Thursday, October 15, 2009

Kalahkan Singapura, Kehidupan Malam seperti New York

Kamis, 15 Oktober 2009
Kalahkan Singapura, Kehidupan Malam seperti New York
Pesatnya Perkembangan Turisme Kota Beijing (1)

Pembenahan kota Beijing yang gila-gilaan dalam lima tahun terakhir, telah membuat kota ini sangat modern, bersih, dan begitu cantik. Beijing-lah kota paling elegan di Tiongkok. Turisme-kota di Asia yang selama ini hanya disimbolkan oleh Singapura, segera diambil alih Beijing. Berikut Dahlan Iskan yang baru mengikuti World Media Summit (WMS) 2009 di Great Hall of the People, Beijing.

Kalau dulu hanya ditemani Wangfujing, kini pusat turisme Tian An Men –Forbiden City sudah dikitari tiga pusat kya-kya sekaligus. Masing-masing dengan ciri khas dan segmennya sendiri-sendiri. Ditambah pembangunan CDB (Central Business District) di arah timur Tian An Men, saya sudah bisa membuat kesimpulan ini: turisme-kota di Asia yang selama ini hanya disimbolkan oleh Singapura, segera diambil alih Beijing.

Setelah penutupan World Media Summit, saya pergi ke CDB dan naik ke lantai 66 sebuah gedung baru di kompleks yang isinya hanya gedung-gedung yang menuding langit. Saya masuk ke restorannya di beberapa lantai di atas lantai 66, lalu naik lagi untuk mengintip diskoteknya, naik lagi untuk melongok ke bar-barnya: saya tidak tahu lagi kalau malam itu berada di Beijing yang pernah saya kenal. Saya sudah seperti berada di kehidupan malam Los Angeles, atau New York, atau Tokyo. Sudah mengalahkan Singapura.

Di samping wisata yang mengandalkan kekunoannya, belanjanya, dan kya-kyanya, kini Beijing pun sudah memiliki wisata hiburan malam yang elegannya seperti di Barat. Bahkan, dengan alokasi ruangan yang lebih besar. Ini karena Beijing juga sudah menjadi salah satu pusat keuangan di luar Shanghai dan Shenzhen.

Pembenahan Kota Beijing yang gila-gilaan lima tahun terakhir memang telah membuat kota ini sangat modern, bersih, cantik, dan terasa sekali sangat elegan. Beijing-lah kota paling elegan di Tiongkok. Sudah lebih 15 tahun ini saya tidak pernah tidak ke Beijing setiap tahun. Yakni, sejak saya masih tinggal di hotel yang di halamannya masih berserakan batubara yang sangat kotor untuk menyediakan air panas sampai kini masuk ke hotel yang lobinya saja di lantai 66. Bahkan belakangan, dengan semakin banyaknya kegiatan, saya bisa ke Beijing tiga-lima kali setahun. Saya bisa ”menggrafikkan” dengan baik perkembangan Beijing dari tahun ke tahun. Terasa sekali ambisinya untuk mengalahkan Tokyo segera terwujud. Tidak lagi memperhitungkan Singapura.

Maka, kalau dulu turisme hanya mengandalkan peninggalan kuno yang memang sangat berharga seperti Kota Terlarang dan Tembok Besar, kini Beijing sudah benar-benar masuk ke turisme-kota. Tian An Men dengan Forbiden Citynya, terus dibenahi sehingga kekunoannya ditambahi daya tarik modernisasi: air mancur bermain di sepanjang tembok depan Kota Terlarang, perombakan tata cahaya di waktu malam dan vtron-vtron raksasa. Orang yang pernah ke kawasan Tian An Men pun akan selalu ingin melihat perkembangan barunya.

Dari sini, ke timur sedikit ada tempat jalan-jalan Wangfujing yang sudah legendaris, tapi juga terus diperbarui. Kini orang juga sudah diberi pilihan untuk jalan-jalan ke arah barat: Xidan. Kawasan inilah yang disiapkan untuk anak-anak muda dengan turisme gaya hidup mudanya.

Bahkan, sekarang ini (baru sekali ini saya lihat karena memang baru saja jadi), kampung di belakang (selatan) Tian An Men sudah pula diubah menjadi pusat jalan-jalan baru yang desainnya sangat modern, tapi dengan ciri khas Tiongkok. Inilah pusat kya-kya baru yang khas dan elegan sepanjang 1 km: Qianmen.

