Tuesday, October 13, 2009

Catatan dari World Media Summit di Beijing

Selasa, 13 Oktober 2009 , 22:56:00
Catatan dari World Media Summit di Beijing
Harta Utama yang Diserahkan secara Cuma-Cuma


"Ketika berada di tengah-tengah kesulitan yang berat, jangan sekali-kali melupakan kemampuan diri sendiri".

Itulah akibatnya kalau Pertemuan Puncak Media Sedunia dilakukan di Beijing. Inspirasi untuk keluar dari kesulitan pun segera muncul meski harus mengutip kata-kata Mao Zedong di atas. Filsafat Mao Zedong itu langsung masuk dalam salah satu rumusan pertemuan puncak mengingat sulitnya situasi yang dialami media sekarang. Khususnya media cetak yang dinilai sudah berada di ambang kiamat.

Dalam situasi yang sulit itu banyak media cetak yang hanya mengeluh, panik, dan bahkan menyerah pada nasib begitu saja. Banyak juga yang buru-buru beralih ke online dengan prinsip yang kelihatannya masuk akal: sama-sama akan mati, mengapa tidak "lari" sekarang saja. Seolah-olah satu-satunya kemampuan mereka hanyalah lari. Sampai-sampai mereka lupa mencoba jurus-jurus khusus sesuai kemampuan masing-masing.

Memang dalam ilmu kungfu, di samping diajarkan banyak jurus maut, diajarkan juga jurus yang tidak kalah hebatnya: lari! Yakni, jurus yang boleh digunakan saat melihat musuh tidak akan bisa ditundukkan dengan jurus apa pun.

World Media Summit di Beijing pada 9-10 Oktober lalu menyadarkan bahwa media cetak dengan sejarahnya yang panjang itu sebenarnya masih memiliki kemampuan yang luar biasa: content. Yakni, karya jurnalistik profesional yang bermutu tinggi, yang dikerjakan dengan prinsip-prinsip yang kuat, dan yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang indah.

Rupanya, hanya karena panik dan terus-menerus berada dalam kesulitan mengatasi perkembangan internet, media cetak sampai lupa akan kemampuannya sendiri itu.

Tiongkok memang pernah mengalami kesulitan yang luar biasa. Bahkan, jauh lebih berat daripada kesulitan yang dialami media cetak sekarang ini. Begitu sulitnya sampai-sampai Tiongkok jatuh ke status negara miskin. Lalu merosot lagi menjadi negara sangat miskin. Bahkan, beberapa tahun kemudian jatuh lagi dan masuk dalam kategori sebagai negara gagal.

Saat itulah Mao Zedong masih memiliki sisa-sisa harapan dan optimisme. Dia ucapkan kata-kata yang kini dipakai untuk menyemangati dunia cetak sedunia yang umumnya tentu anti-Mao itu. Lalu dicarilah kemampuan apa yang masih dimiliki media cetak. Ternyata ada: karya jurnalistik itu.

Persoalannya, media cetak telah salah langkah sejak awal. Media cetak telah membiarkan "harta utamanya" yang berupa content itu diambil begitu saja secara gratis oleh internet. Bahkan, banyak yang sebelum diambil pun sudah diberikannya dengan sukarela.

Yang penting, menurut rumusan World Media Summit, media cetak harus menjaga kualitas isi koran. Tidak boleh ada kompromi dalam hal mutu jurnalistik. Demikian juga tidak boleh ada kata menyerah dalam menjaga kebebasan pers.

Jurnalistik warga (info-info yang ditulis atau yang dilaporkan pembaca dalam jurnalistik citizen), atau blog, menurut kesimpulan pertemuan Beijing ini, memang sangat berarti, tapi tidak bisa menggantikan jurnalistik profesional. Saya yang hadir di World Media Summit itu bersama Pemimpin Redaksi Jawa Pos Leak Kustiya tentu lebih banyak mendengar dan belajar dari forum yang dibuka Presiden Hu Jintao tersebut.

Saya sangat setuju dengan rumusan itu. Kata-kata Mao yang baru sekali ini saya dengar terasa up to date. Sekaligus saya bangga bahwa tim pimpinan Jawa Pos yang muda-muda sekarang ini sejak awal sudah sangat menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan yang tidak hanya untuk diingat, tapi telah diwujudkan.

