Menteri Pariwisata Baru Kita: Julia Roberts!
Inilah, mestinya, sebuah promosi pariwisata yang dampaknya bisa lebih
besar daripada hasil kerja tiga menteri pariwisata sekaligus: Julia
Roberts. Peraih Oscar ini bukan hanya pergi ke Bali. Julia Roberts
tinggal di Bali untuk lebih dari satu bulan. Bahkan, dia sedang syuting
film Hollywood sebagai pemeran utama dalam film Eat, Pray, Love.
Bisa dibayangkan betapa besarnya gema Bali setelah pemutaran film itu
nanti. Bahkan, mestinya sudah sejak pembuatannya sekarang. Kita pasti
masih ingat betapa pariwisata Selandia Baru mendapat durian runtuh
ketika film Lord of The Rings dibuat di negeri dingin itu.
Julia Roberts, Hollywood, dan film yang didasarkan pada novel laris
dunia: bentuk promosi apa lagi yang lebih hebat daripada itu” Seluruh
APBN kita di bidang pariwisata pun (tahun 2009 hanya sekitar Rp 1,4
triliun) belum tentu cukup untuk merayu Hollywood agar mau bikin film
yang bagus untuk mempromosikan Bali. Itu, kedatangan Julia Roberts itu,
tidak mencuil sedikit pun APBN kita. Padahal, Malaysia saja harus
menghabiskan dana besar agar “Gedung Jagung” (baca: menara kembar
Petronas) yang menyandang gelar sebagai gedung kembar tertinggi di dunia
itu bisa menjadi latar belakang atau setting film Entrapment, yang
dibintangi aktris Catherine Zeta-Jones dan aktor Sean Connery, salah
satu bintang film James Bond. Padahal, dalam film itu, Gedung Jagung
hanya kelihatan beberapa kilas.
Kita sungguh harus berterima kasih kepada Julia Roberts. Tentu juga
kepada Hollywood. Lebih khusus lagi kepada Elizabeth Gilbert yang telah
menulis novel dengan setting Bali, khususnya Ubud (Gianyar) dan Jimbaran
(Badung). Tapi, sampai hari ini, saya belum melihat ada orang Indonesia
yang secara terbuka mengucapkan terima kasih kepada mereka. Kalau saja
saya presiden Indonesia, saya akan menjamu Julia Roberts. Setidaknya
kalau saya menteri pariwisata. Kita buat Julia Robert sangat terkesan
selama di Bali. Kita buat Julia Roberts “menteri pariwisata” kita yang
baru.
Dengan kehadiran bintang film top dunia di Bali itu, apalagi untuk
waktu yang lama, apalagi untuk syuting film bagus, apalagi mengenai daya
tarik Bali, apalagi jalan ceritanya sangat menarik, rasanya baru kali
ini Bali mendapat promosi gratis ke seluruh dunia lewat media yang
sangat abadi ini: film. Memang, Bali pernah mendapat promosi melalui
penyanyi Filipina, Maribeth, dengan lagunya Denpasar Moon. Namun, lagu
itu tidak mendunia.”Saya tidak jadi menyesal membeli properti di Bali,”
ujar seorang pengusaha Surabaya. “Harga properti di Bali pasti akan
naik,” tambahnya. Pengusaha itu memang pernah mengeluh setelah terjadi
bom Bali. Kini ke mana-mana dia bercerita mengenai Julia Roberts yang
lagi syuting film di Bali.
Begitu serunya pengusaha tersebut bercerita, sampai-sampai saya harus
membeli novel yang sedang difilmkan dengan judul yang sama itu: Eat,
Pray, Love. Cover novel itu sendiri sudah menarik: tulisan Eat-nya
menggunakan keju. Pray-nya menggunakan untaian tasbih atau rosari.
Love-nya menggunakan rangkaian kelopak bunga anggrek. Itulah novel karya
penulis Amerika Serikat bernama Elizabeth Gilbert. Itulah novel yang
masuk dalam daftar buku terlarisnya The New York Times. Itulah novel
yang meski ditulis pada 2006, tapi masih terus menjadi perbincangan di
Amerika. Terutama di kalangan yang khusus ini: wanita, umur 30?40-an
tahun, mapan, dan berstatus janda. Jumlah mereka ini tidak kecil di AS
mengingat kebiasaan cerai dan menjadi single mother sangat umum di sana.
Novel itu memang berkisah mengenai wanita pada umur yang mudah goyah
tersebut. Kegoyahan yang berakibat pada gangguan kejiwaan yang sangat
berat. Liz, yang akan diperankan oleh Julia Roberts, seperti
layang-layang putus setelah bercerai dari suaminya. Dia begitu benci
kepada suaminya itu sampai-sampai dia menolak kata-kata bijak “kalau
engkau mau mengetahui lebih banyak tentang suamimu, maka ceraikanlah
dia?. Dia benar-benar bercerai justru karena ingin berhenti mengetahui
lebih jauh mengenai suaminya.
Sebagai orang Kristen KTP, dia memang percaya Tuhan. Tapi, dia merasa
belum pernah bisa bertemu Tuhan. Sampai-sampai dia ragu bagaimana harus
menyebut Tuhan: He (dia untuk laki-laki) atau She (dia untuk
perempuan). Dia begitu ingin bertemu Tuhan dan mendapatkan kedamaian
jiwa. Dia mengelana ke Italia, India, dan akhirnya ke Bali. Di Bali, Liz
menemui Ketut Liyer yang dia anggap bisa menjawab pertanyaan dasar
yang sulit ini: bagaimana bisa menyatu dengan Tuhan, dicintai dan
mencintai Tuhan seumur hidup tapi tidak harus jadi pendeta atau ulama
dan tetap bisa menikmati segala kenikmatan dunia.
Bali mendapat promosi yang luar biasa. Bali yang digambarkan di novel
itu sebagai satu-satunya surga di dunia, yang bisa menyelesaikan
persoalan rumit Liz: dia mendapatkan ketenteraman jiwa dan kemurnian
cinta dari seorang pria asal Brazil yang tinggal di Bali dengan alasan
yang sama.
Julia, maafkan kalau sampai Anda pulang nanti, tidak ada sambutan
hangat untuk Anda dan rombongan. Maafkan kalau kami kurang berterima
kasih kepada Anda” (*)
No comments:
Post a Comment