Friday, June 8, 2007

Sinuiju Tak Kunjung Berubah Jadi Shenzhen Kedua

08 Juni 2007
Sinuiju Tak Kunjung Berubah Jadi Shenzhen Kedua
Berkelana ke Dandong, “Merauke”-nya Tiongkok di Perbatasan Korea Utara (2)

Hanya dipisahkan Sungai Yalu, perbedaan kota Dandong di Tiongkok dan Sinuiju di Korea Utara seperti bumi dan langit. Mengapa negeri yang dipimpin Kim Jong-il itu belum berhasil menerapkan komunisme tiga kaki seperti yang dilakukan Tiongkok?

Meski sudah pukul tujuh malam saya tiba di Dandong, matahari masih tinggi. Di musim seperti ini, di belahan bumi bagian utara, siang memang lebih panjang. Saya tahu banyak hotel bintang empat atau lima di ibu kota kabupaten ini. Tapi, saya ingin pilih tinggal di hotel yang menghadap ke Sungai Yalu. Kalau bisa di lantai 15 ke atas. Dari dalam kamar, saya bisa melihat daratan Korea Utara yang berada hanya di seberang sungai.

Hotel itu ternyata penuh. Hari itu, Sabtu petang, turis yang datang memang lebih banyak daripada hari biasa. Semua ingin melihat Korea Utara dari Dandong. Memang, inilah kota paling dekat dengan Korea Utara. Saya juga pernah ke perbatasan antara Korea Selatan dan Korea Utara (di Panmunjom), tapi hanya bisa melihat gunung-gunung. Atau, paling hanya bisa melihat satu bangunan yang sesekali dipakai perundingan dua negara yang bermusuhan itu.

Bangunan itu, separo di wilayah Korsel dan separo lagi wilayah Korut. Ruang rapat dibikin panjang. Meja rapat pun separo berada di wilayah Korsel, separo lagi di tanah Korut. Kalau rapat, mereka bisa berbicara langsung tanpa masing-masing harus duduk di kursi yang berada di wilayah “musuh”.

Sampai Minggu lalu pun, Korea Utara masih mendengungkan bahwa musuh paling utama negeri itu ada tiga: Korsel, Jepang, dan USA. Tiga-tiganya menjadi ancaman utama keamanan dan perdamaian Asia. Padahal, pertengahan Mei lalu, Korut baru saja mengizinkan Korsel meluncurkan kereta api uji coba dari negara selatan ke negara utara. Itulah kereta pertama yang melintasi perbatasan sejak jalur kereta diputuskan oleh perang 65 tahun lalu.

Status hubungan Korsel dan Korut sendiri masih “berada dalam keadaan perang”. Ini karena ketika keduanya saling menghentikan serangan 50 tahun lalu, tidak ada perjanjian penghentian perang. Yang ada hanya gencatan senjata. Jadi, secara teoretis, kapan pun keduanya bisa saling perang lagi tanpa harus mengumumkan kapan dimulainya.

Korea Utara sendiri yang kini dikenal sebagai negara dengan kekuatan militer kelima terbesar di dunia, kian tahun kian terisolasi. Rusia yang ada di sebelah utara sudah bukan lagi negara komunis. Tiongkok, tetangganya di barat, memang masih komunis, tapi sudah berubah menjadi penganut “komunisme tiga kaki” (buruh, tani, dan pengusaha). Ini sebenarnya juga sudah bukan komunisme. Sebab, pada dasarnya pengusaha adalah justru lawan utama ideologi ciptaan Karl Max itu.

Rasanya kini memang tinggal dua negara komunis yang belum dapat “jalan keluar”: Korea Utara dan Kuba. Korut mungkin menunggu “lewatnya” tuhan mereka, Kim Jong-il, dan Kuba menunggu sepeninggal gusti mereka, Fidel Castro. Tapi, keduanya ternyata sakti amat. Gak mati-mati.

Dua-duanya kini seperti malu-hati. Atau memang sengaja ingin jadi cagar budaya komunisme di dunia. Satu di Atlantik. Satu di Pasifik. Tapi, rakyat di kedua yang jadi korban. Mereka hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Kian lama kian miskin. Dan menderita. Itu, kalau ukuran “penderitaan” memakai ukuran kapitalisme. Karena banyak juga orang yang kelihatan secara ekonomi menderita, tapi bahagia secara batin.

“Mereka yang di seberang itu jangan-jangan juga tidak merasa sengsara,” ujar anak muda yang jadi sopir saya di Dandong. “Dulu, waktu Tiongkok masih amat miskin, kita juga selalu mengatakan bahwa orang asing itu (maksudnya orang dari negara Barat yang kaya) banyak buruknya,” tambahnya.

Benar juga. Kita sendiri di Indonesia juga sering mendengar nada yang mirip. Kita mengakui negara Barat itu kaya, tapi belum tentu orangnya bahagia. Saya beberapa kali mendengar khotbah Jumat di Surabaya seperti itu.

