Sinuiju Tak Kunjung Berubah Jadi Shenzhen Kedua
Berkelana ke Dandong, “Merauke”-nya Tiongkok di Perbatasan Korea Utara (2)
Hanya dipisahkan Sungai Yalu, perbedaan kota Dandong di Tiongkok dan
Sinuiju di Korea Utara seperti bumi dan langit. Mengapa negeri yang
dipimpin Kim Jong-il itu belum berhasil menerapkan komunisme tiga kaki
seperti yang dilakukan Tiongkok?
Meski sudah pukul tujuh malam saya tiba di Dandong, matahari masih
tinggi. Di musim seperti ini, di belahan bumi bagian utara, siang memang
lebih panjang. Saya tahu banyak hotel bintang empat atau lima di ibu
kota kabupaten ini. Tapi, saya ingin pilih tinggal di hotel yang
menghadap ke Sungai Yalu. Kalau bisa di lantai 15 ke atas. Dari dalam
kamar, saya bisa melihat daratan Korea Utara yang berada hanya di
seberang sungai.
Hotel itu ternyata penuh. Hari itu, Sabtu petang, turis yang datang
memang lebih banyak daripada hari biasa. Semua ingin melihat Korea Utara
dari Dandong. Memang, inilah kota paling dekat dengan Korea Utara. Saya
juga pernah ke perbatasan antara Korea Selatan dan Korea Utara (di
Panmunjom), tapi hanya bisa melihat gunung-gunung. Atau, paling hanya
bisa melihat satu bangunan yang sesekali dipakai perundingan dua negara
yang bermusuhan itu.
Bangunan itu, separo di wilayah Korsel dan separo lagi wilayah Korut.
Ruang rapat dibikin panjang. Meja rapat pun separo berada di wilayah
Korsel, separo lagi di tanah Korut. Kalau rapat, mereka bisa berbicara
langsung tanpa masing-masing harus duduk di kursi yang berada di wilayah
“musuh”.
Sampai Minggu lalu pun, Korea Utara masih mendengungkan bahwa musuh
paling utama negeri itu ada tiga: Korsel, Jepang, dan USA. Tiga-tiganya
menjadi ancaman utama keamanan dan perdamaian Asia. Padahal, pertengahan
Mei lalu, Korut baru saja mengizinkan Korsel meluncurkan kereta api uji
coba dari negara selatan ke negara utara. Itulah kereta pertama yang
melintasi perbatasan sejak jalur kereta diputuskan oleh perang 65 tahun
lalu.
Status hubungan Korsel dan Korut sendiri masih “berada dalam keadaan
perang”. Ini karena ketika keduanya saling menghentikan serangan 50
tahun lalu, tidak ada perjanjian penghentian perang. Yang ada hanya
gencatan senjata. Jadi, secara teoretis, kapan pun keduanya bisa saling
perang lagi tanpa harus mengumumkan kapan dimulainya.
Korea Utara sendiri yang kini dikenal sebagai negara dengan kekuatan
militer kelima terbesar di dunia, kian tahun kian terisolasi. Rusia yang
ada di sebelah utara sudah bukan lagi negara komunis. Tiongkok,
tetangganya di barat, memang masih komunis, tapi sudah berubah menjadi
penganut “komunisme tiga kaki” (buruh, tani, dan pengusaha). Ini
sebenarnya juga sudah bukan komunisme. Sebab, pada dasarnya pengusaha
adalah justru lawan utama ideologi ciptaan Karl Max itu.
Rasanya kini memang tinggal dua negara komunis yang belum dapat
“jalan keluar”: Korea Utara dan Kuba. Korut mungkin menunggu “lewatnya”
tuhan mereka, Kim Jong-il, dan Kuba menunggu sepeninggal gusti mereka,
Fidel Castro. Tapi, keduanya ternyata sakti amat. Gak mati-mati.
Dua-duanya kini seperti malu-hati. Atau memang sengaja ingin jadi
cagar budaya komunisme di dunia. Satu di Atlantik. Satu di Pasifik.
Tapi, rakyat di kedua yang jadi korban. Mereka hidup dalam kesengsaraan
dan kemiskinan. Kian lama kian miskin. Dan menderita. Itu, kalau ukuran
“penderitaan” memakai ukuran kapitalisme. Karena banyak juga orang yang
kelihatan secara ekonomi menderita, tapi bahagia secara batin.
“Mereka yang di seberang itu jangan-jangan juga tidak merasa
sengsara,” ujar anak muda yang jadi sopir saya di Dandong. “Dulu, waktu
Tiongkok masih amat miskin, kita juga selalu mengatakan bahwa orang
asing itu (maksudnya orang dari negara Barat yang kaya) banyak
buruknya,” tambahnya.
Benar juga. Kita sendiri di Indonesia juga sering mendengar nada yang
mirip. Kita mengakui negara Barat itu kaya, tapi belum tentu orangnya
bahagia. Saya beberapa kali mendengar khotbah Jumat di Surabaya seperti
itu.