Buktinya, Jawa Pos Group termasuk koran yang masih bisa terus berkembang dengan terus memperbarui content-nya. Juga memperbarui kebijakan online-nya. Salah satunya adalah putusan mengapa sejak tahun lalu virtual paper Jawa Pos baru di up load pada pukul 10.00.

Udara 20 derajat Celsius Beijing yang sangat sejuk, cuacanya yang cerah dan ekonominya yang terus berkembang (tahun ini bisa 8,3%, tahun depan 9%), rupanya juga ikut memberikan harapan baru dalam kesulitan media masa sekarang. Semua koran di Tiongkok termasuk yang masih terus bertumbuh. Padahal, penggunaan internet di sana sudah yang terbesar di dunia.

Suasana optimistis itu, setidaknya, karena sebelum sidang-sidang yang penuh persoalan itu dilakukan, peserta dari seluruh dunia sudah lebih dulu melewati Tian An Men yang sangat riang-gembira. Mobil-mobil hias yang dipergunakan dalam parade kolosal perayaan Hari Kemerdekaan Ke-60 Tiongkok 1 Oktober lalu ternyata masih dipajang di situ.

Ini mengejutkan saya. Waktu saya melihat parade 1 Oktober lalu, saya pikir mobil-mobil hias yang masing-masing diarak 3.000 orang pendukung itu langsung dibawa pulang. Ternyata mobil-mobil hias yang berjumlah 60 itu masih bisa dimanfaatkan untuk pameran selama 10 hari di Tian An Men.

Bebungaan hidup di mobil-mobil hias itu memang sudah tidak ada. Tapi, karena desainnya serba elektronik, tampilannya tetap terlihat menarik. Apalagi, kalau malam: menambah cemerlang Tian An Men yang sudah gemerlap itu.

Saya jadi ingat ketika menyelenggarakan parade mobil bunga pertama di Surabaya 25 tahun lalu. Ketika parade baru berjalan 1 km, bunganya sudah ludes di tangan penonton yang memadati sepanjang jalan dari Tugu Pahlawan hingga Taman Surya. Tak ayal bila penonton yang menunggu di Jalan Pemuda sangat kecewa karena tinggal melihat iring-iringan mobil yang gundul.

Rapat-rapat World Media Summit dilakukan di Hall of The People, gedung DPR yang menghadap ke Tian An Men. Kemegahan dan keindahan gedung ini rupanya ikut pula menjadi inspirasi untuk memunculkan kata-kata Mao itu.

Saya sudah beberapa kali menghadiri acara di gedung negara ini. Ruang rapatnya sangat banyak, berlangit-langit tinggi. Salah satu sisi dinding ruang selalu dihiasi lukisan khas Tiongkok yang optimistis dengan ukuran raksasa. Dengan demikian, meski nama-nama semua provinsi sudah dipakai untuk penamaan ruang-ruang itu pun masih berlebih.

Interior gedung ini juga sudah berubah dan terlihat lebih "Tiongkok". Ornamen-ornamennya yang detail disentuh dengan warna dominan merah hati, dipadu aksentuasi kilau keemasan. Tidak lagi terlalu "Rusia" sebagaimana bentuk. World Media Summit inilah yang pertama menggunakan gedung ini sejak interiornya diperbarui. Suasananya sudah tidak sama dengan tiga tahun lalu. Yakni, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diterima dengan upacara militer di dalam gedung yang salah satu ruang besarnya bisa untuk upacara militer di musim dingin itu.

Pengutipan kata-kata Mao kelihatannya tidak ditolak oleh delegasi Amerika Serikat sekali pun. Maklum, kini Tiongkok sudah menjadi kekuatan ekonomi ketiga di dunia setelah tiga tahun lalu mengalahkan kekuatan ekonomi Jerman. Bahkan, akhir tahun ini diperkirakan Tiongkok sudah mengalahkan Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua. Dunia kini lagi berdebar menunggu pengumuman hasil penilaian itu. Kalau benar, mulai tahun depan Tiongkok tinggal berhadapan dengan kekuatan ekonomi superpower Amerika.(*)

No comments:

Post a Comment