menutup hiasan
grafis (gambar beca susun dua) yang ditempelkan di dinding. Menurut saya
lampu baca saja sebenarnya sudah cukup. Meja kecil di samping ranjang
itu bisa digunakan untuk menaruh koran, majalah, kacamata atau
barang-barang pribadi lainnya yang biasanya harus dilepas sebelum tidur.
Ranjang dan bantalnya sudah cukup enak, meski belum sangat enak
seperti yang pernah saya alami di hotel lain dengan tarif yang sama.
Sandalnya bagus, alat cukurnya dipilih dari merk yang baik yang cukup
tajam (banyak hotel yang alat cukurnya tumpul!), dan jarak antara
ranjang dan TV-nya juga ideal.
Penataan kamarnya juga enak, kecuali lampu duduk di sebelah ranjang
tadi. Tapi saya kesulitan membuang kulit pisang. Ternyata tidak ada
tempat sampah di kamar itu. Padahal ke mana-mana saya selalu membawa
pisang kepok, sebagai salah satu pengendali mekanisme pencernaan saya
setelah ganti hati hampir dua tahun lalu.
Saya lantas mencoba membuka gordin untuk melihat pemandangan apa yang
ada di luar sana. Ternyata sama sekali tidak ada pemandangan yang
menarik. Hanya dinding-dinding dan lantai bangunan lain di komplek itu.
Bahkan sebagian lantai yang terlihat dari kamar itu masih belum bersih.
Masih berupa semen polos. Mungkin karena bagian ini memang belum
disentuh. Maklum masih baru ujicoba.
Kelak saya kira pemandangan di situ akan dibenahi dengan
tipuan-tipuan yang bisa menyenangkan. Sebelum itu dilakukan, apa yang
terlihat dari kamar justru pemandangan yang “kejam”. Maka saya tutup
kembali gordin itu dan tidak pernah saya buka lagi sampai saya check out keesokan harinya.
Bagaimana dengan kamar mandinya? Posisi pintu kamar mandi itu cukup
enak. Model wastafelnya yang segi panjang itu tidak ada masalah. Cocok
saja dengan desain sekelilingnya. Bahwa warna dominan kamar ini
(termasuk kamar mandi) adalah coklat, juga tidak masalah.
Toiletnya dipilih toilet paling modern yang pakai elektronik kontrol
itu. Tutupnya membuka sendiri, dudukannya selalu hangat dan untuk cuci
buang air besar cukup memencet-mencet tombol. Tapi gerakan membukanya
kurang cepat. Sehingga bagi yang kebelet sekali, atau yang
sakit perut, bisa kececeran. Memang penutupnya bisa dibuka dengan tangan
sehingga sebenarnya -kalau kesusu–juga tidak ada masalah. Mungkin
karena posisi toilet itu yang menyamping (orang yang akan menggunakannya
datang dari arah samping toilet) sehingga sensornya harus menunggu dulu
sampai orangnya tiba di arah depannya. Lain kali, kalau posisi
toiletnya seperti itu baiknya menggunakan sensor yang bisa “melirik” ke
kiri. Dengan demikian, ketika orangnya sudah tiba di sisi kiri toilet,
sensornya sudah bisa membaca: lalu tutup toilet itu bisa cepat membuka.
Bak mandi kamar ini sangat besar dan menonjol. Bentuknya oval cembung
yang ukurannya benar-benar besar. Saking besarnya sampai-sampai
menghalangi pintu masuk ke kamar mandi shower. Akibatnya pintu ke shower
ini hanya bisa dibuka separonya saja. Membukanya pun harus hati-hati
agar pintunya tidak membentur bak mandi. Di sini terasa seperti ada
anjuran lebih baik mandi pakai bak saja. Karena, kalau ke shower agak
sulit masuknya. Padahal pemakaian air untuk bak mestinya jauh lebih
boros daripada untuk shower. Tapi, mungkin orang memang lebih senang
berendam. Tidak seperti saya yang serba kesusu dan karena itu lebih
memilih pakai shower.