Saya tentu tidak akan bicara tentang kebahagiaan. Sebab, barang kali,
burung yang tidak punya rumah itu pun lebih bahagia. Saya akan membuat
perbandingan fisik saja. Kota Dandong jauh lebih makmur daripada wilayah
Korea Utara di seberangnya. Di sana seperti tidak ada aktivitas
ekonomi. Pinggir sungainya dibiarkan menjadi tanah telantar. Ada
beberapa bangunan sederhana, tapi itu markas tentara.
Agak di kejauhan terlihat beberapa cerobong asap menjulang tinggi.
Tidak ada asap keluar dari cerobong itu. Bukan karena proses produksinya
sudah modern, melainkan sepertinya memang tidak sedang berproduksi. Ini
juga terlihat dari wujud fisik cerobong itu: kuno desainnya dan kusam
dimakan usia di luarnya.
Ketika malam, perbedaan itu lebih mencolok. Di sisi sini, di Kota
Dandong, gemerlap oleh lampu-lampu restoran, hotel, penerangan jalan,
dan lampu hias. Di seberang sungai itu, gelap gulita. Bahkan, wilayah
yang ada cerobongnya itu pun tidak menyinarkan adanya kehidupan kota.
Padahal, itulah kota yang cukup besar. Yakni, kota Sinuiju, dengan
penduduk sekitar 400.000 orang. Orang Dandong menyebutnya dengan nama
Xin Yi Zhou.
Kota Sinuiju hampir saja menorehkan sejarah besar bagi masa depan
Korea Utara. Yakni, ketika tiga tahun lalu pemerintah Pyongyang
memutuskan mengubah Sinuiju menjadi kota pertama di Korea Utara yang
dibangun dengan gaya kapitalis. Sinuiju ditunjuk untuk menjadi Special
Economic Zone: ekonomi dibangun secara liberal, investor asing diberi
kekhususan, dan di muara Sungai Yalu akan dibangun pelabuhan besar.
Pajak, tanah, dan izin-izin berbeda dengan ketentuan pemerintah pusat.
Bahkan, Sinuiju boleh memilih gubernur sendiri dan mengeluarkan paspor
sendiri.
Singkatnya, perencanaan masa depan Korea Utara akan mengikuti proses
yang pernah terjadi di Tiongkok. Kalau di Tiongkok dimulai dengan
membangun Kota Shenzhen secara kapitalis, Korut akan memulainya dengan
Kota Sinuiju. Maklum, sebelum membuat keputusan itu, Presiden Kim
Jong-Il memang beberapa kali “belajar” ke Tiongkok. Suatu saat, lima
tahun lalu, dia diketahui berada di Beijing. Lain hari berada di
Shanghai. Juga terlihat pergi ke Guangzhou. Meski tidak pernah terlihat
di Shenzhen, tentu ketika berada di Guangzhou mampir juga ke Shenzhen.
Menurut rencana, setelah sukses di Sinuiju, barulah kelak pembangunan
dengan model serupa dilanjutkan di kota-kota lain. Lama-kelamaan,
secara pelan-pelan Korut pun berubah. Tidak seperti Korsel yang dianggap
terlalu didikte model USA, Korut akan memilih “jalan” Tiongkok. Yakni,
yang secara resmi tetap menyandang status negara sosialis, tapi secara
ekonomi menuju kemakmuran. Komunisme tiga kaki (buruh-tani-pengusaha),
akan menjadi jalan keluar dari berbagai kesulitan dalam menerapkan
ideologi komunisme dua kaki (buruh-tani) selama ini.
Keseriusan Kim Jong-Il mengikuti “jalan Tiongkok” terlihat ketika
secara resmi pembangunan masa depan Sinuiju diumumkan. Bahkan, siapa
yang jadi pemimpin tertinggi kota harapan itu sudah ditentukan pula.
Namanya Yang Bing. Orang terkaya kedua di Tiongkok. Meski lahir dan
tinggal di Tiongkok, Yang Bing punya paspor Belanda. Nama grup usahanya
pun sangat berbau Belanda: Tulip Group.
Nama Yang Bing pun berkibar di mana-mana. Dialah “gubernur” Sinuiju
dengan kekuasaan dan hak-hak yang amat luas. Usaha mempromosikan Sinuiju
Special Economic Zone dia lakukan ke mana-mana. Investor asing mulai
diundang. Dia juga ingin menarik sebanyak mungkin modal dari Korea
Selatan, Jepang, dan USA, tiga negara yang terus dikecam Kim sebagai
musuh paling utama Korea Utara. Masyarakat internasional juga
menyambutnya sebagai pertanda bahwa lewat Sinuijulah Korea Utara akan
meninggalkan ideologi komunisnya.
Entah politik tinggi seperti apa yang kemudian terjadi, tiba-tiba
tiga tahun lalu terdengar kabar mengejutkan: Yang Bing ditangkap pihak
berwajib Tiongkok dengan tuduhan penggelapan pajak. Dia dijatuhi hukuman
18 tahun penjara. Bersamaan dengan itu tidak pernah ada lagi kabar
mengenai kelanjutan proyek Sinuiju. Kota itu belum sempat berubah
apa-apa. Sampai sekarang, ya, masih saja cerobong lama itu yang terlihat
dari Kota Dandong.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment