Thursday, April 2, 2009

Kamar Bersih dan Nyaman, Sayang Sulit Buang Kulit Pisang

Kamis, 02 April 2009 
Kamar Bersih dan Nyaman, Sayang Sulit Buang Kulit Pisang
Mencoba Hotel “Kempinski” Indonesia yang Baru (2)

Begitu masuk kamar, bau cat masih terasa. Tidak apa-apa. Memang Hotel Kempinski Indonesia ini (d/h Hotel Indonesia) masih belum genap satu bulan. Semuanya masih serba baru.

Begitu membuka pintu saya langsung terpana oleh lantainya yang kinclong. Seirama dengan hal-hal yang serba kaca di luarnya. Lantai kamar yang terbuat dari kayu itu juga sangat menyenangkan. Di samping nyaman, kesannya juga sangat bersih. Apalagi di sekitar ranjang dilapisi karpet. Saya suka lantai kamar seperti ini. TV-setnya juga sangat besar. Meja dan kursi kerjanya juga simple dan enak. Patung-patung kecil putih yang menjadi hiasan di kamar itu juga cocok sekali.

Tapi adanya dua lampu di samping tempat tidur itu terasa berlebihan. Di sisi kiri ada lampu duduk yang besar sekali, tapi masih juga ada lampu baca yang tangkai besinya terasa amat panjang. Di sisi kanan juga sama. Jadi, ada empat lampu di sisi ranjang. Apalagi lampu duduknya besar sekali. Begitu besarnya lampu duduk itu sampai menutup hiasan grafis (gambar beca susun dua) yang ditempelkan di dinding. Menurut saya lampu baca saja sebenarnya sudah cukup. Meja kecil di samping ranjang itu bisa digunakan untuk menaruh koran, majalah, kacamata atau barang-barang pribadi lainnya yang biasanya harus dilepas sebelum tidur.

Ranjang dan bantalnya sudah cukup enak, meski belum sangat enak seperti yang pernah saya alami di hotel lain dengan tarif yang sama. Sandalnya bagus, alat cukurnya dipilih dari merk yang baik yang cukup tajam (banyak hotel yang alat cukurnya tumpul!), dan jarak antara ranjang dan TV-nya juga ideal.

Penataan kamarnya juga enak, kecuali lampu duduk di sebelah ranjang tadi. Tapi saya kesulitan membuang kulit pisang. Ternyata tidak ada tempat sampah di kamar itu. Padahal ke mana-mana saya selalu membawa pisang kepok, sebagai salah satu pengendali mekanisme pencernaan saya setelah ganti hati hampir dua tahun lalu.

Saya lantas mencoba membuka gordin untuk melihat pemandangan apa yang ada di luar sana. Ternyata sama sekali tidak ada pemandangan yang menarik. Hanya dinding-dinding dan lantai bangunan lain di komplek itu. Bahkan sebagian lantai yang terlihat dari kamar itu masih belum bersih. Masih berupa semen polos. Mungkin karena bagian ini memang belum disentuh. Maklum masih baru ujicoba.

Kelak saya kira pemandangan di situ akan dibenahi dengan tipuan-tipuan yang bisa menyenangkan. Sebelum itu dilakukan, apa yang terlihat dari kamar justru pemandangan yang “kejam”. Maka saya tutup kembali gordin itu dan tidak pernah saya buka lagi sampai saya check out keesokan harinya.

Bagaimana dengan kamar mandinya? Posisi pintu kamar mandi itu cukup enak. Model wastafelnya yang segi panjang itu tidak ada masalah. Cocok saja dengan desain sekelilingnya. Bahwa warna dominan kamar ini (termasuk kamar mandi) adalah coklat, juga tidak masalah.

Toiletnya dipilih toilet paling modern yang pakai elektronik kontrol itu. Tutupnya membuka sendiri, dudukannya selalu hangat dan untuk cuci buang air besar cukup memencet-mencet tombol. Tapi gerakan membukanya kurang cepat. Sehingga bagi yang kebelet sekali, atau yang sakit perut, bisa kececeran. Memang penutupnya bisa dibuka dengan tangan sehingga sebenarnya -kalau kesusu–juga tidak ada masalah. Mungkin karena posisi toilet itu yang menyamping (orang yang akan menggunakannya datang dari arah samping toilet) sehingga sensornya harus menunggu dulu sampai orangnya tiba di arah depannya. Lain kali, kalau posisi toiletnya seperti itu baiknya menggunakan sensor yang bisa “melirik” ke kiri. Dengan demikian, ketika orangnya sudah tiba di sisi kiri toilet, sensornya sudah bisa membaca: lalu tutup toilet itu bisa cepat membuka.