Saya tentu tidak akan bicara tentang kebahagiaan. Sebab, barang kali, burung yang tidak punya rumah itu pun lebih bahagia. Saya akan membuat perbandingan fisik saja. Kota Dandong jauh lebih makmur daripada wilayah Korea Utara di seberangnya. Di sana seperti tidak ada aktivitas ekonomi. Pinggir sungainya dibiarkan menjadi tanah telantar. Ada beberapa bangunan sederhana, tapi itu markas tentara.

Agak di kejauhan terlihat beberapa cerobong asap menjulang tinggi. Tidak ada asap keluar dari cerobong itu. Bukan karena proses produksinya sudah modern, melainkan sepertinya memang tidak sedang berproduksi. Ini juga terlihat dari wujud fisik cerobong itu: kuno desainnya dan kusam dimakan usia di luarnya.

Ketika malam, perbedaan itu lebih mencolok. Di sisi sini, di Kota Dandong, gemerlap oleh lampu-lampu restoran, hotel, penerangan jalan, dan lampu hias. Di seberang sungai itu, gelap gulita. Bahkan, wilayah yang ada cerobongnya itu pun tidak menyinarkan adanya kehidupan kota. Padahal, itulah kota yang cukup besar. Yakni, kota Sinuiju, dengan penduduk sekitar 400.000 orang. Orang Dandong menyebutnya dengan nama Xin Yi Zhou.

Kota Sinuiju hampir saja menorehkan sejarah besar bagi masa depan Korea Utara. Yakni, ketika tiga tahun lalu pemerintah Pyongyang memutuskan mengubah Sinuiju menjadi kota pertama di Korea Utara yang dibangun dengan gaya kapitalis. Sinuiju ditunjuk untuk menjadi Special Economic Zone: ekonomi dibangun secara liberal, investor asing diberi kekhususan, dan di muara Sungai Yalu akan dibangun pelabuhan besar. Pajak, tanah, dan izin-izin berbeda dengan ketentuan pemerintah pusat. Bahkan, Sinuiju boleh memilih gubernur sendiri dan mengeluarkan paspor sendiri.

Singkatnya, perencanaan masa depan Korea Utara akan mengikuti proses yang pernah terjadi di Tiongkok. Kalau di Tiongkok dimulai dengan membangun Kota Shenzhen secara kapitalis, Korut akan memulainya dengan Kota Sinuiju. Maklum, sebelum membuat keputusan itu, Presiden Kim Jong-Il memang beberapa kali “belajar” ke Tiongkok. Suatu saat, lima tahun lalu, dia diketahui berada di Beijing. Lain hari berada di Shanghai. Juga terlihat pergi ke Guangzhou. Meski tidak pernah terlihat di Shenzhen, tentu ketika berada di Guangzhou mampir juga ke Shenzhen.

Menurut rencana, setelah sukses di Sinuiju, barulah kelak pembangunan dengan model serupa dilanjutkan di kota-kota lain. Lama-kelamaan, secara pelan-pelan Korut pun berubah. Tidak seperti Korsel yang dianggap terlalu didikte model USA, Korut akan memilih “jalan” Tiongkok. Yakni, yang secara resmi tetap menyandang status negara sosialis, tapi secara ekonomi menuju kemakmuran. Komunisme tiga kaki (buruh-tani-pengusaha), akan menjadi jalan keluar dari berbagai kesulitan dalam menerapkan ideologi komunisme dua kaki (buruh-tani) selama ini.

Keseriusan Kim Jong-Il mengikuti “jalan Tiongkok” terlihat ketika secara resmi pembangunan masa depan Sinuiju diumumkan. Bahkan, siapa yang jadi pemimpin tertinggi kota harapan itu sudah ditentukan pula. Namanya Yang Bing. Orang terkaya kedua di Tiongkok. Meski lahir dan tinggal di Tiongkok, Yang Bing punya paspor Belanda. Nama grup usahanya pun sangat berbau Belanda: Tulip Group.

Nama Yang Bing pun berkibar di mana-mana. Dialah “gubernur” Sinuiju dengan kekuasaan dan hak-hak yang amat luas. Usaha mempromosikan Sinuiju Special Economic Zone dia lakukan ke mana-mana. Investor asing mulai diundang. Dia juga ingin menarik sebanyak mungkin modal dari Korea Selatan, Jepang, dan USA, tiga negara yang terus dikecam Kim sebagai musuh paling utama Korea Utara. Masyarakat internasional juga menyambutnya sebagai pertanda bahwa lewat Sinuijulah Korea Utara akan meninggalkan ideologi komunisnya.

Entah politik tinggi seperti apa yang kemudian terjadi, tiba-tiba tiga tahun lalu terdengar kabar mengejutkan: Yang Bing ditangkap pihak berwajib Tiongkok dengan tuduhan penggelapan pajak. Dia dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Bersamaan dengan itu tidak pernah ada lagi kabar mengenai kelanjutan proyek Sinuiju. Kota itu belum sempat berubah apa-apa. Sampai sekarang, ya, masih saja cerobong lama itu yang terlihat dari Kota Dandong. (bersambung)

No comments:

Post a Comment