Begitu kuatnya pembentukan ciri khas pusat jalan-jalan di Qianmen ini, sehingga tidak satu gerai pun yang boleh melanggar ciri khas yang sudah ditetapkan. Tidak ada kompromi untuk mencapai pencitraan yang kuat itu. Merek terkuat di dunia seperti Starbuck pun harus tunduk. Tidak boleh menampilkan logo Starbuck yang amat spesial itu di sini. Warna gerainya juga tidak boleh menggunakan warna khas Starbuck. Harus diubah menjadi agak abu-abu-hitam yang mencitrakan bangunan modern, tapi terasa kuno.

Inilah rasanya kasus marketing di mana pemilik merek yang menguasai dunia harus kalah total di Beijing. Sampai-sampai di papan nama besar di luarnya pun tidak boleh ada tulisan Starbuck. Yang boleh adalah tulisan Xing Pa Ke dalam huruf Mandarin. Xing Pa Ke adalah nama Mandarin untuk Starbuck sebagaimana nama Iskan menjadi Yu Shi Gan. Nama Starbuck hanya boleh ditulis kecil di bawah samping gerai, itu pun di barisan kedua. Maka, orang asing yang jalan-jalan ke situ tidak akan mengira kalau gerai itu adalah gerai Starbuck.

Ini menandakan bahwa posisi tawar pusat jalan-jalan Qianmen sangat kuat. Sampai bisa membuat merek kelas dunia tunduk pada aturannya. Saya jadi ingat ketika diberi hak sewa tiga tahun untuk mengelola Jalan Kembang Jepun menjadi Kya Kya di malam hari: ingin mengecat bangunan di sepanjang Jalan Kembang Jepun saja tidak mendapat respons dari pemiliknya. Betapa lemahnya posisi saya saat itu. Mungkin juga karena saat itu, saya hanya dapat hak kelola dari pemda tiga tahun sehingga tidak bisa mendapat kepercayaan pasar.

Di Qianmen ini bahkan restoran Peking Duck tertua di Tiongkok (tahun ini berumur 145 tahun) harus tunduk pula. Akibatnya, restoran ini harus mundur ke barisan kedua di belakang bangunan barisan pertama. Kalaupun ngotot tetap buka di barisan pertama, restoran ini tidak akan bisa mendapat jatah ruang yang luas. Padahal, ribuan orang makan bebek di sini.

Saya harus minta tolong teman di Beijing mengantrekan sejak pukul 15.00 untuk bisa mengajak rombongan para pengelola DBL dari seluruh Indonesia, untuk makan pukul 16.30 (saat restoran mulai dibuka). Itu pun sudah kalah dulu. Mendapat nomor 17.

Tembok depan berumur 145 tahun yang menjadi ciri khas restoran ini pun harus dipindah! Tidak cocok dengan karakter yang ingin dibentuk pusat jalan-jalan ini. Pemilik restoran terpaksa mengabadikan tembok bersejarah itu dengan cara membangun tembok baru dengan desain yang sama di pintu masuknya yang baru, di barisan kedua bangunan di Qianmen.

Sebenarnya restoran ini sudah punya satu cabang tidak jauh dari situ. Yakni, sebuah bangunan besar 7 lantai yang setiap lantai selalu penuh dengan orang yang makan bebek. Saya juga sering membawa keluarga makan di sini. Kelebihannya: kita mendapat sertifikat yang berisi pemberitahuan bebek ke berapa yang kita makan hari itu. Bebek yang saya makan hari itu, misalnya, adalah bebek yang ke 1.684.356.245. Artinya, sampai hari itu sudah 1,6 miliar lebih bebek yang oleh manusia tidak dihargai perikebebekannya.

Tentu saya tidak pernah bertanya, apakah benar bebek yang saya makan itu adalah bebek yang ke 1.684.356.245? Saya takut dianggap tidak percaya lalu disuruh menghitung sendiri. Angka yang saya tulis itu pun tidak perlu Anda tanyakan keakuratannya. Sertifikat asli saya sudah hilang. Saya hanya ingat angka-angka depannya. Kalau tidak percaya, Anda terpaksa membantu menemukan kembali sertifikat saya….(bersambung)

No comments:

Post a Comment