Meski masuk ke kamar shower di Hotel Kempinski Indonesia (d/h Hotel
Indonesia) ini agak sulit, namun ruangan shower itu sendiri cukup
longgar. Di dalam kamar shower ini tidak ada masalah. Bahkan showernya
ada dua: yang di langit-langit dan yang di dinding. Airnya juga
menyemprot dengan kuat.
Shower besar yang di langit-langit itu juga enak. Bentuknya yang
besar membuat air rata menyemprot ke seluruh kepala. Menurut penelitian
shower seperti ini kabarnya bisa membuat orang yang mandi di situ bisa
menggunakan air lebih sedikit.
Anehnya, kamar mandi shower ini tidak dilengkapi tempat sabun. Juga
tidak ada sabun cair yang menempel di dinding. Saya agak kaget ketika
sudah berada di dalam. Padahal saya sudah terlanjur telanjang. Ketika
masuk ke kamar shower ini saya memang sudah melepas baju dengan logika
pasti sudah ada sabun atau gel di dalamnya.
Saya hanya membawa sikat gigi yang sudah ada pastanya. Saya memang
biasa sikat gigi di kamar mandi, bukan di wastafel. Boleh kan? Setelah
saya sikat gigi, saya kebingungan: di mana mau menaruh sikat gigi?
Biasanya saya taruh di tempat sabun. Ini tidak ada tempat sama sekali.
OK. Sikat gigi saya lempar begitu saja di pojok lantai. Toh sudah tidak
akan digunakan lagi. Sehabis mandi baru akan saya buang di tempat
sampah.
Lalu saya pun membasahi badan dan rambut. Setelah itu otomatis saya
cari-cari di manakah sabunnya? Ternyata tidak ada. Dinding di kamar
mandi itu bersih dalam pengertian tidak ada apa-apanya sama sekali.
Walhasil saya harus lari ke luar kamar mandi untuk mengambil sabun di
wastafel. Kembali ada persoalan. Setelah sabun itu digunakan akan
ditaruh di mana? Sekali lagi saya lempar saja di pojok lantainya.
Lantai kamar mandi ini juga agak aneh. Di sekelilingnya ada parit
kecil. Lalu di pojoknya ada lubang pembuangan yang tutupnya lepas. Tutup
lubang itu juga terbuat dari keramik segi empat. Tidak apa-apa. Yang
membuat saya tidak habis pikir mengapa digeletakkan begitu saja. Sekali
lagi, barangkali ini memang masih uji coba.
Saya menduga, lantai kamar mandi itu dipasang kurang kurang sempurna
sehingga airnya kurang plas menghilang ke lubang. Maka dibikinkanlah
parit kecil di sekelilingnya. Semoga dugaan saya itu salah. Tapi apa
dong? Bukankah parit keliling itu bisa membuat kesan kebersihan kamar
mandi itu terganggu? Tentu semua itu soal kecil. Yang penting tidak ada
air menggenang selama kita showeran di situ.
Saya juga selalu menilai handuk di setiap hotel. Enak atau tidak di
badan. Di Hotel Kempinski Indonesia ini handuknya cukup enak di badan
-meski juga belum seenak di hotel yang sering jadi langganan saya yang
harganya setaraf dengan itu. Timbangan badan di kamar itu (juga dari
kaca) berfungsi dengan baik. Kaca pembesar di kamar mandi itu juga baik.
Tapi tempat sampah di kamar mandi itu menganggu kenyamanan. Tempat
sampah itu tertutup dan letaknya dua langkah dari wastafel. Untuk
membuang sampah ke situ kita harus menginjakkan kaki ke ontelan di
bagian bawahnya agar tutup tempat sampah itu membuka. Ini menyulitkan
bagi orang yang biasa sekali waktu mengerjakan dua pekerjaan. Misalnya
saja orang yang setelah bersikat gigi ingin membuang sikat giginya ke
tempat sampah sambil mulutnya masih penuh dengan pasta. Masak orang
harus melangkah ke tempat sampah itu untuk menginjakkan kaki sambil
mulutnya penuh dengan busa pasta. Kalau tempat sampah itu tidak
bertutup, orang tinggal melemparkannya saja tanpa harus bergeser dari
wastafel.
Dasar penghuni hotel yang pemalas! (bersambung).
No comments:
Post a Comment