Wednesday, October 28, 2009

Agus dan Emir Harus Bersyukur Tak Masuk Kabinet

Rabu, 28 Oktober 2009
Agus dan Emir Harus Bersyukur Tak Masuk Kabinet

Untunglah Agus Martowardojo dan Emirsyah Satar tidak jadi menteri. Belum tentu baik orang sehebat Agus dan Emir masuk kabinet. Agus Martowardojo, Dirut Bank Mandiri itu, pernah dispekulasikan menduduki jabatan menteri BUMN. Sedangkan Emirsyah Satar, Dirut Garuda Indonesia, menduduki jabatan menteri perhubungan.

Kedua orang profesional itu, kalau tidak lebih hebat daripada menteri yang ada, setidaknya tidak akan kalah. Saya memang punya prinsip jangan semua orang hebat masuk dalam kabinet. Biarlah kabinet dibagi-bagi untuk penjatahan apa saja. Sedang pos-pos yang memerlukan kerja keras beneran di sektor riil harus dijaga agar tetap berada di tangan orang seperti Agus Martowardojo dan Emirsyah Satar.

Orang seperti Agus dan Emir harus bersyukur tidak masuk kabinet. Kalaupun keduanya tidak bersyukur, kami-kamilah rakyat Indonesia yang bersyukur. Kebanggaan dan kepercayaan terhadap Bank Mandiri yang mulai tumbuh bisa terus dikembangkan menjadi bank berskala internasional. Agus Martowardojo akan mampu mewujudkannya.

Demikian juga kebanggaan kepada Garuda Indonesia yang mulai muncul, diharapkan bisa berlanjut menjadi sebuah kebanggaan karena Garuda kembali mampu berkiprah di jalur internasional. Emirsyah Satar yang sudah berhasil mengangkat Garuda dari lembah penghinaan masih memerlukan waktu untuk membuat Garuda terbang tinggi.

Adapun kabinet biarlah diisi orang-orang yang berebut jatah. Begitu banyak pihak yang merasa harus mendapat jatah. Sampai-sampai mereka harus merebut, mengancam, mencela, menyikut, dan menyindir. Bayangkan betapa sulitnya Presiden SBY ketika menyusun kabinet baru. Harus ada jatah untuk partai-partai. Untuk suku-suku besar. Untuk agama-agama. Untuk gender (jatah laki-laki dan jatah wanita). Untuk pegawai karir. Untuk jatah profesional. Jatah untuk tentara dengan subjatah angkatan darat, laut, udara dan polisi. Jatah untuk universitas: untuk ITB-IPB-UI-UGM-ITS-Unair dan perwakilan universitas kecil. Jatah untuk menteri lama agar ada kesan terjadi kontinuitas. Masih ada lagi jatah untuk sebuah pertimbangan khusus.

Sedikit saja penjatahan itu kurang merata, bisa-bisa negara kurang harmonis. Misalnya saja sekarang ini. Belum apa-apa golongan tertentu di Ambon sudah mengancam memisahkan diri dari Indonesia hanya karena tidak ada orang Ambon dalam kabinet. Padahal, bisa saja sebentar lagi orang Ambon yang sangat hebat, yang sekarang sudah menjadi orang kunci di Sesneg seperti Lambock (Wakil Sekretris Kabinet Lambock V. Nathans), akan mendapat jatah sebagai sekretaris kabinet.

Memang, secara tradisional suku Ambon selalu terwakili dalam kabinet, sebagaimana suku Padang, Batak, Jawa, Manado, Bali, Palembang, dan Banjarmasin. Orang seperti Gusti Hatta yang menjadi menteri lingkungan hidup, misalnya, tidak hanya membuat kaget masyarakat, tapi juga mengagetkan dirinya sendiri. Ketika sudah dipanggil ke Jakarta pun dia masih mengira hanya akan diangkat menjadi rektor universitas setempat. Barangkali dia tidak tahu kalau sampai hari itu jatah untuk Kalimantan belum ada.

Rasa iri itu bukan hanya monopoli orang Ambon. Di kalangan universitas pun mulai ada guyon: IPB itu singkatan dari Institut Pejabat BUMN! Ini bermula karena pejabat-pejabat di BUMN, mulai menterinya sampai deputinya adalah lulusan Institut Pertanian Bogor. Atau kalau dalam kabinet kemarin ITB menjadi penguasa, kini direbut kembali oleh UI. Maka, ke depan, harus ada tekad bulat dari para alumni ITB Bandung untuk menggelorakan bait lagu “Mari Bung rebut kembali!”. Maksudnya untuk kabinet lima tahun ke depan.