Bak mandi kamar ini sangat besar dan menonjol. Bentuknya oval cembung yang ukurannya benar-benar besar. Saking besarnya sampai-sampai menghalangi pintu masuk ke kamar mandi shower. Akibatnya pintu ke shower ini hanya bisa dibuka separonya saja. Membukanya pun harus hati-hati agar pintunya tidak membentur bak mandi. Di sini terasa seperti ada anjuran lebih baik mandi pakai bak saja. Karena, kalau ke shower agak sulit masuknya. Padahal pemakaian air untuk bak mestinya jauh lebih boros daripada untuk shower. Tapi, mungkin orang memang lebih senang berendam. Tidak seperti saya yang serba kesusu dan karena itu lebih memilih pakai shower.

Meski masuk ke kamar shower di Hotel Kempinski Indonesia (d/h Hotel Indonesia) ini agak sulit, namun ruangan shower itu sendiri cukup longgar. Di dalam kamar shower ini tidak ada masalah. Bahkan showernya ada dua: yang di langit-langit dan yang di dinding. Airnya juga menyemprot dengan kuat.

Shower besar yang di langit-langit itu juga enak. Bentuknya yang besar membuat air rata menyemprot ke seluruh kepala. Menurut penelitian shower seperti ini kabarnya bisa membuat orang yang mandi di situ bisa menggunakan air lebih sedikit.

Anehnya, kamar mandi shower ini tidak dilengkapi tempat sabun. Juga tidak ada sabun cair yang menempel di dinding. Saya agak kaget ketika sudah berada di dalam. Padahal saya sudah terlanjur telanjang. Ketika masuk ke kamar shower ini saya memang sudah melepas baju dengan logika pasti sudah ada sabun atau gel di dalamnya.

Saya hanya membawa sikat gigi yang sudah ada pastanya. Saya memang biasa sikat gigi di kamar mandi, bukan di wastafel. Boleh kan? Setelah saya sikat gigi, saya kebingungan: di mana mau menaruh sikat gigi? Biasanya saya taruh di tempat sabun. Ini tidak ada tempat sama sekali. OK. Sikat gigi saya lempar begitu saja di pojok lantai. Toh sudah tidak akan digunakan lagi. Sehabis mandi baru akan saya buang di tempat sampah.

Lalu saya pun membasahi badan dan rambut. Setelah itu otomatis saya cari-cari di manakah sabunnya? Ternyata tidak ada. Dinding di kamar mandi itu bersih dalam pengertian tidak ada apa-apanya sama sekali. Walhasil saya harus lari ke luar kamar mandi untuk mengambil sabun di wastafel. Kembali ada persoalan. Setelah sabun itu digunakan akan ditaruh di mana? Sekali lagi saya lempar saja di pojok lantainya.

Lantai kamar mandi ini juga agak aneh. Di sekelilingnya ada parit kecil. Lalu di pojoknya ada lubang pembuangan yang tutupnya lepas. Tutup lubang itu juga terbuat dari keramik segi empat. Tidak apa-apa. Yang membuat saya tidak habis pikir mengapa digeletakkan begitu saja. Sekali lagi, barangkali ini memang masih uji coba.

Saya menduga, lantai kamar mandi itu dipasang kurang kurang sempurna sehingga airnya kurang plas menghilang ke lubang. Maka dibikinkanlah parit kecil di sekelilingnya. Semoga dugaan saya itu salah. Tapi apa dong? Bukankah parit keliling itu bisa membuat kesan kebersihan kamar mandi itu terganggu? Tentu semua itu soal kecil. Yang penting tidak ada air menggenang selama kita showeran di situ.

Saya juga selalu menilai handuk di setiap hotel. Enak atau tidak di badan. Di Hotel Kempinski Indonesia ini handuknya cukup enak di badan -meski juga belum seenak di hotel yang sering jadi langganan saya yang harganya setaraf dengan itu. Timbangan badan di kamar itu (juga dari kaca) berfungsi dengan baik. Kaca pembesar di kamar mandi itu juga baik.

Tapi tempat sampah di kamar mandi itu menganggu kenyamanan. Tempat sampah itu tertutup dan letaknya dua langkah dari wastafel. Untuk membuang sampah ke situ kita harus menginjakkan kaki ke ontelan di bagian bawahnya agar tutup tempat sampah itu membuka. Ini menyulitkan bagi orang yang biasa sekali waktu mengerjakan dua pekerjaan. Misalnya saja orang yang setelah bersikat gigi ingin membuang sikat giginya ke tempat sampah sambil mulutnya masih penuh dengan pasta. Masak orang harus melangkah ke tempat sampah itu untuk menginjakkan kaki sambil mulutnya penuh dengan busa pasta. Kalau tempat sampah itu tidak bertutup, orang tinggal melemparkannya saja tanpa harus bergeser dari wastafel.

Dasar penghuni hotel yang pemalas! (bersambung).

No comments:

Post a Comment