Agar Birokrasi di Bawah Menteri Bergerak Cepat
Siapapun menterinya, keluhan terbesar selama lima tahun terakhir ini
sebenarnya adalah: bagaimana para menteri itu bisa menggerakkan eselon
III (Dirjen) dan eselon II (direktur) di setiap kementeriannya.
Menterinya boleh baru, tapi birokrasinya barang lama. Lengkap dengan
berbagai peraturan yang menghambat. Termasuk, peraturan untuk mengganti
para pembuat konsep peraturan itu.
Sehebat apa pun seorang menteri, dia langsung terkerangkeng oleh
bawahannya. Apalagi, sang bawahan sudah begitu ahli menggunakan
kerangkengnya itu selama berpuluh tahun. Apalagi, sang menteri sendiri
tidak bisa begitu saja mengganti mereka. Ada prosedur yang sulit,
lambat, berbelit, dan lama untuk membuat seorang menteri bisa memilih
Dirjen dan direktur yang kecepatan serta kecerdasannya sesuai dengan
yang dia inginkan.
Kalaupun akhirnya mereka bisa diganti (biasanya baru terjadi sudah
pada tahun kedua masa jabatan para menetri itu), belum jaminan untuk
lebih cepat berjalan. Jerat peraturan begitu hebatnya. Sedangkan pikiran
untuk mengubah peraturan itu begitu lambatnya.
Wewenang menteri untuk mengganti atau memindah bawahannya tersebut
sangatlah kecil. Ada aturan kepangkatan, ada aturan golongan, ada aturan
kepegawaian, ada aturan jabatan, dan ada mekanisme yang sangat rumit di
dalamnya. Inilah yang membuat menteri yang ingin cepat berkarya pun
harus menyerah pada awal jabatan. Lalu menikmatinya begitu saja.
Lambannya jalannya birokrasi di bawah menteri itu juga bukan salah
mereka. Para Dirjen sudah sangat sibuk mewakili menteri ikut rapat
koordinasi antardepartemen. Praktis, negara ini sebenarnya digerakkan
oleh para direktur di bawah Dirjen. Bukan oleh para menteri.
Menteri bisa minta “ba” atau “bu”. Tapi, sangat sering permintaan itu
tidak bisa dipenuhi hanya karena munculnya catatan dari seorang
direktur bahwa keinginan menteri tersebut tidak mungkin dijalankan
karena tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Para direktur
sangat ahli membuat catatan panjang yang mengakibatkan sebuah keinginan
menteri tidak akan bisa dilaksanakan.
Yang diperlukan pemerintah sekarang ini sebenarnya bukan menteri
penertiban aparatur negara. Tapi, pengaturan kembali aparatur negara.
Koordinasi kementerian sungguh persoalan yang sangat rumit. Apalagi
kalau yang dikoordinasikan, seperti yang terjadi selama ini, terlalu
luas. Kesibukan Dirjen dan direktur di tingkat koordinasi ini luar biasa
besarnya. Seolah-olah, pekerjaan terbesarnya adalah melakukan
koordinasi itu sendiri dan bukan melayani rakyat.
Karena itu, penyederhanaan pengelompokan menteri koordinator
sebaiknya dilakukan. Jumlah koordinatornya memang bertambah dua, tapi
persoalan yang dikoordinasikan menjadi lebih fokus. Dengan demikian,
rapat koordinasinya tidak terlalu melebar. Waktu yang digunakan juga
lebih singkat.
Tegasnya, saya usul ada kelompok baru di luar tiga kelompok yang
sudah ada (polhukam, ekuin, dan kesra). Bukankah beberapa departemen
sebenarnya memang kurang pas masuk ke salah satu di antara tiga kelopok
itu” Saya usul ada kelompok “infrastruktur dan produksi pangan” serta
ada kelompok “pelayanan umum”.
Dengan demikian,
Kelompok 1 (ekuin) hanya akan terdiri atas keuangan, perdagangan, industri, pertambangan, penanaman modal, dan BUMN.
Kelompok 2 (infrastruktur dan produksi pangan) terdiri atas pekerjaan umum, pertanian, perikanan, kehutanan, koperasi/UKM, bulog, ristek, dan LH.
Kelompok 1 (ekuin) hanya akan terdiri atas keuangan, perdagangan, industri, pertambangan, penanaman modal, dan BUMN.
Kelompok 2 (infrastruktur dan produksi pangan) terdiri atas pekerjaan umum, pertanian, perikanan, kehutanan, koperasi/UKM, bulog, ristek, dan LH.
Kelompok 3 (pelayanan umum) adalah perhubungan, telekomunikasi,
pendidikan, kesehatan, PAN, perumahan, serta agraria.
Kelompok 4 (sosial) adalah agama, wanita, perumahan, pemuda/olahraga, tenaga kerja, sosial, dan daerah tertinggal.
Sedangkan kelompok 5 (polhukam) adalah hankam, Mendagri, Menlu, hukum, jaksa agung, dan Polri.
Kelompok 4 (sosial) adalah agama, wanita, perumahan, pemuda/olahraga, tenaga kerja, sosial, dan daerah tertinggal.
Sedangkan kelompok 5 (polhukam) adalah hankam, Mendagri, Menlu, hukum, jaksa agung, dan Polri.
Tentu tidak harus menambah Menko. Bisa saja salah seorang menteri
yang paling kapabel di kelompok itu ditugaskan sebagai ketua
kelompoknya. Dengan demikian, kesibukan para Dirjen dan direktur dalam
berkoordinasi bisa dikurangi hanya untuk koordinasi di bidang yang
memang sangat dekat dengan bidangnya. Dengan demikian, bisa menjadi
lebih fokus.
Inilah salah satu kunci kalau jalannya birokrasi harus dibuat lebih
cepat dan lebih lincah. Sri Mulyani rasanya bisa merangkap jadi ketua
kelompok 1. Hatta Rajasa dengan demikian tidak perlu ikut mengurusi
makroekonomi yang memang bukan kompetensinya. Hatta akan sangat bagus
mengoordinasikan kelompok pelayanan umum. Apalagi, dia pernah menjadi
menteri perhubungan yang sukses. Beban Agung Laksono yang tidak populer
itu dengan demikian juga berkurang tinggal hanya mengoordinasikan
kelompok sosial.
Kelompok infrastruktur dan produksi pangan akan sangat pas kalau
diketuai Kuntoro Mangkusubroto. Atau, kalau Kuntoro diperlukan di bidang
lain, Fadel Muhamad sangat punya kemampuan untuk menjadi ketua kelompok
ini. Daerah tandus pun sudah dia ubah menjadi produsen jagung. Dia tahu
cara-caranya.
Benar sekali. Persoalan dasarnya bukan siapa yang jadi menteri. Tapi,
bagaimana cara bisa mengoordinasikan dengan efektif dan bisa
menggerakkan birokrasi di bawah menteri itu. Ini pun kalau kita sepakat
bahwa kita ingin maju dengan cepat.(*)
No comments:
Post a Comment