Maka, saya lega ketika Agus Martowardojo dan Emirsyah Sattar tidak mendapat jatah itu “mungkin karena dilahirkan dari suku yang salah atau dari universitas yang jatahnya sudah kebanyakan. Yang jelas, keduanya bukan orang partai. Keduanya orang profesional yang dalam kabinet jatahnya hanya sedikit dan sudah habis untuk sekalian memenuhi jatah menteri lama.

Sebaiknya memang, jangan semua yang hebat-hebat menjadi menteri. Negara akan sangat kehilangan kalau Agus menjadi menteri. Negara ini lebih memerlukan memiliki bank yang bisa bersaing di tingkat internasional. Agus sudah membuktikan bisa mengubah Bank Mandiri menjadi raksasa perbankan dengan kultur baru yang sangat hebat.

Saya kagum orang seperti Agus bisa mengubah bank milik pemerintah yang demikian parah bisa menjadi bank terbesar dengan kultur yang berubah total. Orang-orang keuangan saya terkagum-kagum bahwa kini orang-orang Bank Mandiri tidak lagi minta komisi kredit. Bahkan, diberi kenang-kenangan pun tidak mau. Ini sungguh revolusi luar biasa yang dilakukan Agus. Dia adalah man in action di lahan yang memungkinkan untuk action itu. Belum tentu man in action seperti Agus bisa tetap beraksi di lahan yang terjepit: atasnya besi, bawahnya api.

Dalam masa jabatannya itu pula Bank Mandiri bisa mengalahkan BCA dengan cepat. Bukan saja di bidang kinerja keuangan, tapi sampai ke soal servisnya. Dulu, begitu parahnya bank pemerintah, sampai-sampai menimbulkan rasa minder secara nasional: tidak mungkin bank pemerintah bisa mengalahkan swasta seperti BCA.

Saat itu BCA-lah raja bank di Indonesia. Mulai kinerja keuangannya, servisnya sampai ke modernitas teknologinya. Kini Agus berhasil membalik pesimisme itu.

Persaingan bank, terutama secara internasional, sangat berat. Aguslah yang harus diandalkan untuk membendung laju perbankan asing yang sedang berebut menguras sumber dana nasional. Tentu dengan cara profesional seperti yang dilakukan Agus. Bukan dengan cara regulasi yang kini tidak zamannya lagi.

Prestasi yang kurang lebih sama ditunjukkan Emirsyah Satar. Saya sudah menuliskannya panjang lebar di harian ini beberapa waktu lalu. Garuda sudah mendapatkan nakhoda yang hebat. Garuda memerlukan satu periode lagi untuk bisa benar-benar mendapatkan kepercayaan. Dari perusahaan penerbangan yang hanya menjadi tempat cibiran berubah menjadi kebanggaan nasional sebagaimana Bank Mandiri.

Kita memerlukan lebih banyak orang seperti Agus Martowardojo dan Emirsyah Satar. Sudah terlalu banyak orang yang bisa menjadi menteri “apalagi dasarnya hanya jatah. Tapi, terlalu sulit menciptakan orang seperti Agus dan Emirsyah.

Harus diakui, Presiden SBY telah menciptakan iklim yang baik untuk lahirnya orang-orang seperti itu. Bisa jadi keduanya juga tidak akan bisa maksimal kalau saja iklim yang diberikan kepada mereka tidak selonggar sekarang. Bahkan, Emirsyah berani mengajukan syarat ketika diminta menduduki jabatan Dirut Garuda itu. Dan Presiden SBY memberikan ruang untuk terjadinya bargaining seperti itu.

Di zaman ini, orang akan mudah melupakan siapa pernah menjadi menteri apa. Bahkan, siapa sedang menjadi menteri apa. Zaman ini adalah zaman korporasi. Apalagi di masa depan. Karena itu, Agus Martowardojo dan Emirsyah Satar akan lebih abadi sebagai pemimpin besar korporasi yang besar. Kelak, kebanggaan Indonesia akan lebih dibuat oleh prestasi orang-orang seperti Agus dan Emir. (*)

No comments:

Post a Comment